Oleh Fujianti Nurjannah

Ratusan Masyarakat Adat Ciburuy menyaksikan pelaksanaan ritual pemindahan dan penyiraman benda pusaka di situs Kabuyutan Ciburuy, Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Ritual yang lazim disebut Seba ini bertujuan sebagai pengingat kepada para leluhur, sekaligus untuk membersihkan jasmani dan rohani Masyarakat Adat dengan perantara membersihkan benda-benda pusaka peninggalan leluhur.

Masyarakat Adat bersama para lungsuran karuhun (keturunan asli leluhur) menggunakan pakaian serba putih atau pangsi saat ritual. Sementara, para pemangku dan pengurus adat menggunakan sarung dan masyarakat lainnya menggunakan pakaian bebas dan sopan.

Kegiatan ritual yang dilaksanakan pada Selasa, 15 Juli 2025 mulai pukul 21.00 Wib, ditandai dengan memandikan benda pusaka dengan mata air pegunungan yang biasa digunakan oleh masyarakat. Air yang mengalir dari proses memandikan benda pusaka ini di taruh di wadah besar dan nantinya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar karena diyakini dapat menjadi obat dan pembawa keberkahan.

Setelah dimandikan, benda pusaka yang dikeluarkan dari bale pangalihan akan dikembalikan ke bale padaleman. Kemudian, ritual memandikan benda pusaka ini ditutup dengan doa bersama.

Setelah proses pemindahan masyarakat kemudian melepas pagar batas yang mengelilingi situs kabuyutan ciburuy untuk diganti dengan pagar bambu yang baru.

“Pengembalian benda pusaka ke bale padaleman merupakan suatu pengingat akan tempat kembalinya manusia ke asalnya,” terang Nana  Sumpena, selaku jurukunci Kabuyutan Ciburuy.

Nana menambahkan proses pemindahan benda pusaka ini sederhana, namun memiliki makna mendalam.

Upami ngalihkeun benda pusaka, etamah lir ibarat hijrahna nabi. Upami diuihkeuna deui ti pangalihan ka padaleman etamah lir ibarat manusa diuihkeun deui ka tempat asalna (tanah),” paparnya dalam bahasa Sunda, yang artinya: Jika memindahkan benda pusaka, itu ibaratnya hijrah Nabi. Jika dikembalikannya lagi dari Pangalihan ke Padaleman itu ibaratnya manusia yang kembali ke asalnya (tanah).

Ritual sempat terhenti tujuh tahun. Dokumentasi AMAN

Ritual Sempat Dihentikan

Nana menjelaskan ritual ini sempat terhenti karena kecaman masyarakat sekitar yang menyatakan tindakan memandikan dan berdoa di depan benda-benda pusaka itu suatu bentuk kemusyrikan.

Namun saat ritual dihentikan, sejumlah masyarakat mengalami sakit demam berkepanjangan. Semakin lama ritual tidak dilaksanakan, kondisi kesehatan masyarakat semakin parah. Nana menyebut setiap minggu, pasti ada yang meninggal.

Masyarakat teh paranas tiris, dugi kan barereum salirana saking ku panas na. heg kapungkurteh tiap tepung minggu sok aya wae anu ngantunkeun,” ungkapnya, yang artinya : Masyarakat demam, hingga badan mereka berwarna merah saking panasnya. Belum lagi dulu tiap minggu selalu ada yang meninggal dunia.

Setelah hampir 7 tahun terhenti, akhirnya para keturunan adat sepakat untuk kembali melaksanakan ritual adat Seba. Sejak itu, kejadian yang disebut Taneuh Bereum itu hanya menjadi cerita di masyarakat.

Disebatnateh Taneuh bereum dan ngarantunkeuna dina kaayaan salirana barereum,” tutur Nana, yang artinya: Disebut Tanah Merah karena meninggal dalam keadaan badan yang merah (karena panas tinggi).

Kini, ritual memandikan benda pusaka masih terus dilaksanakan di situs Kabuyutan Ciburuy.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Simahiyang, Jawa Barat

Writer : Fujianti Nurjannah | Simahiyang, Jawa Barat
Tag : Ritual Pemindahan Benda Pusaka Situs Kabuyutan Ciburuy Garut