Oleh Apriadi Gunawan 

Senin sore itu (24/1/2022), menjadi hari yang bersejarah bagi Bokum. Pria berusia 43 tahun yang dikenal sebagai penjaga hutan adat di Akejira, Kobe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara (Malut), akhirnya bebas menjalani hukuman.

Bokum merupakan warga Masyarakat Adat Tobelo Dalam yang tinggal di wilayah adat yang sebagian besar merupakan kawasan hutan di daerah yang kini secara administratif menjadi Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Utara di Malut. AMAN mengkategorikan Masyarakat Adat Tobelo Dalam (Orang Tobelo Dalam) sebagai Masyarakat Adat yang terancam punah. Penindasan terhadap Orang Tobelo Dalam telah begitu lama berlangsung dan terjadi secara sistematis, di mana pemerintah kerap melekatkan stigma dan stereotipe sebagai “suku terasing,” “masyarakat pedalaman,” dan menamai Orang Tobelo Dalam dengan “Togutil” yang kerap disudutkan sebagai masyarakat tak berbudaya, penjahat, pembunuh, bahkan primitif. Sedangkan Orang Tobelo Dalam yang tinggal di dalam hutan dan menggantungkan hidup dari berburu dan berladang secara arif, menyebut diri sebagai O Hongana Manyawa.

Menghirup Udara Bebas 

Bokum tersenyum ketika melihat sejumlah rekan sejawatnya datang untuk menjemputnya dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Ternate. Ia melenggang keluar lapas memakai topi yang dipadu dengan kemeja lengan panjang putih dan celana panjang cokelat muda. Bokum pun disambut gembira.

Ketua AMAN Maluku Utara Munadi Kilkoda adalah salah satu dari mereka yang menyambut bebasnya Bokum. Munadi menyatakan bahwa masa tahanan yang dijalani Bokum lebih cepat dari vonis yang ditetapkan oleh Majelis Hakim.

Ia bilang, sesuai putusan hakim, Bokum dipidana selama 15 tahun penjara. Namun, setelah menjalani masa tahanan delapan tahun, Bokum dibebaskan.

“Kita bersyukur pembebasan Bokum lebih cepat dari vonis hakim. Untuk ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah meringankan hukuman Bokum,” kata Munadi pada Selasa (25/1/2022).

Munadi menjelaskan bahwa Bokum akan tinggal di kediaman rekannya di Ternate  untuk sementara usai keluar dari lapas. Sejauh ini, belum ada kabar dari Bokum sendiri apakah ia hendak kembali ke hutan di Halmahera atau tidak.

“Kita akan berdiskusi dengan Bokum, apakah dia ingin pulang ke Halmahera atau tetap di Ternate,” kata Munadi. Ia menyebut bahwa pihaknya masih sulit untuk berkomunikasi dengan Bokum yang belum fasih berbahasa Indonesia.

Munadi mengatakan bahwa sebelum menjalani hukuman di lapas, Bokum dan keluarganya hidup secara berpindah di hutan Akejira.

Saat ditanya tentang keberadaan keluarganya saat ini, Munadi menjawab kalau ia tidak tahu karena sejak Bokum dihukum, keluarganya tidak pernah menemui Bokum.

“Kita tidak bisa pastikan di mana keluarga Bokum saat ini. Tapi, harapannya, mereka masih berada di hutan Akejira,” kata Munadi.

Pemenjaraan Bokum dan Perampasan Wilayah Adat

Munadi menjelaskan bahwa kondisi yang terjadi di hutan di Akejira saat ini, sudah jauh berbeda jika dibandingkan ketika Bokum belum divonis penjara. Kawasan hutan telah dieksploitasi.

“Kita sedih melihat kondisi hutan di Akejira saat ini. Sebagian besar telah dieksploitasi untuk pertambangan nikel,” katanya.

Munadi mengatakan bahwa sejak Bokum dipenjara, hampir tak ada harapan untuk bisa menjaga hutan tersebut. Sementara itu, Pemerintah Daerah dan aparat keamanan setempat tidak berdaya untuk menahan maupun menghentikan aktivitas pertambangan itu.

Kepolisian Daerah Maluku Utara menahan Bohum dan Nuhu, dua warga Masyarakat Adat Tobelo Dalam, atas kasus pembunuhan di kawasan hutan Akejira pada 12 Juli 2014. Keduanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim karena dituduh membunuh Masud Matoa dan Marlan (anak Masud Matoa).

Selama menjalani hukuman di Lapas Kelas IIA Ternate, Nuhu meninggal dunia karena sakit tahun 2019. 

“Nuhu sempat dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan, tapi tidak tertolong dan meninggal,” kata Munadi. 

Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik (Kasi Binadik) Lapas Kelas IIA Ternate Mansur Rumadaul mengatakan, Bokum bersama 13 napi lain telah mendapat asimilasi Covid-19, sehingga diperbolehkan meninggalkan lapas.

Pada artikel berjudul https://www.mongabay.co.id/2021/06/14/orang-tobelo-dalam-hutan-tergerus-hidup-dalam-stigma-buruk/ yang ditulis oleh Mahmud Ichi pada Mongabay (14/06/2021), Syarifudin Abdurahman, peneliti Masyarakat Adat O Hongana Manyawa sekaligus dosen Program Studi Antropologi di Universitas Khairun, mengungkapkan bahwa pembunuhan kepada warga O Hongana Manyawa itu, tak berdasar.

Melalui Mongabay, Syarifudin mengungkapkan bahwa Masyarakat Adat di sana itu membunuh hanya karena kejadian luar biasa atau ada hal-hal yang dianggap sangat serius dan terjadi di antara sesama mereka saja, misalnya karena perampasan pasangan atau istri, pelanggaran janji, atau alasan-alasan lain terkait adat dan tradisi. Kalau pun itu sampai terjadi, hal tersebut terkait dengan kehormatan diri. Menurutnya, dalam kasus Bokum dan Nuhu yang dipenjara karena kasus pembunuhan, sangat sulit untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar terbukti sebagai pelaku atau bukan. Syarifudin bahkan menegaskan dengan mengatakan kalau Orang Tobelo Dalam hampir tak mungkin membunuh orang luar karena mereka sangat membatasi diri dalam berinteraksi.

Sementara itu, dalam proses hukum atas Bokum dan Nuhu, terdapat tantangan pada kesenjangan bahasa di antara pihak Masyarakat Adat Tobelo Dalam itu dan pengadilan untuk bisa mendalami apa yang sesungguhnya terjadi di balik kasus pembunuhan tersebut.

Namun, fakta bahwa aktivitas penambangan yang kian meningkat, - setelah keduanya berada di dalam bui - tampaknya dapat dilihat secara jelas meski untuk mengetahui dengan pasti sejauh mana tingkat kerusakan atau eksploitasi terhadap hutan adat atau wilayah adat dari Orang Tobelo Dalam secara umum, perlu menelusuri bukti-bukti lanjutan di lapangan.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta