
AMAN Kamalisi Mendesak Polisi Hentikan Proses Hukum Masyarakat Adat Tolak Tambang di Kalora
18 Juni 2025 Berita Arman SeliOleh Arman Seli
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi di Sulawesi Tengah mendesak aparat kepolisian untuk menghentikan proses hukum terhadap 15 orang Masyarakat Adat Kalora yang dilaporkan oleh perusahaan karena menolak tambang.
AMAN menyebut 15 orang Masyarakat Adat yang diproses hukum tersebut merupakan korban kriminalisasi dari perusahaan tambang yang ingin menguasai tanah adat masyarakat.
Oskar Tikabaja dari Divisi Hukum dan Advokasi AMAN Kamalisi menyatakan proses hukum terhadap 15 Masyarakat Adat Kalora sudah berlangsung sejak Oktober 2024, ditandai dengan pemanggilan ke kantor polisi untuk dimintai klarifikasi atas laporan perusahaan. Namun, hingga saat ini proses hukumnya tidak jelas. Oskar meminta aparat kepolisian untuk menghentikan proses hukum 15 Masyarakat Adat Kalora tersebut.
“Sampai saat ini, tidak ada bukti kesalahan yang bisa menjerat 15 Masyarakat Adat Kalora. Polisi harus menghentikan proses hukumnya. Mereka hanya korban kriminalisasi dari perusahaan tambang,” kata Oskar Tikabaja pada Senin, 16 Juni 2025.
Oskar menduga berlarut-larutnya proses hukum yang menimpa 15 Masyarakat Adat Kalora karena ada oknum yang bermain untuk perusahaan. Oskar mengatakan proses hukum ini sengaja digantung sebagai alat tawar kepada Masyarakat Adat agar tidak lagi menolak tambang di Kalora.
Dari kasus ini, Oskar curiga ada oknum polisi yang diduga terlibat dalam operasional tambang di Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pasalnya, sebut Oskar, Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid telah menutup secara permanen perusahaan tambang PT. Tambang Watu Kalora dan PT Bumi Alpha Mandiri. Namun, Polda Sulawesi Tengah tidak menghentikan proses hukum terhadap 15 Masyarakat Adat yang dilapor oleh perusahaan tersebut.
“Ini aneh, perusahaan tambang sudah ditutup oleh Gubernur tapi proses hukum terhadap 15 Masyarakat Adat Kalora belum dihentikan,” ujarnya.
Dalam hal ini, Oskar memohon kepada Gubernur Anwar Hafid untuk mendesak Polda Sulawesi Tengah agar menghentikan proses hukum terhadap 15 Masyarakat Adat Kalora yang dilaporkan perusahaan tambang.
"Kami memahami bahwa Kepala Daerah tidak memiliki hak dalam mengintervensi proses hukum, tetapi dalam situasi ini peran Gubernur sangat dibutuhkan," ungkap Oskar.
Aksi Desak Polisi Hentikan Proses Hukum
Puluhan massa dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam “Front Kamalisi Menggugat” belum lama ini menggelar aksi damai mendesak polisi untuk segera menghentikan proses hukum terhadap 15 Masyarakat Adat Kalora yang diperiksa karena menolak perusahaan tambang.
Desakan ini disampaikan oleh massa aksi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), PEREMPUAN AMAN, JATAM, WALHI, Celebes Bergerak, Rumah Hukum Tomanuru, Ekonesia saat menggelar aksi damai ke Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Sulawesi Tengah.
Massa desak Polda Sulawesi Tengah hentikan proses hukum 15 Masyarakat Adat yang menolak tambang di Kalora. Dokumentasi AMAN
Kronologi Perusahaan Melaporkan Masyarakat Adat ke Polisi
Kasus pelaporan perusahaan tambang terhadap 15 Masyarakat Adat Kalora berawal dari sebuah informasi bahwa ada perusahaan yang akan membangun pabrik kelor dan kebun binantang. Seiring berjalannya waktu, perusahaan tersebut memperluas lahan dengan cara membeli.
Namun dalam sebuah pertemuan di kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Kepala Desa Kalora mendapat informasi bahwa ada perusahaan tambang galian C masuk di desa Kalora. Kepala Desa dan Masyarakat Adat Kalora heran atas informasi ini karena sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi ke mereka.
Mirisnya, ada pengumpulan KTP dan kabarnya disertai pemberian uang oleh oknum tertentu untuk menerima perusahaan.
Perusahaan tambang galian C dilaporkan tumbuh masif di Sulawesi Tengah belakangan ini. Kabarnya, perusahaan ini akan memasok kebutuhan material berupa pasir, kerikil dan batu untuk kebutuhan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.
Pemerintah desa Kalora pernah mengundang pihak perusahaan untuk mengklarifikasi hal ini tetapi tidak datang.
Masyarakat Adat Kalora membuat surat berisi penolakan terhadap aktivitas pertambangan di wilayah adat mereka, lalu disebarkan ke semua dusun untuk ditanda tangani oleh Masyarakat Adat Kalora. Surat penolakan ini lalu dikirim ke perusahaan.
Akibat penolakan ini, perusahaan PT. Bumi Alpha Mandiri dan PT. Tambang Watu Kalora di desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi belum beroperasi.
Sejumlah oknum yang diduga suruhan perusahaan telah mendatangi Ketua Adat Kalora. Mereka membujuk Masyarakat Adat untuk menerima perusahaan.
Cara ini tidak berhasil. Justru, beberapa Masyarakat Adat yang menjual lahan untuk pabrik kelor juga ikut menolak perusahaan galian tersebut karena merasa ditipu. Sebab, saat membeli lahan alasannya untuk pabrik kelor.
Pihak perusahaan marah. Mereka mengancam penjual lahan untuk kembalikan uang karena ikut menolak. Tidak berhenti disini, perusahaan melaporkan 15 Masyarakat Adat Kalora yang dituding menghalang-halangi masuknya perusahaan tambang di Kalora. Di bulan Oktober 2024, polisi mulai memanggil 15 Masyarakat Adat yang dilaporkan tersebut untuk dimintai klarifikasi.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah