Senin (22/07) malam perwakilan marga-marga di Nagahulambu berkumpul, mereka membahas mengenai panggilan ditujukan kepada tetua kampung (natuatua ni huta) di Nagahulambu oleh Camat Dolok Panribuan. Dari kabar yang dibawa bahwa Security PT. Toba Pulp Lestari melaporkan masyarakat di Nagahulambu ke Polres Dolok Panribuan terkait pengrusakan (pembakaran dan pencabutan) eucaliptus milik perusahaan itu. Pertemuan malam itu membahas mengenai pemberitahuan dari Camat Dolok Panribuan. Kamis (25/7) ini, Tetua kampung di Nagahulambu diminta hadir dalam pertemuan para pihak memberi karifikasi terkait laporan security TPL itu. Pertemuan juga akan mempertemukan masyarakat, eksekutif, perusahaan dan aparat. Pertemuan yang dilakukan di kediaman Oppung Erwin marga Nainggolan turut dihadiri oleh perwakilan masyarakat adat dari Kampung Naga Uluan, kampung yang berbatasan dengan wilayah adat komunitas adat ini. Pertemuan ini untuk mencari tahu mengenai waktu dan lokasi yang menjadi objek laporan security perusahaan pulp itu. Namun masyarakat tidak mengetahui kapan dan dimana telah terjadi pembakaran. Sengketa antara PT TPL dan komunitas adat Nagahulambu memang telah terjadi sejak 2005. Kerap kali perusahaan ini memusnahkan tanaman warga seperti jengkol, petai, dan enau yang merupakan sumber mata pencarian masyarakat. Tanaman itu dimusnahkan dengan menggunakan buldozer milik rekanan TPL. Kini sebagian wilayah adat yang terdiri dari hutan dan perladangan, telah rata dengan tanang akibat aktivitas perusahaan ini. Komunitas adat Nagahulambu yang mempertahankan tanahnya, selalu melakukan protes baik ke eksekutif maupun perusahaan, menanami kembali tanah tersebut dengan kopi hingga tanaman-tanaman muda. Sebelumnya mereka juga telah melakukan pemetaan secara partisipatif di tanah adatnya dengan menggunakan GPS. Pasca Putusan MK No 35/PUU-X/2012, tanggal 21 Juni 2013 komunitas ini memasang plankat di batas wilayah adatnya. Ini sebagai tanda kepada orang-orang luar agar menghormati masyarakat adat beserta hak-hak adatnya. Melihat sisa bekas pembakaran dan pekerja-pekerja TPL yang sedang mengoperasikan ekstaraktor mengangkut kayu alam yang ditebang, sontak membuat mereka marah. Mereka mengusir dan memberhentika aktivitas TPL hari itu. Berapa hari setelah memasang plankat, hutan adat yang telah digunduli oleh TPL tersebut mereka tanami dengan pisang, ubi dan jagung berkisar 2 Ha. Namun beberapa hari di tanam, ubi dan pisang tersebut telah dicabuti oleh orang tak dikenal. Anehnya, sisa bekas pencabutan itu tidak dibuang di lokasi pencabutan. Padahal ubi dan pisang yang mereka tanami seluas 0,5 haktar. Belum lagi masyarakat sempat melapor ke Polsek atas pencabutan, kini mereka dilaporkan atas kejadian pengrusakan dan pembakaran tanaman dan bibit eucaliptus. Masyarakatpun semakin menyadari bahwa Perusahaan sengaja untuk mengintimidasi masyarakat. Walaupun ini merupakan bentuk lain dari intimidasi yang kerap kali dilakukan oleh perusahaan bubur kertas ini untuk menakuti warga. Maka melalui pertemuan itu, mereka akan menghadiri panggilan yang difasilitasi oleh Camat Panribuan tersebut dan menyelesaikan duduk permasalahan yang tidak jelas ini. Masyarakat tidak pernah melakukan sesuai yang dituduhkan oleh pihak perusahaan. Masyarakat akan tetap berjuang dan mempertahankan wilayah adatnya dari sebagai sumber penghidupan yang kelak akan diwariskan untuk generasinya.