Jamal Bobero Infokom AMAN Maluku Utara

Hari perayaan Kemerdekaan Indonesia yang ke-75, ramai dengan perbincangan soal pakaian adat. Pasalnya, secara berturut-turut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil mengenakan busana adat dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam upacara 17 Agustus, pakaian adat kedua yang dikenakan Jokowi berasal Mollo, Kabupaten Timor Tenggah Selatan, tempat di mana hidup tiga kelompok besar Masyarakat Adat: Mollo, Amanatun dan Amanuban. Kontrasnya, pada Selasa 18 Agustus, atau sehari setelah Jokowi mengenakan pakian adat itu, Komunitas Adat Besipae, di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan terpaksa harus mengungsi karena diusir oleh aparat gabungan dari Polisi Brimob dan Pamong Praja, yang atas perintah Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, datang menghancurkan pondok-pondok milik warga yang berada di bilangan Hutan Adat Pubabu. Sekitar 47 kepala keluarga terpaksa mengungsi dan 30 rumah dibongkar paksa. Naasnya, anak-anak dan perempuan mendapat tindakan represif dari aparat yang menyayat hati nurani. Nasib Masyarakat Adat seperti berada dalam labirin ketidakpastian, keberadaan mereka diketahui, simbol-simbol peradaban mereka digunakan, tapi manusia dan tanah kehidupannya dipecundangi oleh pemerintah. Respon keras atas tindakan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Devi Anggraini, saat menjadi pembicara di Seminar Seri #2 bertajuk “Dinamika Kebangsaan dan Masa Depan Gerakan Masyarakat Adat”, yang digelar secara daring oleh AMAN, pada Kamis, 20 Agustus 2020. Seminar daring (online) ini merupakan rangkaian Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN VI yang akan dihelat pada 17 November nanti. Devi menyayangkan, pakaian adat hanya dinikmati sebatas penanda saja dan selanjutnya dikomodifikasi sebagai nilai jual ekonomi semata, tetapi mengabaikan hal subtantif yang berada di balik pakaian adat. Menurut Devi, seharusnya orang-orang atau pemerintah sendiri tidak hanya melihat pakaian adat sebatas sebuah simbol, melainkan dapat memahami proses panjang dari lahirnya identitas kebudayaan dari sebuah Masyarakat Adat. “Di balik selembar kain itu sesungguhnya ada banyak tahapan yang menunjukkan bagaimana peradaban dibangun oleh komunitas-komunitas adat,” ungkap Devi di awal diskusi. Secara khusus, Devi menegaskan akan peran penting Perempuan Adat dalam melahirkan identitas kebudayaan mereka melalui pakaian adat tersebut dan juga relasi pentingnya dengan wilayah adat mereka. Nilai-nilai pengetahuan yang termaktub di dalam baju adat, dilahirkan oleh Perempuan Adat secara sadar dan berakar kuat dengan wilayah adat mereka. “Saya ingin mengajak kawan-kawan untuk melihat melalui cara pandangnya Perempuan Adat itu, ya, kalau kita lihat misalnya dari selembar kain, di situ terdapat proses panjang tentang bagaimana mereka memproduksinya, bagaimana mereka bersentuhan dengan wilayah adatnya, dan bagaimana mereka mengambil bahan baku yang tersedia di wilayah adatnya,” terang Devi dalam diskusi. Selain persoalan sandang, aspek lain yang disampaikan oleh Devi akan pentingnya peran perempuan dengan wilayah adat adalah kerja-kerja mereka dalam mmemanfaatkan sumber alamnya untuk kebutuhan pangan keluarga dan membangun kemandirian ekonomi dengan cara memanfaatkan sumber-sumber yang ada di wilayah adat mereka. “Mereka sebenarnya sedang mempraktekkan secara langsung bagaimana mengelola, memanfaatkan dan hidup dari alam yang ada di sekitarnya. Itu adalah tindakan tindakan politik, di mana mereka melahirkan keputusan keputusan penting tentang hidup sehari-hari, bertani, memilih benih, kemudian bagaimana memastikan keluarga mendapatkan suplai makanan yang cukup. Itu merupakan kontribusi yang besar pada kampung dan komunitasnya,” ucap Devi. Hal tersebut menurut Ketua Umum PEREMPUAN AMAN itu, dilihat sebagai aspek penting yang perlu direfleksikan oleh setiap orang, terkait peran sentral Perempuan Adat dalam memastikan keberlanjutan hidup komunitas dan lingkungannya.

Refleksi Gerakan Perempuan Adat

Peran sentral perempuan adat sangat penting untuk disuarakan dan diperjuangkan, entah dalam komunitasnya atau posisi mereka di hadapan pemerintah. Ihktiar itu penting dilakukan menurut Devi Anggraeni karena beberapa alasan. Ia menyitir bagaimana dalam beberapa tahun belakangan ini dengan PEREMPUAN AMAN, melakukan advokasi terkait dengan posisi dan peran penting Perempuan Adat. Pertama, dalam internal komunitas adat sendiri perlu dibangun perspektif yang egaliter terutama dalam proses pengambilan keputusan. Posisi Perempuan Adat harus memperoleh tempat yang setara, guna melahirkan keputusan-keputusan yang dapat mewakili kepentingan bersama, hal ini mengingat peran penting perempuan terutama dalam pengelolaan sumber daya alam mereka. Kedua, adalah terkait dengan program pembangunan ekonomi dari pemerintah yang butuh peran Perempuan Adat di dalamnya. Menurut Devi, hal tersebut untuk dapat memastikan, indikator dan parameter yang dipakai oleh pemerintah untuk pemberdayaan dapat sesuai dengan kebutuhan Masyarakat Adat. Langkah ini sudah dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN, berdasarkan data mereka dari 55 komunitas Masyarakat Adat yang menjadi lokasi pengorganisasian. “Kenapa penting melakukan pendataan oleh kita sendiri dan bukan hanya mengandalkan data Bappenas atau data statistik pemerintah? Karena data-data yang digunakan oleh pemerintah cenderung tidak mampu menjangkau kerentanan yang ada di Perempuan Adat dan Masyarakat Adat. Sehingga indikator dan parameter yang kita tetapkan dalam mengumpulkan data itu adalah indikator dan parameter yang bisa menunjukkan keberadaan kita,” terang Devi. Poin ketiga yang juga penting menurut Ketua Umum PEREMPUAN AMAN ini adalah penguatan lembaga Perempuan Adat. Organisasi-organisasi perempuan adat yang informal, menurut Devi, harus diperkuat peranannya, harus memiliki posisi tawar untuk merubah ketimpangan politik di dalam komunitasnya dan memiliki posisi tawar yang kuat. “Yang harus kita lakukan adalah bagaimana membangun kapasitas di tingkat kampung, bagaimana membuat organisasi-organisasi Perempuan Adat yang tadinya bersifat informal itu menjadi organisasi-organisasi yang memiliki kemampuan, dan posisi tawar yang baik. Perubahan-perubahan dengan kekuatan yang mereka miliki, kekuatan apa yang mereka miliki, pengetahuan mereka untuk mengolah sumber daya alam yang ada di wilayah adatnya. Itu adalah kekuatan yang seharusnya bisa digunakan oleh kawan-kawan Perempuan Adat,” tutup Devi.