Oleh: Simon Welan

Pembatasan ruang publik untuk kepentingan Masyarakat Adat yang disertai perampasan Sumber Daya Alam menjadi permasalahan ekologis Masyarakat Adat saat ini di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Permasalahan ekologis ini menimbulkan angka peningkatan kasus perdagangan manusia, terutama yang berasal dari Masyarakat Adat di berbagai daerah NTT.

Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk “Refleksi Ekologis Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur” yang dilaksanakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur, pada Jum’at (11/8/2023).

Diskusi yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) ini dihadiri Ketua AMAN Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi, Ketua AMAN Sumba, Debora Rambu Kasuatu, perwakilan Komunitas Penjaga Budaya Helong (KPBH) Kolhua, Alexius Terianus Bistolen, Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi. Diskusi digelar mulai pukul 17.00 hingga 19.15 WITA di kantor WALHI NTT.

Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menyatakan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran serta menggalang gerakan kolektif rakyat guna mendukung dan melindungi adat dan budaya serta hak-hak Masyarakat Adat, terutama terhadap proses eksploitasi yang dilakukan negara terhadap lingkungan dan alam disekitarnya.

Tanaamah Paranggi mengatakan tanah adat yang merupakan tanah milik Masyarakat Adat di NTT telah dijarah untuk kepentingan tertentu. Tanaamah menyebut salah satu Peraturan Daerah (Perda) di NTT yang dibuat pemerintah, namun sangat merugikan Masyarakat Adat adalah Perda No.8 tahun 1974 yang menganggap tidak ada tanah adat di NTT dan yang ada hanyalah tanah bekas pengolahan Masyarakat Adat.

Menurutnya, Perda No.8 Tahun 1974 tercatat sebagai perda yang sangat merugikan Masyarakat Adat di NTT, karena perda ini mengatur tentang tanah bekas pengelolaan Masyarakat Adat.

“Perda ini merupakan salah satu bentuk peraturan yang menganggap tidak ada tanah adat di NTT, dan yang ada itu hanyalah tanah bekas pengelolaan Masyarakat Adat. Ini artinya, tanah adat yang merupakan tanah milik Masyarakat Adat telah dijarah oleh pemerintah,” kata Tanaamah.

Selain tanah adat, sebutnya, ruang hidup dan kehidupan Masyarakat Adat dijarah. Ruang publik dan akses bagi Masyarakat Adat juga dibatasi sehingga menimbulkan angka perdagangan manusia yang cukup meningkat.

“Ini menjadi bukti bahwa ada permasalahan ekologis Masyarakat Adat di NTT,” kata Tanaamah.

Ketua AMAN Wilayah Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi, menyatakan saat ini NTT sedang berada dalam ancaman krisis ekologi dan maraknya kriminaslisasi terhadap Masyarakat Adat. Untuk itu, katanya, perlu adanya komitmen dan perjuangan bersama untuk mengatasi permasalahan krisis ekologi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat ini.

“Kita butuh komitmen perjuangan secara bersama untuk memposisikan Masyarakat Adat menjadi subyek hukum yang diakui melalui peraturan daerah dan peraturan perundang- undangan," jelas Maximilianus Loi.

Hal yang sama disampaikan Ketua AMAN Wilayah Sumba, Debora Rambu Kasuatu bahwa Masyarakat Adat perlu diberdayakan, salah satunya melalui program pemberdayaan pemuda adat agar mereka tidak menjadi pengangguran di kampung halamannya sendiri. Para pemuda adat diajak untuk pulang ke kampungnya untuk mengelola program pemberdayaan itu.

“Pemuda adat dan saudara-saudara yang bekerja di pemerintahan harus diperkuat pemahamannya tentang adat dan budaya yang sesungguhnya karena mereka juga bagian dari anak-anak adat yang memiliki peluang untuk bekerja di pemerintahan.

“Pemuda adat perlu kita dorong melalui program pemberdayaan Masyarakat Adat sehingga ketika mereka pulang ke kampung. Mereka bukan menjadi penyebab masalah yang dengan mudah menjual wilayah adatnya untuk ekonomi dan kepentingan pribadi lainnya,” pungkas Debora.

Dalam kesempatan itu, Alexius Terianus Bistolen dari Komunitas Penjaga Budaya Helong (KPBH) Kolhua menyampaikan harapannya sebagai Masyarakat Adat kepada pemerintah untuk bisa hadir menjadi soko guru yang utama dalam memperhatikan nilai-nilai adat untuk pembangunan yang berkeadilan.

Sebagai bagian dari Masyarakat Adat, katanya, pemerintah seharusnya hadir di tengah masyarakat sebagai soko guru utama untuk memperhatikan nilai-nilai adat dan budaya kita.

“Kita sepakat dengan pembangunan yang berjalan terus, tetapi kita berharap pembangunan itu harus sejalan dengan nilai-nilai adat dan budaya yang dimiliki oleh Masyarakat Adat itu sendiri," jelasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Bunga

Writer : Simon Welan | Nusa Bunga
Tag : Perampasan Sumber Daya Alam Permasalahan Ekologis Masyarakat Adat di NTT