
Ritual Kebo-Keboan Merekatkan Nilai Spritual, Tradisi Agraris dan Kebersamaan
18 Juli 2025 Berita Zenba Bimbi Galuh PermataOleh Zenba Bimbi Galuh Permata
Ratusan Masyarakat Adat tumpah ruah mengikuti ritual adat Kebo-Keboan di dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Ritual yang digelar pada bulan Suro atau 6 Juli 2025 ini sontak membuat suasana dusun Krajan menjadi magis.
Masyarakat Adat berdandan menyerupai kerbau : tubuh dan wajah mereka dilumuri campuran arang dan minyak goreng, kepala dihiasi sungu atau tanduk buatan dan leher dikalungi klutuk, sebuah benda dari kayu yang bentuknya mirip dengan lonceng. Jika digerakkan akan menghasilkan bunyi klutuk-klutuk. Klutuk ini biasa dikalungkan pada kerbau saat membajak sawah.
Kebo-Keboan merupakan tradisi khas komunitas Masyarakat Adat Osing Alasmalang, yang notabene anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Bagi Masyarakat Adat Alasmalang, Kebo-Keboan adalah suara mereka kepada semesta. Sebuah nyanyian doa yang diiringi derap kaki kerbau, tabuhan klutuk, dan lantunan pujian—menyampaikan harapan, menyemai keyakinan, dan merawat mimpi tentang kemakmuran yang tak pernah lekang oleh waktu.
Ritual Kebo-Keboan di desa Alasmalang bukan sekadar pertunjukan adat, melainkan warisan hidup yang merekatkan nilai spiritual, tradisi agraris, dan kebersamaan Masyarakat Adat. Melalui tokoh-tokoh simbolik seperti Dewi Sri, para pelaku kerbau, hingga Kebo Mas yang baru diperkenalkan tahun ini, Masyarakat Adat Alasmalang mengekspresikan harapan mereka akan panen yang subur, kehidupan yang makmur, dan terbebas dari pagebluk.
Dalam setiap gerak, suara, dan prosesi, ritual ini menjadi ruang doa kolektif yang mengakar kuat dalam ingatan dan identitas budaya Osing—sebuah pengingat bahwa kearifan lokal tetap relevan sebagai penuntun hidup, bahkan di tengah dunia yang terus berubah.
Bentuk Syukur Melewati Masa Sulit
Sapuan Ribut selaku sesepuh adat dari dusun Krajan menjelaskan dulu ritual Kebo-Keboan ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur Masyarakat Adat atas hasil panen yang melimpah usai dilanda masa pagebluk atau wabah. Namun kini, ritual Kebo-Keboan dilaksanakan sebagai ungkapan syukur sudah diberikan kesehatan, keselamatan, rejeki, dan hasil panen yang melimpah. Selain itu, ritual ini juga dilaksanakan untuk menyambut masa tanam berikutnya, sekaligus melestarikan warisan leluhur.
“Ritual ini sebagai bentuk rasa syukur kami setelah melewati masa sulit dan hasil panen yang baik. Sekaligus permohonan kepada alam agar tahun depan panen tetap subur,” ujar Sapuan.
Pria yang sudah berusia 80 tahun ini menambahkan lebih dari sekadar tradisi, Kebo-Keboan kini menjadi wujud doa dan harapan bersama bagi keberkahan, kemakmuran, dan kesuburan hasil panen di masa mendatang. Dalam prosesinya, sebut Sapuan, seluruh Masyarakat Adat bergotong-royong mempersiapkan kebutuhan ritual dengan penuh semangat dan kebersamaan.
Sapuan menerangkan Kebo-Keboan bukan sekedar ritual, tapi bisa juga menjadi media penghubung antara manusia, alam dan spiritualitas. Karena dalam prosesnya, kata Sapuan,, ritual Kebo-Keboan ini mengandung doa yang disampaikan lewat simbol-simbol agraris, gerakan tubuh yang menyatu dengan tanah serta prosesi yang penuh makna dan nilai sakral.
