Siaran Pers

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas Undangan dari Presiden Jokowi melalui Protokoler Kepresidenan kepada Sekjen AMAN melalui WhatsApp (WA) pada hari Kamis, 19 November 2020. Namun demikian, hari ini (Senin, 23/11/2020) AMAN tidak dapat memenuhi Undangan tersebut dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:
  1. Dalam tata cara dan prosedur administrasi negara, seharusnya undangan disampaikan secara tertulis minimal 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan apa lagi dalam undangan mensyaratkan Tindakan-tindakan preventif terkait protokol kesehatan COVID-19;
  2. Dalam undangan yang disampaikan melalui aplikasi WhatsApp tersebut, dinyatakan bahwa para undangan (termasuk Sekjen AMAN) akan diterima Presiden RI bersama beberapa pegiat Lingkungan Hidup lainnya secara tertutup/intern. Dari kata-kata ini sangat jelas terkesan bahwa para undanganlah yang meminta untuk bertemu Presiden dan bukan sebaliknya.
  3. Dalam pandangan kami, Presiden saat ini sudah menunjukkan sikap tegas berpaling dari Masyarakat Adat dan memihak korporasi dan oligarki yang menjadi salah satu aktor pelanggaran hak-hak kolektif Masyarakat Adat. Buktinya, sejak Presiden Joko Widodo menjabat pada periode pertama hingga periode kedua, janji Nawacita terkait perlindungan dan pemajuan Hak-Hak Masyarakat Adat hingga saat ini belum ada satu pun yang dipenuhi, tidak ada realisasinya sama sekali. Berikut kami ingatkan lagi 6 poin Janji Nawacita untuk Masyarakat Adat tersebut :
  • Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundangan-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak Masyarakat Adat, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
  • Komitmen melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir terus berlanjut hingga ditetapkan sebagai undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi sebagaimana yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan berbagai komponen masyarakat sipil lainnya.
  • Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berialan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak Masyarakat Adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Putusan MK 35/2012.
  • Komitmen mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak Masyarakat Adat.
  • Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiaphan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak Masyarakat Adat.
  • Komitmen memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.
  1. Bukti keberpihakan Presiden terhadap korporasi dan oligarki telah terang-terangan ditunjukkan dengan mengabaikan arus penolakan masyarakat sipil atas pembahasan serta pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (CILAKA). Berbagai argument seolah-oleh berhadapan dengan tembok membisu, dan Gerakan perlawanan massa maupun kampanye dihadapi secara militeristik. Pembungkaman aspirasi dengan maraknya gangguan terhadap akun-akun media sosial berbagai organisasi dan aktifis yang melawan #OmbinusCILAKA telah menjadi momok yang menakutkan dan mengancam demokrasi. Ini semua terjadi dimasa pemerintahan Rejim Jokowi.
  2. Sejak Januari 2017 hingga pertengahan November 2020 ini, AMAN dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mencatat setidaknya ada 213 kasus perampasan wilayah adat secara paksa oleh pihak luar dengan mengatasnamakan "pembangunan", dimana 137 kasus diantaranya adalah kasus kriminalisasi Masyarakat Adat.
  3. Sebelum diundangkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (CILAKA), kondisi Masyarakat Adat sudah sangat terdiskriminasi dan sama sekali tidak ada perlindungan dari negara. Hal ini terbukti dengan semakin banyak dan meningkatnya kasus perampasan wilayah adat oleh perusahaan yang justru didukung oleh negara.
  4. Di tengah kerja keras Masyarakat Adat melakukan lockdown untuk menghindari masuknya Covid-19 ke wilayah adat, praktek perampasan wilayah adat terus terjadi. Dalam waktu singkat sejak UU Cipta Kerja (CILAKA) disahkan, berbagai penanda ancaman perampasan wilayah adat telah banyak terjadi, misalnya: (1) Ketahanan Pangan Nasional kembali mengandalkan perusahaan raksasa yang telah terbukti menyengsarakan rakyat, (2) Berbagai kelompok yang justru mengatasnamakan Kelompok Tani telah mulai menganggu Masyarakat Adat., (3) Adanya usaha Perhutani untuk menghilangkan Masyarakat Adat beserta hak-hak asal usulnya karena dianggap berada dalam kawasan milik Perhutani. Semua hal ini ini akan semakin menyengsarakan Masyarakat Adat, mengakibatkan perempuan, pemuda serta anak anak adat menjadi korban. Masyarakat Adat yang sedang menjaga dan merawat wilayah adat sebagai sentral produksi dan lumbung pangan nusantara, kembali terganggu dan terancam.
Bersama ini kami sertakan sikap AMAN terhadap situasi terkini negara yang tertuang dalam Resolusi Masyarakat Adat Nusantara hasil keputusan Rapat Kerja Nasional AMAN Keenam (RAKERNAS AMAN VI) tahun 2020. Salam Nusantara! Rukka Sombolinggi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Dokumen Siaran Pers : Siaran Pers AMAN _ 23 Nov 2020