Pokok-Pokok Pikiran tentang Keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat Pekasa dan Hak-Hak Adat atas Wilayah Adat yang diwariskan secara turun-temurun di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Provinsi NusaTenggara Barat Kesaksin Ahli dalam Perkara Pidana Nomor Register Perkara PDM-166/SBSAR/05/2012 Atas Nama Terdakwa EDI KUSWANTO alias ANTO bin KAMARULLAH Disampaikan oleh ABDON NABABAN di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumbawa di Sumbawa Besar, 17 Oktober 2012 Sidang Majelis Hakim yang saya muliakan, Jaksa Penuntut Umum dan Pengacara/Penasehat Hukum Terdakwa yang saya hormati, Saudara Edi Kuswanto dan saudara/i Masyarakat Adat Pekasa yang sedang memperjuangkan jati diri dan hak azasi sebagai masyarakat adat yang saya banggakan Sungguh suatu kebahagian bagi saya karena dipercaya menyampaikan keterangan dan kesaksian saya sebagai ahli di hadapan Majelis Hakim yang mulia ini. Sesuai dengan substansi perkara, maka pada kesempatan ini saya akan focus memberikan keterangan atas 2 hal: Pertama, tentang keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat Pekasa. Pada bagian ini saya akan menjelaskan posisi Masyarakat (Hukum) Adat dalam konstitusi kita, UUD 1945, instrumen HAM internasional dan peraturan perundangan nasional. Berdasarkan ciri-ciri yang disepakati secara umum tentang Masyarakat (Hukum) Adat, saya akan membedah keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat Pekasa secara historis dan sosiologis. Kedua, tentang keberadaan kawasan hutan di wilayah adat Pekasa. Pada bagian ini saya akan mengelaborasi lebih jauh tentang keberadaan hak Masyarakat adat Pekasa atas tanah, wilayah dan sumberdaya alamnya dalam perjalanan sejarah kita sebagai bangsa dan di dalam hukum agraria dan kehutanan. A. Keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat Pekasa Siapa yang kita sebut Masyarakat Adat di Indonesia? Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, memiliki budaya, yang diatur oleh hukum adat dan memiliki lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.Dari definisi di atas, setidaknya ada 3 aspek yang merupakan ciri masyarakat adat, yaitu: pertama, ada sekelompok orang yang hidup dalam satu wilayah tertentu sebagai subjek hukumnya, kedua, ada basis materi (sumber daya alam) yang bersumber dari proses subyek ini membangun peradaban, dan ketiga ada organiasi dan tata aturan yang mereka buat dan tatai bersama. Untuk melihat keberadaan Masyarakat Adat di lapangan, kita harus melihat realitas keberadaan 3 aspek tersebut. Bagaimana Masyarakat adat di atur dalam UUD 1945, instrument HAM PBB, peraturan perundangan nasional kita? UUD 1945 Pasal 18B ayat (1), Pasal 28I ayat (3) Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), TAP MPR IX th 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA, UU Sektoral (UUPA, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU HAM, UU PPLH, dll., serta berbagai kebijakan pada Level Daerah: (Perda, SK Bupati, Peraturan Gubernur, dan sebagainya). Di tingkat internasional ada Deklarasi Umum HAM PBB, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Polilitk, Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku-Suku Asli di Negara-Negara Merdeka dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Apakah penghuni Kampung Pekasa yang saat ini disidangkan dalam perkara ini adalah Masyarakat Adat? Dari berbagai informasi yang saya kumpulkan dan juga dari kesaksian yang muncul di persidangan selama ini, saya tidak memiliki keraguan untuk menyatakan bahwa penduduk yang saat ini hidup di Kampung Pekasa, Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa adalah Masyarakat Adat. Sebagai suatu kelompok Masyarakat, mereka sudah menghuni dan berdaulat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam di kawasan ini secara turun-temurun jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Mereka telah membangun peradaban di wilayah adat ini lengkap dengan prana adat yang sebagian di antaranya masih bertahan sampai sekarang, baik aturan-aturan adat maupun kelembagaan adatnya. Pengakuan yang diberikan oleh saksi-saksi dari Masyarakat adat tetangga juga menunjukkan bahwa keberadaan Masyarakat adat Pekasa secara historis bisa dibuktikan, secara kultural bisa disaksikan dan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya serta secara sosiologis masih hidup. Kesimpulan saya ini juga diperkuat bahwa selama ini Kementerian Sosial telah menyediakan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Desa Jamu, termasuk di dalamnya bagi warga Dusun Jamu dan Kampung Pekasa. B. Keberadaan Kawasan Hutan (Negara) di dalam wilayah adat Dasar dakwaan JPU terhadap terdakwa dan Masyarakat adat Pekasa terkait dengan status kawasan hutan yang menjadi lokasi kampung yang dibangun oleh terdakwa dan masyarakatnya. JPU mendakwa terdakwa dan warga adat lainnya “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki secara tidak sah” kawasan hutan di Register Tanah Kehutanan (RTK) 59. Saya sudah berusaha menggali data soal RTK 59 ini, tetapi belum berhasil. Saya belum menemukan bukti yang sahih bahwa Kampung Pekasa berada di RTK 59. Ini menjadi tanggung-jawab Sidang Majelis Hakim yang mulia untuk membuktikannya melalui data yang akurat dari Dinas Kehutanan Prov. NTB dan pihak-pihak terkait lainnya. Kalau ternyata bahwa Kampung Pekasa terbukti tidak berada di dalam kawasan hutan RTK 59 maka dakwaan ini tentunya menjadi tidak punya dasar. Yang juga penting dicatat oleh Sidang Majelis yang mulia ini, walaupun nanti bisa dibuktikan bahwa Kampung Pekasa ini masuk di dalam RTK 59, masih harus dipastikan apakah status RTK 59 ini masih bersifat penunjukan atau sudah dikukuhkan sebagai kawasan hutan tetap? Sidang Majelis Hakim yang mulia, Register tidak berarti selesai proses pengukuhannya, kadang register di bilang sudah dikukuhkan, tetapi pengalaman di Sumatera ternyata tidak demikian. Selesainya proses pengukuhan harus dapat dibuktikan dengan 3 dokumen:

  1. penunjukkan kawasan hutan, jaman dulu dengan besluit (SK) bisa oleh kepala daerah atau pihak kehutanan, dulu diberikan nama dan diberikan nomor register serta dilampiri peta skala kecil
  2. berita acara penataan batas kawasan hutan, jaman belanda disebut grensen process verbal, atau jaman sekarang disebut BATB (berita acara tata batas), yang dittd para pihak secara lengkap sekarang di ttd bupati, dengan lampiran petanya, skala besar biasanya 1: 1000- 10.000, dijelaskan nomor dan koordinat setiap patok tata batasnya.
