aman.or.id - Untuk kedua kalinya Masyarakat Adat Kinipan mendatangi kantor Komisioner Komnas HAM RI pada Jumat, 4 September 2020 siang. Kedatangan mereka diterima oleh 2 orang Komisioner Komnas HAM, yakni Sandrayati Moniaga dan Hairansyah. Maksud dari kedatangan tersebut adalah terkait dengan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Polda Kalimantan Tengah dan Pihak Perusahaan PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML) kepada Effendi Buhing dan 4 warga Masyarakat Adat Kinipan lainnya. Effendi Buhing yang hadir pada kesempatan tersebut didampingi para pengacara yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan (K3). “Hari ini kami kembali datang dan mengadu ke Komnas HAM karena saya dan warga Masyarakat Adat Kinipan lainnya telah mendapatkan perlakuan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan PT. SML”, kata Buhing. “Sekali lagi, kami adalah korban kriminalisasi oleh aparat dan perusahaan, jadi kami datang untuk mengadu”, lanjut Buhing. Syamsul Alam Agus, Koordinator Dewan Pengawas PPMAN yang hadir bersama para advokat lainnya dan hadir pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa hari ini adalah kedua kalinya Effendi Buhing dan warga Masyarakat Adat Kinipan datang melapor ke Komnas HAM. “Pada hari ini, ada beberapa hal yang menjadi dasar pengaduan pak Effendi Buhing dkk yang merupakan korban kriminalisasi dari kasus Masyarakat Adat Kinipan tersebut. Pertama, bahwa kita meminta Komnas HAM untuk memberikan perlindungan dan hak-hak konstitusional Masyarakat Adat Kinipan. Kedua, kita mendesak kepada Komnas HAM untuk bisa berkoordinasi lebih baik dengan LPSK dan Lembaga negara lainnya. Ketiga, Kita meminta surat perlindungan secara resmi kepada Komnas HAM bagi warga Masyarakat Adat Kinipan agar Polisi tidak semena-mena dalam menerapkan hukum yang salah”, kata Syamsul Alam. “Selain itu dengan dasar surat tersebut juga, komnas HAM dapat menyurati LPSK untuk ditindaklanjuti”, lanjut Syamsul Alam. Pada kesempatan tersebut, Effendi Buhing juga menjelaskan secara detil kronologi sampai terjadinya penangkapan terhadap dirinya dan warga lainnya. “Ini bermula dari konflik lahan dengan PT. SML, jadi bukan masalah pencurian yang menjadi masalah utama. Puncaknya adalah pada tanggal 23 Juli lalu, yang diawali dengan penangkapan warga Kinipan lainnya. Saya juga sampaikan ke Komnas HAM, bahwa kami sudah bosan dengan kondisi seperti ini. Kami ingin untuk jangan tebang lagi (hutan adat, red). Kami juga bikin pondok untuk menjaga hutan dan wilayah adat kami, tapi mereka (PT. SML) masih terus bekerja. Sebenarnya ada tujuh unit sensor milik perusahaan saat kejadian berlangsung, tapi kami amankan hanya satu. Kami hanya mengamankan untuk mereka tidak bekerja lagi, bukan kami mencurinya seperti yang dituduh selama ini”, kata Buhing. Terkait kriminalisasi yang ditujukan kepada dirinya, Effendi Buhing mengatakan bahwa selama ini beliau tidak pernah diperiksa dan tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan. “Kami tidak pernah dipanggil, tidak pernah diperiksan, tiba-tiba saya dijadikan tersangka. Sementara, saya sendiri tidak ada di lokasi saat kejadian dan saya diduga menyuruh, itu tidak sama sekali. Bahkan sebelum kejadian, kami tidak pernah menyuruh sama sekali untuk mencuri barang perusahaan”, Kata Buhing. Di hadapan Komisioner Komnas HAM, Effendi Buhing pun bercerita bagaimana kondisi ibu-ibu dan perempuan adat lainnya yang melihat secara langsung penangkapannya tersebut. “Pada waktu penangkapan itu, ibu-ibu dan perempuan adat di kampung trauma sekali ketika melihat aparat berpakaian lengkap, melihat mobil banyak yang masuk kampung. Apalagi kedatangan aparat dengan pakaian lengkap seperti teroris. Saat kejadian terjadi, mereka (polisi) tidak melibatkan dan memberitahu kepada pemerintah desa setempat, mereka langsung datang saja kerumah dan menangkap saya”, lanjut Buhing. Pada kesempatan yang tersebut, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menyampaikan terkait kedatangan warga Masyarakat Adat Kinipan tersebut. Selain itu, Komnas HAM akan melakukan rapat tingkat pimpinan dan akan bentuk tim untuk menentukan langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan, selain akan tetap berkomunikasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “Kami sangat prihatin dengan apa yang terjadi dengan warga Masyarakat Adat Kinipan, terutama pak Effendi Buhing dan kawan-kawan. Komnas sejak awal telah menyatakan kepedulian. Kami menerima pengaduan pertama kan tahun 2018, tapi proses memang baru tahun ini karena berbagai hal”, kata Sandra. Lebih lanjut Sandra mengatakan, bahwa kedatangan Effendi Buhing kali ini diharapkan bisa mengungkap akar persoalan mengapa beliau bisa ditangkap dengan cara yang tidak sesuai prosedur. Sandra juga berharap Kepolisian untuk segera menginvestigasi atas perilaku anggotanya di lapangan serta pihak Kompolnas untuk ikut mengawal. Selain itu, Sandra juga berharap kepada Lembaga-lembaga negara memberi perhatian khusus kepada pembela hukum dan HAM. “Saya dengar kasus Effendi Buhing ini sudah dilaporkan juga kepada Lembaga LPSK. Dari Komnas HAM, kami akan menindaklanjuti dengan terus melakukan pemantauan. Komisioner Komnas HAM lainnya Hairansyah, mengatakan bahwa Komnas HAM pada tahun 2018 telah mengeluarkan surat secara resmi terkait konflik Masyarakat Adat Kinipan. “Surat yang dikeluarkan oleh Komnas HAM pada 2018 lalu kami anggap masih relevan, dan kami akan turun ke lapangan serta akan membuat satu dokumen keterangan perlindungan Masyarakat Adat”, Kata Hairansyah. Sebagai informasi, bahwa pada tahun 2018 Masyarakat Adat datang ke Jakarta untuk mengadu ke Komnas HAM RI. Kedatangan pada waktu itu adalah terkait dengan status lahan yang diklaim secara sepihak oleh PT. Sawit Mandiri Lestari yang merupakan pemilik ijin HGU yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN yang ada di wilayah adat milik Masyarakat Adat Kinipan. Infokom PB AMAN