[MEDAN] Puluhan advokad dan aktivis menyatakan kesediaan untuk membantu 31 orang warga di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), yang ditahan oleh polisi akibat bentrokan dengan aparat. Pembelaan hukum itu diberikan advokad karena menilai polisi terlalu semena-mena saat melakukan penangkapan. "Kami sudah melakukan koordinasi dalam mendampingi masyarakat yang dijadikan tersangka oleh polisi. Tindakan polisi ini sudah sangat berlebihan, sebab tidak melihat permasalahan ini secara jernih, dan tidak mengetahui sejarah," ujar Ketua Tim Advokad Masyarakat Petani Kemenyan Korban PT Toba Pulp Lestari (TPL), Mangaliat Simarmata kepada SP, Jumat (1/3). Mangaliat mengatakan, tidak etis jika Kapolda Sumut Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro, Kapolres Humbahas AKBP Heri, Bupati Humbahas Maddin Sihombing serta para anggota DPRD Humbahas, mengenyampingkan sejarah dan latar belakang persoalan tersebut. Sebab, masalah hutan kemenyan itu sudah dikelola masyarakat, terhitung dari 13 generasi yang lalu. "Sangat aneh jika pimpinan dari aparat kepolisian dan kepala daerah, justru sama sekali tidak melihat ke arah sana. Sebelum PT TPL ada di bumi Tano Batak, justru masyarakat di sana justru sudah menjadikan tanaman kemenyan sebagai sumber mata pencaharian. Kami menduga, upaya terorganisir untuk mengorbankan masyarakat, sangat tinggi," tegasnya. Pengamat hukum dari Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan (Puspa) Muslim Muis mengatakan, penangkapan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat yang dituduh melakukan pelanggaran hukum itu, sangat bertentangan dengan konvensi antipenyiksaan. Bahkan, aparat melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). "Selain melakukan pelanggaran HAM namun aparat kepolisian juga melanggar hukum. Mereka yang melakukan penangkapan itu pun dapat dijerat pidana. Sebab, mereka menggunakan kekerasan saat melakukan penangkapan. Tidak sedikit pihak yang mencurigai, ada kepentingan polisi di balik kasus ini. ," ungkapnya. Muslim menilai, sikap arogansi kepolisian dalam manangani persoalan di Humbahas tersebut sangat bertentangan dengan UU nomor 12 tahun 2002 tentang tugas dan tanggung jawab kepolisian. Selain itu, polisi bukan lagi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Sebaliknya, polisi dituding sebagai penindas rakyat. Humas PT TPL, Chaerudin Pasaribu, saat dihubungi menyampaikan, perusahaan itu mengantongi izin pemanfaatan hutan tanaman industri (HTI) dari Menteri Kehutanan sampai denganKepala daerah. Dengan izin yang dimiliki itu, PT TPL menyangkal jika dituduh melakukan perampasan lahan yang diklaim milik masyarakat tersebut. Sektor HTI perusahaan itu berada di Tele, yang merupakan wilayah Humbahas, Samosir, Dairi dan Pakpak Bharat. Konsesi HTI berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, jo SK No 58/Menhut-II/2011 tanggal 28 Februari 2011. Rencana Kerja Umum (RKU) perusahaan ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan No SK 109/VI-BHt/2010. Kemudian, Rencana Kerja Tahunan (RKT) untuk 2012, berdasarkan Keputusan No.427/TPL-Um/V/2012 tanggal 30 Mei 2012. TobaPulp adalah pemegang sertifikat PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) berdasarkan sertifikat nomor PHPL 00001 tanggal 25 Oktober 2010, dan izin Self Approval dari Dirjen Bina Usaha Kehutanan No. S 693/BUHT-3/2011 tanggal 22 Desember 2011. Kepala Bagian Dokumentasi Liputan dan Informasi Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan menyampaikan, 16 orang warga Humbas yang diboyong ke Markas Polda Sumut, merupakan tahanan titipan dari Polres Humbahas. Mereka diboyong dari Polres Humbahas, demi memperlancar proses penyidikan dan keamanan di Humbahas. Mereka yang diboyong itu resmi tersangka. "Mereka dijerat Pasal 406 Yo 170 tentang pengrusakan secara bersama-sama. Surat penahanan dan proses pemeriksaanya di lakukan Kapolres Humbahas, bukan Polda Sumut. Situasi di sana sekarang sudah berangsur aman pascabentrokan," sebutnya. [155] Sumber: suarapembaruan.com

Writer : Infokom AMAN | Jakarta