  3. penetapan kawasan hutan, dengan besluit residen jaman belanda dan sekarang dengan SK penetapan kawasan hutan. Jika proses 1-3 ini dilakukan maka kawasan hutan ini menjadi kawasan hutan tetap, dan dapat dikatakan pegukuhan hutannya telah selesai sesuai dengan penekanan dalam keputusan MK no 45 itu.
Karena itu Sidang Majelis yang mulia menjadi penting untuk menanyakan keberadaan bukti Berita Acara Tata Batas (BATB) dengan lampirannya dari pihak Dinas Kehutanan. Dari dokumen BATB ini akan dapat terlihat disana apakah proses tata batas dilakukan secara legal (mengikuti aturan yang berlaku saat itu, misal Permen 31/2001 untuk proses pengukuhan kawasan hutan, atau dilakukan sebelum itu dengan aturan yang lain). Tentang prosedur penataan batas kawasan hutan ini dapat dilihat dalam tulisan lama tahun 2004 yang masih relevan digunakan dalam kasus ini. Bisa diakses di link dibawah ini: http://www.worldagroforestry.org/sea/ph/publication?do=view_pub_detail&pub_no=WP0007-04 Kalau ternyata Majelis Hakim menemukan bahwa RTK 59 ini masih berupa penunjukan maka Majelis yang mulai bisa menggunakan Keputusan Mahkamah Konstitusi di akhir tahun lalu yang sudah meredefinisi kawasan hutan. Terkait dengan keupusan MK termaksud, pertama-tama saya hendak mengutip dua penggalan Pendapat Mahkamah Konstiusi dalam pertimbangan hukum putusannya (Perkara No. 45/PUU-IX/2011).
  1. “[3.12.2] Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. …”
  2. [3.12.4] Bahwa menurut Mahkamah, tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan di atas sejalan dengan asas negara hukum yang antara lain bahwa pemerintah atau pejabat administrasi negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah” menurut Mahkamah ketentuan tersebut antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut;
Dua penggalan Pendapat Mahkamah Konstitusi itu menjadi cambuk bagi praktik kehutanan yang selama ini penuh nuansa otoriter serta adanya upaya MK untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Pendapat mahkamah tersebut kemudian yang menjadi dasar MK untuk mengabulkan permohonan Perkara No. 45/PUU-IX/2011 yang pada intinnya hendak mengubah bunyi definisi kawasan hutan yang sebelumnya berbunyi: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Berubah menjadi “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Dengan demikian, bila kawasan dimana masyarakat dikriminalisasi itu belum selesai melalui proses pengukuhan kawasan hutan yang meliputi:
  • penunjukan kawasan hutan;
  • Penatabatasan kawasan hutan;
  • Pemetaankawasan hutan; dan
  • penetapan kawasan hutan, maka masyarakat keberadaan masyarakat pada kawasan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hanya pada kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutanlah sebenarnya yang dapat dimaknai sebagai kawasan hutan pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi 21 Februari 2012. Status kawasan yang baru penunjukan tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengkriminalisasi masyarakat. Hal yang dapat dilakukan terhadap kawasan yang baru ditunjuk untuk dijadikan kawasan hutan adalah melakukan penatabatasan kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Dengan catatan, bila ada hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) di atas kawasan yang baru ditunjuk, maka harus dikeluarkan dari kawasan hutan. Jadi proses yang dibutuhkan sesungguhnya adalah negosiasi tata batas, bukan mempidanakan masyarakat. Demikian Sidang Majelis Hakim yang mulia pendapat ahli yang bisa saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini. Semoga kesaksian ini bisa membantu yang mulia menhadirkan keadilan bagi Masyarakat Adat Pekasa, khususnya kepada terdakwa, yang karena kedudukan dan tanggung-jawabnya di tengah Masyarakat Adat harus berhadapan dengan hokum yang mereka rasakan selama puluhan tahun tidak adil dan tidak melindungi hak-hak komunal mereka sebagai Masyarakat adat. Semoga Para Leluhur Masyarakat Adat dan Sang Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa menolong dan menyertai Majelis Hakim yang mulai mengambil keputusan yang seadil-adilnya.