Negara punya utang pada masyarakat adat. Utang itu adalah berupa regulasi yang mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya. Pernyataan itu disampaikan pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Maria Sumardjono, pada dikusi panel virtual peluncuran Catatan Akhir Tahun 2020 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rabu (13/1/2021). “Pasal 18B ayat 2 membebankan pengakuan itu pada negara. Kita menunggu negara menunaikan kewajiban. Kalau sekarang RUU MHA (Masyarakat Hukum Adat) belum dilaksanakan, itu artinya masih utang,” ucap Maria. Maria menyatakan diperlukan undang-undang yang bersifat lex generalis untuk memberikan payung perlindungan terhadap masyarakat adat dan hak-haknya. Sayangnya, beberapa kali periode pemerintahan berganti, undang-undang itu belum terwujud. Secara empiris, pengabaian penyelesaian RUU Masyarakat Adat menyebabkan konflik agraria kerap terjadi. Guru besar Fakultas Hukum UGM ini membeberkan, upaya penyelesaian masalah agraria dan sumber daya alam (SDA) sudah diakomodasi oleh TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA). Namun, hingga saat ini pemerintah tidak berhasil mewujudkan undang-undang untuk melaksanakan TAP MPR tersebut. Ia menjelaskan, pemerintah sempat membuat RUU tentang Sumber Daya Agraria pada 2004 dan RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam pada 2006, untuk menjalankan Tap MPR itu. Kedua RUU itu merupakan lex generalis yang memuat prinsip-prinsip penguasaan dan pengelolaan SDA. Cara kerjanya mirip omnibus law dalam arti menyatukan peraturan berbagai SDA agar tidak terjadi tumpang-tindih dengan memberikan prinsip atau rambu-rambu yang menjadi pedoman bersama pengaturan lebih lanjut untuk masing-masing sektor (lex specialis). Namun, Maria mensinyalir adanya sektor yang keberatan dengan undang-undang tersebut, terutama di Kehutanan. “Karena kalau ada lex generalis mereka merasa dipreteli kewenangannya,” tutur Maria. Ia kemudian menyebut nasib RUU Masyarakat Adat pun mirip dengan kisah RUU SDA dan RUU tentang PSDA, yang tak kunjung dituntaskan oleh pemerintah. Sebaliknya, Maria menyatakan, terhadap RUU Cipta kerja, yang disebut mengandung angan-angan malah secepat-kilat diselesaikan. “Ini angan-angan, dengan UU Cipta Kerja, investasi banyak masuk. Angan-angan tapi dibayar tunai,” tuturnya. Menurut Maria pemerintah harus melunasi utang pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat (hukum) Adat itu. Ini bukan hanya bermakna menjalankan kewajiban negara sesuai Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, tapi sekaligus menjalankan tujuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yakni tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. **Budi Baskoro