Penetapan kawasan hutan dan perubahan kawasan menjadi pintu masuk industri-industri baru merebut ruang hidup rakyat. Terjadi perampasan tanah rakyat dan wilayah-wilayah adat, bahkan disertai kekerasan dan kriminalisasi. Tanpa upaya menahan laju kapitaslisme industri, negara bisa mengalami krisis pangan dan lingkungan. Demikian antara lain kesimpulan “Kelompok Krisis Agraria dan Kehutanan” dalam Rembuk Nasional Gerakan Reforma Agraria yang berlangsung secara daring pada Minggu, 20/9/2020. Rembuk Nasional akan berlangsung tiga hari, hingga Selasa, 21/9/2020. Rembuk Nasional Gerakan Reforma Agraria diselenggarakan oleh Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional (HTN) dan 60 tahun Undang-Undang Pokok Agraria, sekaligus menghadapi tantangan baru kapitalisme agraria dalam Omnibus Law. KNPA melaksanakan Rembuk Nasional bersama bersama jaringan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) dan berbagai aliansi. Peserta Rembuk Nasional dibagi lima (5) kelompok berdasarkan jenis krisis agraria dan ekologi: Perkebunan dan Pertanian, Kehutanan, Pertambangan, Pesisir dan Kelautan, serta Perkotaan. Tiap kelompok fokus pada dua pertanyaan pokok: apa saja krisis yang dialami masyarakat selama ini, serta apa saja yang sudah dilakukan masyarakat mengatasi krisis tersebut. Kelompok diskusi topik agraria dan kehutanan sependapat proses-proses penetapan kawasan hutan berbentuk konsesi, seperti HTI, berdampak pada berkurangnya ruang hidup rakyat. Pengurangan kawasan hutan yang dialokasikan untuk industri-industri pariwisata, tambang, pembangkit listrik tenaga air, dan lain-lain bahkan membuat nyaris tidak ada ruang hidup yang tersisa. Masyarakat sulit melakukan re-klaim terhadap tanah-tanah dan wilayah-wilayah adat yang sudah dikuasai kehutanan dan industri. Tidak pernah ada kejelasan hak terkait keberadaan manusia di dalamnya. Bahkan mereka menghadapi kerentanan mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Mulai dari penangkapan hingga pemenjaraan yang semakin massif terjadi, serta banyak juga memakan korban jiwa. Perubahan bentang alam berakibat pada krisis lingkungan, banjir, tanah longsor, dan lain-lain merupakan sesuatu yang nyata. Ketimpangan ekonomi, konflik agraria, kriminalisasi yang terus terjadi di penjuru nusantara bisa berubah menjadi krisis sosial. Ini dikarenakan perlawanan rakyat tidak cukup direspon positif oleh negara. Selain itu, kampanye perjuangan keadilan agraria untuk menghadapi tantangan ekonomi-politik agraria yang kapitalistik dan liberal perlu bersatu. Menyangkut respon masyarakat terkait konflik yang terus terjadi, di beberapa tempat dilakukan perlawanan kepada aparat dan upaya mencari keadilan hukum. Di tingkat lapangan, terjadi penguatan jaringan, diskusi-diskusi untuk membicarakan konflik dan krisis yang terjadi. Oleh karena itu, kelompok diskusi kehutanan ini merekomendasikan diperlukannya pandangan kolektif gerakan reforma agraria dari berbagai elemen untuk menyikapi krisis dan situasi yang berlangsung. Berkaitan dengan pandemic Covid-19 yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, ada inisiatif-inisiatif untuk kembali ke pangan lokal, gerakan kedaulatan pangan, penanaman bibit lokal, inisiatif untuk memperkuat kerjasama pemasaran hasil-hasil pertanian, distribusi bahan pangan bersama kelompok sektor gerakan rakyat lain, dan sebagainya. Satu hal yang menggembirakan, anak-anak muda menjadi tulang punggung kampanye rakyat dalam berbagai kegiatan ini. * (NRT)