Oleh Simone Welan

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali-Nusa Tenggara membeberkan berbagai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo terhadap Masyarakat Adat Rendu yang menolak lokasi pembangunan Waduk Lambo (Mbay). 

Hal itu dikatakan Anton Yohanis Bala, S.H., Koordinator PPMAN Region Bali-Nusa Tenggara dalam konferensi pers di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu (18/05/2022).

Pria yang akrab disapa John Bala itu juga mengatakan bahwa PPMAN mendapatkan kuasa hukum dari Masyarakat Adat Rendu melalui Surat Kuasa (SK) Nomor: 105/PPMAN-IV/2022, SK Nomor: 106/PPMAN-IV/2022, dan SK Nomor: 107/PPMAN-IV/2022 dengan dasar pijakan dari kesaksian Masyarakat Adat Rendu, Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo (FPPWL), PEREMPUAN AMAN Pengurus Harian Komunitas (PHKom) Kompetar, dan 24 korban penangkapan pada 4 April 2022 serta Surat Pernyataan Ketua dan Wakil Ketua FPPWL pada 23 April 2022.

John juga mengutarakan bahwa pihak PPMAN memberikan pernyataan sesuai dengan fakta dan analisis peristiwa sesuai dengan dasar hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk kronologi peristiwa dalam dua bulan terakhir yang menimpa Masyarakat Adat Rendu sebagai akibat dari tindakan intimidasi, represi, serta kekerasan fisik dan psikis dari aparat Polres Nagekeo.

“Tanggal 23 Maret 2022 terjadi pertemuan antara Kapolres Nagekeo dengan warga dari Dusun Roga-Roga dan Dusun Malapoma di Desa Rendu Butowe. Pada kesempatan itu, Kapolres menyampaikan akan diadakan ritual adat oleh Suku Kawa di Titik Nol, namun Masyarakat Adat Rendu menolak keras rencana tersebut karena Titik Nol itu adalah tanah adat milik Masyarakat Adat Rendu dari Suku Redu, Woe Dhiri Ke'o, Woe Naka Lado, dan Woe Aupoma,” kata John Bala.

Ia melanjutkan, tanggal 24 Maret 2022, pelaksanaan ritual adat di Titik Nol oleh Masyarakat Adat Suku Kawa dan hampir terjadi bentrok antara kedua pihak di hadapan Kapolres, Kasat Intel, dan anggota Polres Nagekeo,  Ketua DPRD Nagekeo, Asisten I Setda Nagekeo, Kepala Kantor Pertanahan Nagekeo, Satpol PP, anggota Koramil Nagekeo, dan Camat Aesesa.

“Pelaksanaan ritual adat oleh Suku Kawa ini dihadang oleh Masyarakat Adat Rendu dan terjadi perang mulut, saling dorong, dan hampir saja terjadi perkelahian antara kedua pihak tersebut. Namun, aparat Polres Nagekeo tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap aksi kedua kelompok Masyarakat Adat tersebut,” lanjutnya.

Pertemuan Masyarakat Adat dalam membahas dugaan pelanggaran yang terjadi. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Dilanjutkan oleh John Bala, tanggal 4 April 2022 pagi, Polres Nagekeo melaksanakan Apel Siaga Polres Nagekeo di Titik Nol yang dipimpin langsung oleh Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata dan dihadiri ratusan anggota Polres Nagekeo, Satpol PP Nagekeo, Camat Aesesa Selatan, Kepolsek Mauponggo, Kapolsek Boawae, Kapolsek Nangaroro, Kapolsek Aesesa, Kepala Desa Labolewa, dan pihak kontraktor yang bertujuan untuk memberikan jaminan terhadap proses pengerjaan Waduk Lambo dapat berjalan aman dan lancar.

Pada hari yang sama dilaksanakan ritual adat oleh Leonardus Suru, Kristoforus Lado, Antonius Jati, dan Kornelis Papu dari Suku Gaja, Woe Ana Wata, dan Dala Mare, di pintu masuk yang dikawal oleh anggota Polres Nagekeo, terjadi penghadangan yang berbuntut penangkapan terhadap 23 warga Masyarakat Adat Rendu. Mereka kemudian dibawa ke Polres Nagekeo.

“Kedua puluh tiga orang itu dibawa ke Polres menggunakan mobil Dalmas. Di Polres, mereka diintimidasi, direpresi, (dijadikan target) kekerasan fisik maupun psikis, dan dicaci-maki. Sedangkan pada 5 April 2022, mereka dipaksa untuk membuat pernyataan menerima waduk oleh Kapolres Nagekeo saat melakukan konferensi pers. Sebuah pemaksaan yang luar biasa dilakukan oleh aparat penegak hukum,” tutur John.

Tak hanya sampai di situ. Mantan Ketua LBH Nusra selama dua periode itu, pada 18 April 2022 melalui rapat bersama di Kantor Desa Rendu Butowe, mengutarakan kalau Masyarakat Adat Rendu kembali mengalami intimidasi oleh Kasat Intel Polres Nagekeo Serfulus Teguh yang mendesak Masyarakat Adat menandatangani berita acara dalam situasi menekan dan penuh ketakutan. Masyarakat Adat telah terus dibuat tidak nyaman dan tidak bebas.

Pemilik Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis (Bapikir) itu juga mengungkapkan bahwa pada 25 April 2022, PPMAN sebagai kuasa hukum Masyarakat Adat Rendu, telah melayangkan surat kepada Kapolres Nagekeo Yudha Pranata untuk melakukan dialog dua arah serta perkenalan sebagai sesama penegak hukum sekaligus melakukan koordinasi penanganan hukum bagi 24 korban penangkapan. Namun, metode dialog diubah secara sepihak oleh Kapolres Nagekeo dengan memperhadapkan masyarakat yang menolak dan mendukung pembangunan waduk.

John Bala menuturkan, pada 9 Mei 2022, Kasat Intel Serfulus Teguh menemui Bernardinus Gaso di rumahnya untuk meminta pertanggungjawaban terkait pembangunan Rumah Pertemuan dan Pos Pelayanan Hukum PPMAN serta meminta masyarakat untuk mencabut surat kuasa hukum dari PPMAN.

“Mereka diancam Kasat Intel,” tuturnya. “Jika tidak mencabut surat kuasa hukum dari PPMAN, mereka diancam akan dipanggil dan diproses hukum.”

John mengungkap, akibat dari sikap represif aparat Polres Nagekeo, Masyarakat Adat Rendu membuat surat penyataan menolak kembali pernyataan pada 5 April 2022 dan 18 April 2022.

PPMAN berharap seluruh kesepakatan dan persetujuan Masyarakat Adat yang dibuat di bawah tekanan dan berpotensi dimanipulasi, dapat segera dihentikan. Sehingga, kita akan memulai babak baru dengan model penyelesaian yang humanis, demokratis, independen, dan menyeluruh.

***

Penulis adalah staf Infokom AMAN Nusa Bunga.

Writer : Simone Welan | Nusa Bunga
Tag : Waduk Lambo Polres Nagekeo Masyarakat Adat Rendu