“Sebuah warisan budaya yang hidup dan tumbuh bersama Masyarakat Adat,” terangnya.
Sapuan menuturkan di tengah modernisasi dan tantangan zaman, tradisi ini terus lestari sebagai penanda identitas, sekaligus cermin kearifan lokal Masyarakat Adat Osing yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia dan alam.
Kesakralan Proses Temurune Dewi Sri
Ritual Kebo-Keboan tidak hanya menampilkan para “kerbau” tapi juga menampilkan sosok Dewi “Padi” Sri, yang dipercaya membawa kesuburan. Diperankan oleh perempuan muda, Dewi Sri merupakan sosok yang dipercaya memberikan kesuburan terhadap tanaman para petani yang mengalami pagebluk yang berkepanjangan. Kehadiran Dewi Sri beserta dayangnya merupakan momen yang ditunggu-tunggu ketika berlangsungnya ritual Kebo-Keboan. Selain ingin menyaksikan kecantikan Dewi Sri, penonton juga ingin merasakan kesakralan proses temurune Dewi Sri yaitu momen dimana Dewi Sri turun dari kereta kencana yang ditarik oleh dua pelaku kerbau putih.
Dalam langkah keanggunan Dewi Sri menuruni tangga kereta kencana, iringan lagu akan dinyanyikan oleh kelompok paduan suara. Lagu yang dinyanyikan khusus dibuat untuk ritual ini.
Dalam ritual Kebo-Keboan diceritakan Dewi Sri hadir ditengah keresahan petani akan wabah yang tak kunjung menghilang, lalu menyerahkan secara simbolis benih padi kepada Pak Tani, kemudian Dewi Sri akan mengelus kepala para pemeran kerbau, dengan harapan para kerbau menjadi hewan ternak yang baik, tidak arogan, agar bisa membantu kerja petani di sawah.
Kebo Mas. Dokumentasi AMAN
Ada Yang Berbeda dari Ritual Kebo-Keboan Tahun Ini
Yang berbeda dari ritual Kebo-Keboan tahun ini, panitia menghadirkan sosok baru bernama Kebo Mas, kerbau berwarna emas yang langsung mencuri perhatian penonton. Diperankan oleh Slamet alias Mamet, seorang seniman muda yang bukan warga asli desa, namun aktif dalam pelestarian budaya local. Kebo Mas menjadi simbol kemakmuran, kejayaan, dan harapan akan hasil panen yang lebih baik.
“Sosok Kebo Mas kami hadirkan tahun ini sebagai doa bersama agar ke depan Masyarakat Adat terbebas dari pagebluk dan terus diberi hasil panen yang melimpah. Kebo Mas lambang kemakmuran dan kesejahteraan yang dalam strata kerbau berada di tingkatan tertinggi,” ungkap Doni Agus, salah seorang panitia ritual Kebo-Keboan.
Ditambahkannya, sebelum menjalani prosesi ritual, Dewi Sri, Kebo Mas, dan perwakilan Kebo Hitam terlebih dahulu menjalani ruwatan oleh seorang dalang muda sebagai bentuk pengusiran sengkolo (kesialan) yang hadir dalam wujud betoro kolo, pembersihan diri dan pembukaan gerbang spiritual acara.
Budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono mengapresiasi jalannya ritual Kebo-Keboan tahun ini. Aekanu mengaku senang bisa hadir menyaksikan ritual Kebo-Keboan ini. Ia mengatakan ritual yang dilaksanakan setiap tahun ini mengingatkan dirinya ke masa 30 tahun lalu saat kondisi jalanan belum beraspal.
“Semoga ritual komunal ini tetap lestari,” kata Aekanu penuh harap usai menyaksikan ritual Kebo-Keboan.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Osing, Banyuwangi, Jawa Timur