Masyarakat adat memiliki resiliensi di masa pandemi covid-19. Namun, ironisnya, justru di masa pandemi inilah negara menerbitkan kebijakan baru yang dapat melucuti kemandirian Masyarakat Adat. Itulah poin penting yang disampaikan Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), saat berbicara dalam acara peluncuran Catatan Akhir Tahun 2020 AMAN, yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (13/1/2020). Menurut Rukka, untuk mengatasi pandemi, AMAN dan Masyarakat Adat menjalani kebijakan lockdown wilayah adat. Kebijakan ini ditempuh karena Masyarakat Adat banyak yang tinggal di perkampungan yang jauh dari layanan akses publik. “Termasuk kesehatan, kita selalu yang paling belakang. Maka kita harus memastikan bahwa virus ini tidak masuk ke dalam kampung-kampung kita.” “Kalau kemudian kita kena (virus covid-19), jalan aksesnya rusak, listrik tidak ada, belum sempat sampai ke rumah sakit atau hasil tesnya belum keluar, sudah meninggal. Itu alasan-alasan dilakukan lock down wilayah adat,” bebernya. Rukka juga menyatakan pemerintah tidak punya kapasitas memadai untuk mengatasi pandemi seperti ini. “Setidaknya itulah kontribusi Masyarakat Adat. Untuk memastikan meringankan beban pemerintah. Kalau tidak lockdown Masyarakat Adat, bisa ada chaos. Akan ada instabilitas kalau virus ini kita biarkan menjalar kemana-mana. Jadi stabilitas politik adalah bagian dari kontribusi Masyarakat Adat di dalam lockdown Masyarakat Adat,” tegasnya. Namun, dalam situasi begitu, kebijakan pemerintah yang ngotot mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja, disebut sangat melukai Masyarakat Adat. “Kita menyebutnya dari awal UU Cilaka. Dampak UU Cilaka ini bagi Masyarakat Adat, seluruh mekanisme yang sudah ada dalam berbagai UU dan peraturan justru dilucuti. Kita kembali seperti anak kecil yang telanjang, yang tidak punya pelindung apa-apa,” jelas Rukka. “Dalam situasi keberadaan UU yang sudah ada saja, kita masih mengalami kriminalisasi. Apalagi dengan hadirnya UU yang kemudian mereduksi dan bahkan menghapuskan seluruh mekanisme perlindungan Masyarakat Adat yang sudah ada.” Perlawanan Masyarakat Adat Perempuan asal Toraja ini kemudian mengulas lagi konflik dan perlawanan Masyarakat Adat dalam mempertahankan tanah dan wilayahnya. Ada sepuluh kasus melawan perusahaan perkebunan, lima kasus melawan korporasi pertambangan, enam kasus melawan proyek bendungan dan PLT, lima kasus melawan pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian ada enam kasus konflik dengan KPH, tiga melawan hutan tanaman industri, satu kasus lawan TNI, dan empat kasus pencemaran lingkungan di wilayah adat. “Ini adalah angka-angka yang secara resmi ditangani. Masih banyak sekali Masyarakat Adat yang karena tidak punya akses terhadap komunikasi, tidak melaporkan,” ungkap Rukka. Ia lantas menyebut, kasus yang paling heboh adalah upaya persekusi aparat terhadap Effendi Buhing, tokoh komunitas adat Laman Kinipan, di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kemudian juga ada kasus Besipae yang masyarakatnya diusir aparat keamanan karena dianggap menduduki lahan pemerintah. “Presiden dengan bangga menggunakan baju adat, itu di Amanatun, tapi pada saat yang sama realitas lapangan, kampung-kampung dari mana baju adat itu berasal sedang mengalami kekerasan” Menurut Rukka Masyarakat Adat tidak merasa sedang berkonflik dengan siapapun. Apa yang disebut konflik di wilayah adat, itu sebenarnya merupakan perampasan wilayah adat. “Dan ketika kita mengatakan tidak ingin menyerahkan wilayah adat kita, kemudian disebut konflik. Konflik yang justru dibuat oleh pemerintah, oleh kebijakan negara,” ucapnya. “Kita tidak pernah ingin berkonflik. Masyarakat Adat itu cinta damai. Tapi kita dipaksa untuk bertahan. Dan kemudian kita disebut berkonflik. Kita sedang mempertahankan titipan dari leluhur kita untuk masa depan generasi kita.” Optimisme Di Tengah Pandemi Meski begitu Rukka mengatakan, melihat kemampuan resiliensi Masyarakat Adat, dan bagaimana 108 Satgas Gugus Tugas Amankan Covid-19 bekerja, seharusnya pandemi ini menjadi pelajaran penting. Ia menyebut, Masyarakat Adat yang masih mempertahankan wilayah adatnya, tidak akan terlindas krisis dampak pandemi. “Pandemi ini sebenarnya memberikan jawaban buat kita. Memberikan jawaban bahwa kehidupan kita dan yang kita perjuangkan selama ini sudah benar. Terbukti bahwa Masyarakat Adat yang masih menjaga wilayah adatnya yang bertahan di tengah krisis. Apalagi ketika mulai terjadi krisis pangan. Saat ini ratusan kampung bergerak menanam dan mencoba membangun strategi ekonomi lokal.” Menurut Rukka, ke depan, kemandirian harus dibangun minimal dari apa yang kita makan dan konsumsi sendiri, sebagaimana dibuktikan oleh Masyarakat Adat selama pandemi. “Bahwa kita tidak lagi tergantung kepada orang lain. Kita ringankan beban pemerintah. Kita bahkan mampu memberi bantuan kepada kampung-kampung tetangga kita, atau bahkan kota-kota yang kekurangan. Dari sisi ekonomi kita masih akan mampu menyekolahkan anak-anak. Kita masih akan mampu memperbaiki rumah-rumah kita karena kita membangun sistem ekonomi lokal yang tangguh. Ia berpendapat, apa yang disebut new normal itu adalah kepastian makanan dari rumah, dari tanah adat sendiri. “Ekonomi bukan seperti sekarang, yang global dikuasai segelintir elit. Tapi justru ekonomi yang seperti mozaik, yang dibangun oleh jutaan, ratusan ribu sistem-sistem ekonomi lokal yang kuat. Terbukti di tengah situasi sekarang ini, yang seperti inilah yang bertahan.” **Budi Baskoro