Oleh Nesta Makuba

Sejak umur 17 tahun, Yakob Smalo sudah sering merasakan gempa dan tsunami di Pantai Holtekam, Distrik Muaratami, Kota Jayapura, Papua. Bahkan, ia menjadi saksi mata saat terjadi gempa yang diiringi bencana tsunami dari Jepang pada 2011 lalu di pesisir pantai tersebut.

“Saya lihat sendiri dengan mata kepala. Tsunami di Pantai Holtekam sampai masuk ke Kampung Enggros,” ungkapnya saat menceritakan pengalaman merasakan gempa dan tsunami.

Yakob mengatakan bahwa mereka yang tinggal di pesisir pantai itu tidak lagi khawatir dengan bencana gempa dan tsunami sebab mereka dapat melihat tanda-tanda kapan bencana tersebut akan datang. Menurut tetua adat berumur 75 tahun itu, Masyarakat Adat di sana sejak dahulu punya tradisi dalam membaca tanda gempa maupun tsunami melalui penentuan pada posisi terbitnya matahari.

“Matahari yang biasanya terbit dari timur, namun berpindah ke laut ini, menjadi pertanda bahwa akan terjadi gempa bumi dan tsunami,” kata Yakob.

Pria peranakan Marga Hay dari Kampung Enggros itu melanjutkan dengan bahasa daerahnya: ”Dulu tete dorang diajar kalau matahari terbit dari laut, berarti ada gempa. Kita tunggu saja, itu (kita biasanya menyebutnya dengan) ‘matahari mandi.’”

Yakob menerangkan, jika terdapat tanda-tanda akan adanya gempa atau tsunami, maka para orang tua atau tetua adat akan meminta warga kampung untuk waspada.

“Kalau sudah begitu, kami bilang ‘matahari mandi’ karena dia ke laut, lalu naik dari laut. Jadi, pasti beberapa hari kemudian akan terjadi bencana,” ujarnya.

Yakob mengakui bahwa gempa yang terjadi pekan lalu, sebenarnya sudah diketahui oleh orang-orang tua di pesisir kampung dengan cara melihat tanda-tanda pada alam. Karenanya, mereka tidak panik saat gempa melanda Jayapura.

“Masyarakat Adat di sini tidak ada yang panik saat gempa minggu lalu (karena) kami sudah mengetahuinya,” kata Yakob.


Wawancara dengan tetua adat.

Mama Rode, warga yang mendiami kawasan pesisir Pantai Hamadi, menyatakan bahwa meski tidak panik, gempa bumi berkekuatan 5,4 Skala Richter (SR) yang mengguncang Kota Jayapura itu, membuat sebagian rumah retak-retak karena guncangan yang berulang-ulang. Mama Rode berharap kerusakan akibat gempa bisa segera diperbaiki oleh pemerintah.

Selain itu, ia juga berharap pendidikan terhadap kearifan lokal dan budaya nenek moyang orang Papua dalam membaca fenomena alam, dapat terus bertahan dan berkembang.

“Kearifan lokal membaca fenomena alam ini perlu sekali diajarkan ke semua orang Papua supaya tidak panik saat menghadapi bencana gempa dan tsunami,” ujarnya.

Gempa berkekuatan 5,4 SR yang mengguncang Kota Jayapura pada Kamis (9/2/2023), memiliki pusat gempa di sembilan kilometer barat daya Jayapura. Gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami, tapi telah merusak sejumlah rumah warga dan bangunan mal dengan korban sebanyak empat orang yang meninggal dunia.

***

Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat di Jayapura, Papua.

Writer : Nesta Makuba | Papua
Tag : Gempa Papua