Oleh Simon Welan

Perjuangan Masyarakat Adat Tana Ai untuk mempertahankan wilayah adat, tidak akan pernah surut sejengkal pun karena warisan leluhur itu diyakini selayaknya “ibu” yang memberikan kehidupan bagi generasi saat ini dan anak cucu yang akan datang. Masyarakat Adat Tana Ai di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), terdiri dari Suku Soge di Komunitas Masyarakat Adat Natarmage dan Suku Goban di Komunitas Masyarakat Adat Runut.

Hal itu dikatakan oleh Leonardus Leo, seorang pimpinan Masyarakat Adat (Tana Puan) dari Suku Goban, saat ditemui di halaman Gedung DPRD Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Jumat (03/06/2022).

Leonardus mengatakan, Masyarakat Adat Tanai Ai mendatangi DPRD Kabupaten Sikka dengan tujuan untuk mendengar secara langsung Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Anggota DPRD Kabupaten Sikka terkait tanah eks HGU Nangahale yang hingga saat ini menjadi polemik antara Masyarakat Adat Tana Ai dan pihak PT Krisrama.

Kurang lebih dua ratusan warga Masyarakat Adat Tana Ai datang dan tiba di halaman gedung wakil rakyat itu sejak pukul 10:00 WITA. Namun, mereka hanya menunggu di luar ruangan karena tidak diizinkan masuk. Padahal, di ruangan utama saat itu sedang ada Rapat Kerja (Raker) antara Anggota DPRD Kabupaten Sikka dan Pemerintah Kabupaten Sikka yang dihadiri oleh Bupati Sikka bersama dinas-dinas terkait dalam rangka agenda realisasi dana untuk Percepatan Ekonomi Nasional (PEN) dan Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale.

Raker tersebut berakhir pada pukul 13:30 WITA, namun Masyarakat Adat Tana Ai tidak juga diizinkan masuk untuk melakukan RDP dengan para Anggota DPRD Kabupaten Sikka. Masyarakat Adat pun merasa kecewa dengan sikap para wakil rakyat yang menghindar dengan tidak menemui Masyarakat Adat Tana Ai.

Masyarakat Adat Tana Ai yang hendak mengutarakan aspirasi di DPRD Kabupaten Sikka. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Meski demikian, Masyarakat Adat Tana Ai tetap mendesak masuk ke ruangan untuk bisa mengikuti RDP dan mendengar langsung berbagai informasi terkait polemik tanah bekas HGU Nangahale.

“Kecewa itu pasti ada, tetapi kami tidak larut dalam kekecewaan karena kehadiran kami di sini (adalah) untuk memperjuangkan hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat pemilik ulayat di atas tanah bekas HGU tersebut. Kami akan tetap memperjuangkan hak kami itu,” kata Leonardus.

Ia menuturkan, meskipun kecewa dengan sikap para wakil rakyat tersebut, namun itu tidak menyurutkan semangat mereka dalam memperjuangkan hak sebagai Masyarakat Adat.

“Biar kami tidak diterima di sini, tapi kami tetap bertahan untuk merebut kembali tanah warisan leluhur kami,” tutur Leonardus.

Menurutnya, persoalan tanah bekas HGU Nangahale itu pernah dibicarakan bersama Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo dan pihak terkait pada 22 Desember 2021. Pada pertemuan tersebut, hadir sembilan orang utusan Masyarakat Adat Tana Ai. Namun, saat itu tidak ada kesepakatan yang mengikat karena hasil pertemuan tersebut dianggap merugikan pihak Masyarakat Adat.

Bagi Masyarakat Adat Tana Ai, proses penyelesaian yang dilakukan pemerintah saat ini, berbelit-belit dan terkesan hanya menguntungkan pihak PT Krisrama sebagai perusahan yang mengelola HGU Nangahale. Sehingga, Masyarakat Adat mendesak pemerintah untuk mendengar aspirasi Masyarakat Adat sebagai pemilik tanah di atas lahan yang dikelola perusahaan tersebut.

