Oleh Risnan Ambarita

Thomson Ambarita bersyukur bisa merayakan Tahun Baru 2022 bersama keluarga. Baginya, perayaan tersebut spesial meski berlangsung di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai.

“Ini patut disyukuri,” katanya pada Jumat lalu (7/1/2022). “Di tengah pandemi, kita masih bisa merayakan Tahun Baru dengan penuh suka cita bersama keluarga.”

Pria yang adalah pengetua adat di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mengaku senang bisa merayakan Tahun Baru 2022. Bersama Masyarakat Adat di Tano Batak, ia turut bersuka cita dalam menjadikan perayaan itu sekaligus sebagai hari libur untuk melepas rindu.

Momen tahunan tersebut juga menjadi kesempatan bagi anak-anak adat lain yang berada di perantauan untuk pulang ke kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga. Anak-anak perantauan membaur bersama Masyarakat Adat dalam merayakan Natal dan Tahun Baru di kampung.

Thomson menyatakan bahwa tradisi tersebut sudah ada sejak lama dan merupakan warisan leluhur. Pada kesempatan berkumpulnya keluarga pada malam pergantian tahun itu, kami melakukan Mandok Hata dengan tujuan untuk saling memaafkan dan mengucap syukur kepada leluhur. Acara itu biasanya berlangsung tepat pada tengah malam saat terjadinya pergantian tahun.

Ia menuturkan bahwa ada satu hal yang tidak bisa terlewatkan dalam kehidupan Masyarakat Adat setiap perayaan Tahun Baru, yaitu ritual. Warga akan menyediakan sesajen berupa masakan ayam kampung, lemang, dan berbagai kue, seperti dodol, kembang goyang, sasagaun, wajit, dan lainnya. Seluruh makanan kemudian dipersembahkan terlebih dahulu kepada leluhur lewat doa sebelum bisa disantap bersama.

Ritual itu dilaksanakan di rumah masing masing. Kami mengucap syukur dan memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur supaya selalu diberkati dalam memperjuangkan wilayah adat yang merupakan warisan leluhur kami yang kini tengah dirampas oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Anita Simanjuntak, seorang perempuan adat dari Sihaporas, mengatakan bahwa setelah satu tahun tidak membuat acara karena pandemi, dirinya senang ketika tahun ini bisa merayakan Tahun Baru bersama keluarga. Seperti umumnya perayaan Tahun Baru, ia ikut berkumpul bersama keluarga sambil menikmati berbagai makanan dan kue tradisional.  

“Ini karunia yang tiada ternilai,” kata Anita. “Kita bisa kembali berkumpul bersama keluarga sambil menikmati hidangan berbagai kue tradisional.”

Perempuan adat lain di Tano Batok, Merli br Harianja, juga mengatakan bahwa warga tetap bersemangat merayakan Tahun Baru yang hanya sekali dalam setahun walau masih di tengah pandemi dan berkonflik dengan TPL.

Di kampung-kampung, suara dentuman meriam bambu terdengar begitu meriah dan penuh hiruk-pikuk. Tradisi itu dihidupkan kembali oleh anak-anak maupun para pemuda adat yang menjadi peserta didik sekolah adat di Sihaporas setelah beberapa tahun redup.

Josua Siahaan, salah satu guru sekolah adat di sana, mengatakan bahwa permainan tradisional meriam bambu itu biasanya dimulai pada malam Natal sampai tiba pergantian tahun. Ia berharap agar anak-anak maupun para pemuda adat di kampung, dapat terus melestarikan permainan tradisonal tersebut.  

“Tahun ini lebih meriah dibanding tahun sebelumnya. Harapannya, tahun depan bisa  lebih meriah lagi, khususnya dalam menyambut Natal dan Tahun Baru,” kata Josua.

***

Penulis adalah jurnalis rakyat di Tano Batak, Sumatera Utara.

Writer : Risnan Ambarita | Tano Batak
Tag : Tutup TPL Masyarakat Adat Tano Batak Thomson Ambarita