ruu pphmaJakarta, 11 April 2013. Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Adat (RUU PPHMA), hari ini (11/4) resmi menjadi RUU inisiatif DPR. RUU PPHMA merupakan salah satu hasil Rapat Paripurna DPR RI ke-20 di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II Paripurna, Lantai 3, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Dalam Rapat Paripurna yang dihadiri 336 orang anggota dari berbagai fraksi itu berlangsung lancar, tanpa memakan waktu lama dan perdebatan sengit. Pendapat fraksi-fraksi dan pengambilan keputusan terhadap RUU Usul Inisiatif Baleg DPR RI, tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat menjadi RUU DPRlangsung disetujui.Usulan serta pendapat masing-masing Fraksi diserahkan secara tertulis. Ketua Sidang Paripurna DPR, Pramono Anungdari Fraksi PDI P mengatakan RUU PPHMA disetujui sebagai usul inisiatif, nanti pada persidangan berikut baru akan dibentuk hal-hal yang berkaitan dengan RUU PPHMA tersebut. Sementara itu RUU Pemberantasan Perusak Hutan (P2H)akhirnya ditunda,karena banyaknya saran dari berbagai kelompok masyarakat untuk menerima berbagai masukan. Menyikapi hasil ini, Direktur Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi mengatakan, ini baru satu tahap dari tahapan lainnya yang menentukan. Jika tahap sebelumnya masyarakat adat telah berusaha mempengaruhi draf Baleg (Badan Legislasi) melalui kerja lobby, maka tahap selanjutnya tidak hanya Baleg atau Komisi, tetapi juga kementrian yang ditunjuk oleh presiden. “Tahapan selanjutnya yaitu agenda pembahasan di Badan Musayawarah untuk memutuskan apakah RUU ini akan dibahas di Komisi, Pansus atau Baleg. DPR akan mengirimkan RUU inisiatif DPR kepada Pemerintah, kemudian Presiden akan menunjuk Kementrian tertentu untuk membahas RUU bersama badan di DPR”, jelas Erasmus. Dalam kesempatan yang sama anggota DPR dari Fraksi Golkar, Nudirman Munirmengatakan, berbagai masalah yang berkait dengan masyarakat adat harus diserahkan kepada peradilan adat, jangan ada opsional boleh memilih. Kalau boleh memilih investor yang banyak uang akan memilih peradilan hukum. Begitu juga yang punya kekuasaan pasti memilih pengadilan umum. Kalau yang ini nggak ada pilihan lain, tetap harus ke pengadilan adat. Nah memang yang tertinggi nantinya Mahkamah Tinggi Adat di tingkat Propinsi. Nurdin juga mengingatkan kerangkanya tetap harus menjaga NKRI, karena itu tetap beriduk pada Mahkamah Agung. “Mengenai materi dan isi diserahkan pada masing-masing propinsi. Sebab belum tentu hukum adat yang berlaku di Minang, berlaku juga di Tapanuli atau di suku Dayak atau suku-suku lain di Indonesia”, paparnya. Tiap propinsi nantinya akan membuat ketentuannya masing-masing, melalui Perda Propinsi dan Perda Kabupaten/ Kota dalam hal melindungi kepentingan masyarakat hukum adatnya masing-masing, maupun waktu verifikasi. Verifikasi akan menjadi hal yang menentukan. Nurdin mencontohkan, misalnya ada orang yang mengaku di daerahnya berlaku hukum adat, padahal daerah yang dimaksud tidak berlaku lagi hukum adat, maka verifikasi menentukan. Pada sidang Paripurna DPR ke-20 ini juga diserahkan RUU tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati). RUU tentang Pengesahan Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan Internasional).*** (JLG)