Oleh Gamaliel M. Kaliele dan Yesnath Anthony

Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, sembari mendesak anggota DPR RI dan Pemerintah Pusat untuk segera mengesahkan Undang-Undang tersebut agar keberlangsungan hidup Masyarakat Adat menjadi lebih terjamin di negeri ini.

Dukungan ini mencuat di sela kegiatan Konsultasi Publik RUU Masyarakat Adat Region Papua di Kota Sorong, Papua Barat Daya pada Kamis, 31 Juli 2025. Forum konsultasi yang turut dihadiri para pemimpin daerah, tokoh adat, akademisi dan perwakilan organisasi masyarakat sipil serta lembaga negara ini menjadi momen penting dalam mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah dua dekade mangkrak di gedung Parlemen.

Wakil Gubernur Papua Barat Daya Ahmad Nausrau mengatakan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya mendukung penuh proses konsultasi publik RUU Masyarakat Adat yang dinilai sebagai langkah strategis untuk membangun kebijakan dari bawah, melalui partisipasi aktif para pemangku kepentingan dan pemangku hak. Menurutnya, konsultasi ini adalah bagian dari upaya kolektif untuk membangun dasar hukum nasional yang kuat dan inklusif.

“Saya dukung, harapan kami RUU Masyarakat Adat ini bukan sekadar produk hukum formal, tetapi menjadi sarana transformasi keadilan dalam kerangka hukum Indonesia,” kata Ahmad Nausrau dalam sambutannya di hadapan peserta Konsultasi Publik RUU Masyarakat Adat.

Pada kesempatan ini,  Nausrau menyinggung konstitusi UUD 1945 yang telah mengakui keberadaan dan hak Masyarakat Adat. Namun, absennya Undang-Undang Masyarakat Adat menyebabkan kekosongan hukum yang membuka ruang bagi perampasan wilayah adat, kriminalisasi, hingga marginalisasi Masyarakat Adat.

Nausrau menyebut di wilayah Papua kerap menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Ekspansi industri ekstraktif, perubahan fungsi ruang yang mengabaikan nilai-nilai budaya lokal, hingga proyek-proyek atas nama pembangunan justru mengancam keberlanjutan hidup Masyarakat Adat.

Terkait hal ini, Nausrau menyerukan agar konsultasi publik ini menghasilkan masukan konkret dalam penyusunan RUU Masyarakat Adat dan mendorong percepatan pengesahannya.

"RUU Masyarakat Adat ini menjadi harapan baru agar negara benar-benar hadir melindungi Masyarakat Adat dengan pendekatan yang adil, setara, dan kontekstual. Masyarakat Adat adalah subjek utama pembangunan berkelanjutan," terangnya.

Diakhir sambutannya, Nausrau menyerukan agar seluruh pihak menjadikan konsultasi ini sebagai gerakan kolektif membangun masa depan Papua yang menghormati keberagaman dan menjunjung keadilan ekologis serta penguatan identitas bangsa.

"Kami terus memperkuat regulasi daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub) dan peraturan adat yang mendukung pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat secara lebih nyata di tingkat lokal," pungkasnya.

Wakil Gubernur Papua Barat Daya Ahmad Nausrau sedang memberi sambutan di acara konsultasi publik RUU Masyarakat Adat. Dokumentasi AMAN

Para Bupati Ikut Mendukung Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Dalam forum yang sama, Bupati Sorong Johny Kamuru turut memberikan pandangan kritisnya. Ia mengisahkan pengalaman pribadinya sebagai masyarakat biasa yang pernah berangkat ke negara-negara Pasifik dengan dana pribadi untuk belajar dari kehidupan masyarakat Melanesia.

"Saya ke negara-negara Pasifik, saya lihat sendiri masyarakat Melanesia punya rasa menghormati, menerima, dan tulus. Jumlah mereka tidak banyak, tapi mereka menjaga tatanan sosial dan lingkungannya dengan sangat baik," tutur Johny.

Ia menyayangkan bahwa di Indonesia, khususnya Papua, Masyarakat Adat justru harus berhadapan dengan kebijakan pusat yang kerap tidak berpihak.

"Persoalan kita hari ini adalah kebijakan pusat yang tidak memihak. Kita sebagai orang Papua punya hati yang tulus, tapi seringkali harus bertarung melawan sistem," tegasnya.

Johny Kamuru mendesak agar RUU Masyarakat Adat benar-benar menjadi produk hukum yang berpihak dan menjamin masa depan anak cucu Papua.

“Jangan sampai nanti kita hanya bisa menangis melihat anak cucu kita tidak lagi punya ruang hidup yang layak. Kita harus perjuangkan Undang-Undang Masyarakat Adat ini disahkan,” imbuhnya.

Bupati Sorong Selatan Petronela Krenak juga mendukung pengesahan RUU Masyarakat Adat. Ia menegaskan pentingnya forum konsultasi ini sebagai bagian dari perjuangan panjang orang asli Papua mempertahankan hak-hak adatnya. Ia menyampaikan bahwa Sorong Selatan telah lebih dahulu menetapkan sejumlah wilayah adat melalui keputusan Bupati sejak 2022.

