Oleh Hero Aprila

Bak sebuah ledakan petasan yang mengagetkan semua orang, begitulah kejutan dari lahirnya sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja).

Persis di penghujung tahun, tepatnya 30 Desember 2022, pemerintah secara ugal-ugalan akhirnya menerbitkan Perpu yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2021. Hal itu memperlihatkan bentuk otoritarianisme yang diterapkan oleh negara, semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu.

Selayaknya sulap saja, di tengah suasana libur menuju pergantian tahun, kita tiba-tiba dikejutkan dengan adanya Perpu Cipta Kerja yang muncul tanpa diduga. Biasanya, kejutan di awal tahun mendatangkan kebahagiaan bagi yang menerimanya, tetapi tentu itu jadi hal yang keliru sebab rasa gembira itu tampaknya hanya ditujukan bagi para aktor dalam lingkar oligarki saat ini – yang pengusaha dan pejabat maupun politisi.

Lantas, bagaimana dengan nasib kelompok rentan yang seringkali dimarjinalkan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, buruh, petani, nelayan, miskin kota, anak, minoritas gender dan seksual, serta Masyarakat Adat? Sudah ditindas, kini malah semakin ditindas.

Bentuk penindasan yang dialami oleh Masyarakat Adat, bahkan telah lama berjalan sebelum Perpu itu diterbitkan. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mencatat bahwa sejak Desember 2021 hingga Desember 2022, setidaknya terdapat 19 kasus yang terjadi di komunitas Masyarakat Adat, baik itu yang laki-laki, perempuan adat, dan pemuda adat, yang telah gigih memperjuangkan wilayah adat.

Data tersebut menunjukkan masifnya penindasan yang dilakukan oleh penguasa terhadap kelompok rentan. Penguasa menjadi otoriter. Itu terlihat dari perencanaan yang baik untuk mengeluarkan Perpu dalam kondisi kita yang sedang lengah, di mana sebetulnya tak ada kegentingan untuk lekas menghadirkannya sebagai kado di tahun baru ini.

Jika dengan dalih imbas perang antara Rusia dan Ukraina menjadi dalih atas krisis ekonomi global yang perlu segera direspons, bagaimana dengan pandemi Covid-19? Berkaca dari kondisi pandemi, pemerintah menetapkan kebijakan untuk karantina dan isolasi mandiri tanpa memikirkan dan memastikan bagaimana masyarakat bisa sekadar makan untuk hidup. Padahal, tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin kebutuhan hidup warganya selama karantina wilayah. Sialnya, eksekusi yang dilakukan berbanding terbalik dan itu dibuktikan dengan munculnya berbagai praktik korupsi bantuan sosial oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara kala itu yang ditetapkan menjadi tersangka pada 5 Desember 2020. Namun, di sisi lain, masyarakat bahu-membahu untuk memulihkan krisis ekonomi, tak ubahnya juga dengan Masyarakat Adat yang mampu bersatu memulihkan krisis melalui gerakan kedaulatan pangan.

Dilihat dari mana pun, Perpu Cipta Kerja tetap saja cacat formil. Padahal, MK masih menggunakan akal sehatnya dalam membuat keputusan dengan menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai kebijakan yang inkonstitusional bersyarat. Maka, melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, seharusnya pemerintah dapat merangkul dan mendengarkan semua kelompok yang merasa haknya belum terpenuhi untuk mewujudkan peraturan yang berkeadilan.

Tapi yang terjadi, pemerintah malah mengangkangi Putusan MK dengan menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Kalau sudah begitu, logika mana yang tidak berpikir bahwa Perpu itu memang ada untuk kepentingan politik semata.

***

Penulis adalah pemuda adat dari Bengkulu yang sekarang tergabung di Seknas PPMAN.

Writer : Hero Aprila | Bogor
Tag : Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Perpu Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018