Oleh Lasron P. Sinurat

Memasuki periode pasca-Reformasi, konflik agraria antara Masyarakat Adat dan negara di Tano Batak (Tanah Batak), semakin meluas. Tano Batak yang dimaksud, mencakup daerah dataran tinggi Tapanuli yang didiami oleh Masyarakat Adat Batak Toba. Tercatat sejak 2000-an, sekitar 11 dari 33 komunitas Masyarakat Adat Batak Toba sedang memperjuangkan hak atas wilayah adat yang telah menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) (Marcus Colchester, 2020), sedangkan komunitas Masyarakat Adat lainnya juga memperjuangkan wilayah adatnya dari cengkeraman kekuasaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Konflik dipicu oleh hilangnya hak Masyarakat Adat Batak Toba atas tanah-tanah adat yang telah dikuasai secara turun-temurun. Hilangnya hak tersebut dapat dilihat sebagai akibat dari pola pengaturan dan implementasi kebijakan pemerintah di bidang kehutanan yang tidak menghormati keberadaan Masyarakat Adat pasca-merdekanya Indonesia.

Potret konflik agraria yang terjadi di Tano Batak, merupakan salah satu bentuk kegagalan negara pasca-kolonial dalam mengurus dan memastikan hak Masyarakat Adat. Lantas, yang perlu diketahui dalam persoalan itu, adalah sejak kapan wilayah adat beralih menjadi milik negara? Bagaimana itu bisa terjadi? Pertanyaan ini menjadi salah satu alat untuk mengetahui akar dari konflik agraria yang sedang terjadi dan berpeluang akan terjadi di Tanah Batak.

Orde Baru: Rezim Perampas Tanah Adat

Kepemilikan hak atas tanah merupakan hal yang mutlak bagi masyarakat pedesaan di Indonesia. Selain sebagai sumber penghidupan, tanah memiliki fungsi sosial dan politik. Sebagaimana terdapat pada Masyarakat Adat Batak Toba, keberadaan wilayah adat maupun tanah adat di dalam wilayah adat berkaitan dengan keberadaan marga karena tanah diwariskan oleh leluhurnya secara turun-temurun.

Masyarakat Adat Batak Toba memiliki aturan (hukum adat) dalam mengatur kepemilikan hak atas tanah adat. Menurut hukum adat Masyarakat Adat Batak Toba, tanah merupakan milik marga yang mendirikan suatu huta atau disebut dengan marga raja atau Raja Ni Huta. J. C. Vergouwen dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (1986), menuliskan bahwa marga raja mempunyai hak untuk mengatur penggunaan dan penguasaan tanah, sehingga akses anggota marga terhadap tanah yang berada di huta tertentu, bergantung pada hubungan kekerabatan terhadap marga raja tersebut.

Bentang alam Danau Toba yang menjadi bagian dari wilayah adat milik Masyarakat Adat di Tano Batak. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Pola kepemilikan tanah adat tersebut masih tetap eksis dan dijalankan oleh Masyarakat Adat di Tano Batak hingga negara Indonesia diproklamirkan. Namun, di bawah kekuasaan Orde Baru, kepemilikan hak atas tanah adat menuai berbagai permasalahan. Saat itu, pemerintah melakukan penataan kawasan hutan negara di Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Kebijakan itu menjadi alat pemerintah untuk mengukuhkan kepastian ruang dan hukum yang dimiliki negara untuk menguasai dan mengelola kawasan hutan negara di seluruh Indonesia, khususnya di Tano Batak.

Melacak ke belakang, penetapan dan penunjukan tanah adat oleh pemerintah secara sepihak melalui KLHK atau Dinas Kehutanan setempat sebagai kawasan hutan negara, menjadi akar lahirnya konflik agraria dan perlawanan Masyarakat Adat Batak Toba terhadap negara. Wilayah adat yang diklaim pemerintah dialihfungsikan sebagai kawasan hutan negara sesuai fungsinya atau disebut dengan “negaraisasi.” (Noer Fauzi Rachman, 2017) Wilayah adat itu kemudian diberikan kepada perusahaan-perusahaan dengan menggunakan perizinan dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Dalam rangka “menghutankan” wilayah adat, pemerintah melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dalam bentuk program reboisasi dan penghijauan secara masif. Dalam pelaksanaannya, kegiatan itu sarat dengan tindakan-tindakan manipulatif dan intimidatif. Salah satu kasus pun terjadi di Desa Simarhoppa, Kecamatan Sipahutar tahun 1970-an. Pemerintah Desa dan Dinas Kehutanan memanipulasi tanda tangan Masyarakat Adat. Awalnya, mereka memberi izin kepada pemerintah untuk melakukan reboisasi seluas 50 hektar. Namun, dalam surat kesepakatan antara pemerintah dan Masyarakat Adat, malah tertulis seluas 550 hektar. (Harian Waspada, 09/04/1979).

Kedua, bentuk program rehabilitasi hutan juga digunakan untuk mengambil alih dan merampas wilayah adat menjadi hutan negara. Tanah-tanah adat yang masuk dalam kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan, baik program reboisasi maupun penghijauan, disulap menjadi tanah milik negara melalui skema Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Penetapan kawasan hutan itu dilakukan tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat, sehingga mereka tidak tahu ketika wilayah adat sudah menjadi milik negara.

Menurut data Dinas Kehutanan, tahun 1990 luas kawasan hutan negara di Tano Batak adalah 240.056 hektar. Luas kawasan hutan itu kemudian semakin bertambah. Sejak 1990-an hingga 1996, total luas kawasan hutan di Tapanuli Utara menjadi 588.532 hektar. Kawasan hutan yang dikapling oleh negara itu, lalu digunakan untuk menghadirkan PT Inti Indorayon Utama yang sekarang menjadi TPL.

Realitas yang terjadi di masa lalu - dalam hal pengelolaan sumber daya alam - harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah. Konflik agraria yang terjadi di Tano Batak, sebagaimana dijelaskan di awal, merupakan dampak dari masifnya negaraisasi wilayah adat. Penguasaan sumber daya alam oleh negara pun seharusnya dapat menghormati hak Masyarakat Adat mengingat bahwa negara hadir untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan menghisap dan menindas.

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak Masyarakat Adat juga selayaknya dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk melindungi wilayah adat. Di atas, penulis telah menjelaskan bagaimana wilayah adat (termasuk tanah-tanah adat di dalam wilayah adat) berubah kepemilikan menjadi kawasan hutan negara. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan menyebut wilayah adat sebagai tanah yang tidak bertuan, sehingga seolah pantas menjadi target untuk menjadi kawasan hutan negara.

***

Penulis adalah anggota BPAN dan kini bekerja sebagai staf di Direktorat Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (OKK) Deputi I Pengurus Besar AMAN.

Writer : Lasron P. Sinurat | Jakarta
Tag : Tutup TPL Masyarakat Adat Tano Batak Masyarakat Adat batak Toba