"Kami sudah bentuk pengakuan masyarakat Distrik Saifi, Distrik Seremuk Knasaimos, Distrik Konda Gemna, Afsia Yaben, Distrik Teminabuan Mlafle Mlakya,” sebutnya.

Petronela menutup sambutannya dalam konsultasi publik ini dengan pesan penting dari perspektif seorang perempuan adat. Harapannya, hasil konsultasi ini menjadi langkah maju melahirkan Undang-Undang Masyarakat Adat yang berpihak kepada mereka yang hidup turun-temurun di atas tanah Papua.

"Sebagai perempuan Papua, saya ingin menyampaikan pembahasan hak-hak adat perempuan asli Papua harus diutamakan, perlu diakomodir di dalam UU Masyarakat Adat,” ujarnya.

Suasana forum konsultasi publik RUU Masyarakat Adat di Kota Sorong. Dokumentasi AMAN

Akademisi Dorong Percepatan Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Senada dengan Kepala Daerah di Papua Barat Daya, para akademisi dan tokoh Masyarakat Adat juga menekankan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Dalam konsultasi publik RUU tersebut, sejumlah tokoh menyerukan pembobotan substansi dan langkah-langkah konkret dari pemerintah agar aspirasi Masyarakat Adat di seluruh Nusantara, khususnya di Papua, tidak terus digantung.

Prof. Yesepus Fatem menjelaskan RUU Masyarakat Adat sangat krusial karena menjadi jawaban atas kebutuhan mendasar Masyarakat Adat yang selama ini tidak mendapat tempat dalam kebijakan negara. Ia berharap dari diskusi ini, pembobotan terhadap draft RUU Masyarakat Adat bisa segera dipenuhi supaya disusulkan dalam rangka pembahasan di DPR RI.

“Kehadiran RUU Masyarakat Adat ini bukan sekadar formalitas, tetapi menyangkut keadilan sosial bagi Masyarakat Adat yang selama ini hidup dalam ketidakpastian hukum dan minim akses terhadap pembangunan. RUU ini hadir karena ada banyak kebutuhan Masyarakat Adat yang harus diakomodasi oleh pemerintah, oleh negara, sehingga menghindari konflik dan memberikan kepastian hukum,” paparnya.

Prof. Fatem juga mendesak agar Masyarakat Adat diberi ruang untuk berpartisipasi dalam penyertaan modal dan pemanfaatan aset-aset mereka secara legal. Dikatakannya, Masyarakat Adat butuh makan dan minum, anak-anak mereka harus sekolah, butuh edukasi dan layanan kesehatan.

“Jadi, Masyarakat Adat  jangan dibiarkan terus hidup dalam ketimpangan. Mereka harus diberdayakan,” tegasnya.

Prof. Fatem menambahkan ketika Undang-Undang Masyarakat Adat disahkan, harus ada pasal-pasal yang melindungi individu atau lembaga yang melakukan advokasi terhadap perusakan sumber daya alam di wilayah adat. Ia juga mendorong pemerintah daerah agar menyusun Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap Masyarakat Adat dari dampak buruk investasi.

“Dari sisi aturan, memungkinkan. Tapi masalahnya ada di implementasi,” tuturnya.

RUU Masyarakat Adat Sudah Dikonsultasikan 100 Kali

Deputi II Sekjen AMAN Erasmus Cahyadi menyatakan konsultasi publik RUU Masyarakat Adat ini telah berlangsung cukup lama dan intensif. Tahun ini, sebutnya, RUU Masyarakat Adat sudah dikonsultasikan ke Papua, Sulawesi.

“Sebentar lagi di Kalimantan, lalu Sumatera dan wilayah lain. Kalau dihitung sejak 2010, RUU Masyarakat Adat sudah dikonsultasikan lebih dari 100 kali,” ungkapnya.

Erasmus menambahkan forum konsultasi RUU Masyarakat Adat akan menyasar ke seluruh Nusantara. Dikatakannya, RUU ini mencakup Masyarakat Adat seluruh Indonesia. Karenanya, nilai-nilai baik dalam Otonomi Khusus Papua justru harus dikuatkan, bukan dihilangkan.

Pada kesempatan ini, pria yang akrab dipanggil Eras ini menyinggung komitmen Presiden Prabowo terhadap Masyarakat Adat. Komitmen tersebut harus dibuktikan dalam tindakan nyata dan harus segera ditindaklanjuti oleh para pembantunya di Kabinet.

“Kalau Presiden sudah berkomitmen, Menterinya harus menindaklanjutinya. Jangan sampai tidak dilaksanakan, itu artinya menampar muka Presiden sendiri,” tegasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sorong, Papua Barat Daya

Writer : Gamaliel M. Kaliele dan Yesnath Anthony | Sorong, Papua Barat Daya
Tag : Papua Barat RUU Masyarakat Adat