Oleh Apriadi Gunawan

“Kalau umur 23 tahun, biasanya sudah lulus universitas,” kata Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dalam pidatonya pada Perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan 23 Tahun AMAN pada 17 Maret 2022. “Mestinya, sudah menang dan besar capaian kita, tapi sayangnya situasi masih seperti ini.”

Ia mengutarakan kalau di hari bersejarah itu, dengan rendah hati, ia menghimbau dan menyerukan kepada kita semua bahwa situasi makin rumit dan kompleks, sehingga semangat persatuan, solidaritas, serta rasa senasib-sepenanggungan dengan sesama Masyarakat Adat maupun kelompok masyarakat lain, seperti buruh, petani, nelayan, miskin kota, perempuan, dan lainnya harus terus diperkuat.

“Ini adalah negara kita. Ini adalah milik kita. Dan, kita harus merebutnya kembali secara bersama-sama," tandas Rukka dengan penuh semangat.

Ia menyatakan bahwa di tengah situasi sulit sekarang ini, kita sangat prihatin karena banyak kebijakan yang lahir itu tidak membuka ruang partisipasi secara utuh. Kalau ada yang berpartisipasi, itu palsu dan tidak efektif. Sementara itu, kanal-kanal partisipasi yang dibuka oleh pemerintah dan DPR pun bukan mekanisme yang memastikan partisipasi rakyat. Menurutnya, kebijakan semu tersebut mencederai hak-hak demokrasi rakyat. Padahal, keputusan publik seharusnya menjadi keputusan kita bersama.

“Seluruh keputusan yang akan mempengaruhi hidup kita, harus lahir dari tangan kita. Dan hal itu sama sekali tidak ada selama pembentukan berbagai kebijakan selama masa pandemi,” kata Rukka sembari mencontohkan revisi atas Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjadi senjata dari oligarki.

Rukka menegaskan bahwa di tengah lahirnya kebijakan yang sangat anti-rakyat tersebut, kita menyaksikan kekerasan, pembunuhan, penembakan, dan kriminalisasi setelah kita merdeka puluhan tahun lalu.

“Ternyata, penjajahan masih terus berlangsung meski dalam wajah berbeda, tetapi ideologi dan semangatnya tetap sama, yaitu menyingkirkan kita dari seluruh ruang hidup kita, sehingga tidak bisa menikmati kesejahteraan,” ujarnya. Menurutnya, di masa pandemi ini, kita telah mengalami tekanan yang lebih kuat. Namun, pandemi justru digunakan untuk mengambil apa yang tersisa dari kita (sebagai Masyarakat Adat) dan memastikan kita semakin jauh dari hak-hak kita sebagai pemilik sah negeri ini. Rukka mencontohkan UU tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang tidak memperhitungkan keberadaan Masyarakat Adat. Ia bilang, "UU IKN yang baru saja disahkan telah menjadi senjata pamungkas dan secara resmi menghancurkan hak-hak kolektif Masyarakat Adat di wilayah IKN yang sedang diporak-porandakan."

Menurutnya, situasi yang dihadapi oleh Masyarakat Adat semakin kompleks dan menantang karena oligarki.

"Kita bertahan bukan karena negara yang mengurus, tapi kita bertahan karena kita mengurusi diri sendiri dan kita saling mengurus. Solidaritaslah yang membuat kita tetap bertahan," ujarnya. Pada kesempatan tersebut, Sekjen AMAN itu juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman buruh dan petani yang telah ikut bertarung nyawa dengan turun ke jalan untuk terus bersuara dan bersolidaritas atas nama Masyarakat Adat.

Perayaan HKMAN dan 23 Tahun AMAN yang diselenggarakan secara daring. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Sejumlah aktivis dan pimpinan organisasi juga turut menghadiri Perayaan HKMAN dan 23 Tahun AMAN. Mereka yang hadir sebagai pembicara di sesi diskusi, antara lain Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, Ketua Forum Masyarakat Adat Pesisir Bona Beding, dan Ketua Kalyanamitra Listyowati. Mereka pun mengapresiasi ketangguhan AMAN yang konsisten memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat di tengah krisis.    

Selain bincang-bincang bersama para pimpinan organisasi, perayaan tahun 2022 yang diselenggarakan secara daring itu menjadi kian spesial dengan adanya peluncuran buku seri perdana Kisah dari Kampung: Tangguh di Tengah Krisis yang kolaborasi para penulis buku yang terdiri dari warga Masyarakat Adat bersama jurnalis. Buku dengan tebal lebih dari 400 halaman itu memuat 30 kisah dari dari 30 kampung atau komunitas Masyarakat Adat di berbagai penjuru Nusantara.

Jomima Ihalewey, seorang perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Adat Honitetu, Maluku, menyatakan bahwa itu menjadi pengalaman pertamanya menulis bersama jurnalis. Jomima mengaku senang bisa menyelesaikan penulisan buku tersebut meski memiliki banyak tantangan di lapangan.

“Tantangannya cukup berat. Di sini, sinyal telepon susah, sehingga saya harus berjalan kaki berkilo-kilo untuk menemui narasumber dari satu kampung ke kampung lain,” ujarnya menceritakan pengalamannya menulis kisah bertajuk “Perempuan Mata Sagu” di sela sesi diskusi.

Di penghujung perayaan yang penyelenggaraannya yang diketuai oleh Abdi Akbar itu, terdapat sajian peluncuran video Mars AMAN. Dalam kesempatan ini, para tim produksi dan kru video pun hadir untuk berbagi cerita terkait proses pembuatan.

Koordinator Tim Nura Batara menyatakan bahwa ia bersyukur pembuatan video Mars AMAN itu bisa selesai meski di tengah pandemi Covid-19. Ia mengatakan, proses pembuatan video Mars AMAN tersebut berlangsung hampir satu tahun dan melibatkan kawan-kawan Masyarakat Adat dari berbagai perjuru Indonesia.

“Ada masa-masa sulit, di mana kami hampir putus asa untuk menyelesaikan pembuatan video ini,” kata Nura sebelum ia mengucapkan rasa terima kasihnya kepada para tim dan pendukung. “Tapi, berkat kerja keras dan semangat dari kawan-kawan di daerah, akhirnya video Mars AMAN ini dapat kami selesaikan.”

***

Writer : Apriadi Gunawan | Jakarta