“Terbukti tanggal 18 Januari 2022, PT Krisrama dengan sengaja membawa tim yang terdiri dari karyawannya untuk menanam pilar di lokasi yang diklaim sebagai milik perusahaan, sehingga terjadi keributan antara Masyarakat Adat dan tim penanam pilar,” kata Tana Puan dari Suku Goban itu.

Leonardus menjelaskan bahwa terkait dengan informasi yang berhembus di kalangan masyarakat kalau tanah HGU Nangahale telah dibeli oleh pihak Belanda tahun 1912. Tana Puan Leonardus menjelaskan, pada awal penguasaan di zaman pemerintah kolonial tersebut, tanah tersebut disewakan kepada perusahan Belanda bernama Amsterdam Soenda Compagny yang berkedudukan di Amsterdam sebagai suatu Naamlose Vennotschap (NV) dengan luas 1.438 hektar untuk usaha penanaman kapas dan kelapa. Lalu, pada 1926, hak sewa itu dialihkan kepada Apostolishe Vicariaat Van de Kleine Soenda Hilanden dengan transaksi jual-beli seharga fl. 22.500 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya (eigondom), dialihkan menjadi tanah milik negara (algemene domeinverklaring) pada 1960. Hak-hak atas tanah kolonial pun dinasionalisasikan menjadi hak atas tanah menurut hukum Indonesia, sehingga hak sewa atau hak erfpacht itu berubah menjadi Hak Guna Usaha (HGU).

“Pada 5 Januari 1989, PT Diag diberikan kesempatan untuk mengelola HGU dalam jangka waktu 25 tahun,” ungkap Leonardus. Ia melanjutkan, “Dan, masa kontrak tersebut telah berakhir pada 31 Desember 2013 lalu. Kami Masyarakat Adat Tana Ai, khususnya Suku Soge dan Goban, ingin mengambil kembali tanah warisan leluhur kami untuk mengelolanya sendiri. Tetapi, kok, dipersulit hingga sekarang.”

Kekecewaan yang sama diungkapkan oleh Yustina, tokoh pejuang dari kelompok perempuan adat dari Masyarakat Adat Tana Ai. Ia mengutarakan bahwa kehadiran Masyarakat Adat Tana Ai di kantor DPRD Kabupaten Sikka, adalah untuk menyampaikan aspirasi terkait persoalan tanah HGU Nangahale yang hingga saat ini tak kunjung rampung.

Di hadapan Bupati Diogo yang sempat berhenti sejenak di pintu tangga sebelah utara Gedung DPRD Kabupaten Sikka, Yustina meminta Bupati Sikka itu untuk menyampaikan kepada para wakil rakyat agar mereka bisa masuk ruangan untuk menyampaikan aspirasi. Namun, Diogo tidak bisa memastikan permintaan tersebut karena kewenangan untuk menerima Masyarakat Adat, berada di bawah pimpinan dari pihak DPRD Kabupaten Sikka.

“Kami minta Pak Bupati masuk kembali ke ruangan untuk kita dialog bersama DPRD,” ucap Yustina.

Bupati Sikka pun hanya merespons dengan mengatakan bahwa apabila ada persoalan, sebaiknya dibicarakan secara bersama dan apabila ada usulan dari Masyarakat Adat, maka akan dicarikan solusi secara bersama. “Jika ada usulan dari bapak dan mama, mari kita carikan jalan keluar bersama,” ucap Diogo.

Meski kemudian tampak Bupati Diogo berusaha masuk kembali ke ruangan untuk melakukan negosiasi dengan pimpinan DPRD Kabupaten Sikka, namun hasilnya tetap nihil. Para pimpinan wakil rakyat itu tetap bersikeras untuk tidak menerima kehadiran Masyarakat Adat untuk berdialog di dalam ruangan.

***

Penulis adalah staf Infokom AMAN Nusa Bunga.

Writer : Simon Welan | Nusa Bunga
Tag : Masyarakat Adat Sikka Masyarakat Adat Tana Ai DPRD Kabupaten Sikka