
Mahkamah Agung Tolak Permohonan Kasasi Kepala Desa Tempayung
30 Juli 2025 Berita Thata Debora AgnessiaOleh: Thata Debora Agnessia
Mahkamah Agung Republik Indonesia menolak permohonan kasasi yang diajukan Kepala Desa Tempayung Syachyunie alias Yuni bin Harmain dalam perkara pidana perlawanan Masyarakat Adat terhadap dominasi korporasi perkebunan sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Agung Soesilo pada Rabu, 23 Juli 2025 tersebut menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Syachyunie.
Gregorius selaku penasehat hukum Syachyunie menilai putusan Mahkamah Agung ini memantik perdebatan soal keadilan hukum di Indonesia, khususnya bagi Masyarakat Adat. Karena itu, Gregorius memastikan pihaknya akan melakukan langkah hukum selanjutnya hingga keadilan dapat ditegakkan untuk Syachyunie.
“Kita akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK),” katanya pada Minggu, 27 Juli 2025.
Gregorius menjelaskan sejak awal, kasus ini sarat nuansa kriminalisasi. Kedudukan Masyarakat Adat Tempayung tidak diakui sebagaimana mestinya, yang seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam kasus ini. Eksistensi Masyarakat Adat juga dikaburkan oleh putusan ini yang lebih berforkus pada legal formil, meskipun dalam putusan pengadilan disebut telah menegakkan keadilan materiil.
Gregorius menyatakan putusan yang tegak pada keadilan materiil hanyalah retorika kosong belaka. Ia menuding putusan ini justru mengabaikan fakta-fakta yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam mencapai keadilan sejati.
“Jadi, kasus ini dimensi kriminalisasinya cukup jelas. Itulah mengapa kami terus melakukan upaya hukum dari awal hingga keadilan ditegakkan,” lanjut Gregorius.
Disebutkan, Syachyunie didakwa melanggar Pasal 55 junto Pasal 107 huruf a Undang-Undang Perkebunan, yang pada dasarnya mengatur larangan pengelolaan kebun tanpa izin. Gregorius mempertanyakan penerapan pasal tersebut terhadap kliennya.
“Pertama, soal keterpenuhan unsur pasal. Kedua, posisi Masyarakat Adat yang mengelola wilayahnya sendiri seharusnya menjadi pengecualian. Ini kontraproduktif dengan argumentasi Majelis Hakim,” jelasnya.
Gregorius juga mempertanyakan mengapa hanya Syachyunie yang dipidana. Sebab, kegiatan yang menjerat Syachyunie itu melibatkan banyak orang, bahkan satu komunitas Masyarakat Adat.
“Mengapa hanya satu orang yang bertanggung jawab,” tanyanya dengan nada heran.
Kuasa hukum akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung. Dokumentasi AMAN
Syachyunie : Saya tidak melakukan tindak pidana
Menanggapi putusan Mahkamah Agung, Syachyunie menyatakan sebagai warga negara, dirinya patuh hukum. Namun, Syachyunie tetap optimis bahwa kasus ini murni bukan tindak pidana. Ia menilai putusan ini bagian dari upaya kriminalisasi penegak hukum.
“Saya tidak melakukan tindak pidana, ini upaya penegak hukum mengkriminalisasi dirinya dengan mencari-cari kesalahan yang tak pernah saya lakukan,” pungkasnya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah menjatuhkan vonis enam bulan penjara terhadap Kepala Desa Tempayung Syachyunie pada Selasa, 25 Maret 2025. Vonis ini diperkuat di tingkat Pengadilan Tinggi.
Namun, vonis ini menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat yang menilai putusan majelis hakim tersebut sebagai bentuk ketidakadilan hukum.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah