Oleh Azmi Efendi

Sejumlah tokoh gerakan sosial dan akademisi berkumpul dalam sebuah diskusi membedah secara kritis artikulasi dan strategi gerakan Masyarakat Adat di tengah kuatnya arus kapitalisme dan kolonialisme agraria.

Diskusi yang berlangsung hangat di kantor Sajogyo Institute Bogor pada Selasa, 29 Juli 2025 ini menghadirkan tokoh senior gerakan Masyarakat Adat, Abdon Nababan yang pernah menjabat Sekretaris Jenderal AMAN periode 2007–2017.

Abdon menegaskan gerakan Masyarakat Adat adalah bagian dari gerakan sosial yang tidak bisa dipisahkan dari konteks perlawanan terhadap sistem dominan.

“Gerakan Masyarakat Adat adalah pertarungan antara dua sistem yang bertolak belakang :  sistem adat yang bersifat lokal dan berdaulat, melawan sistem negara yang kini dijalankan dengan ideologi kapitalisme,” jelas Abdon.

Dalam konteks ini, Abdon menerangkan kehadiran negara disini bukan hanya sebagai institusi, tapi juga sebagai alat dari ideologi yang berbeda. Ia menyoroti lambatnya proses pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah lama diperjuangkan. Menurutnya, ada kekhawatiran dari partai politik terhadap potensi terganggunya investasi bila pengakuan terhadap wilayah adat disahkan.

“Padahal, kalau RUU Masyarakat Adat disahkan, justru akan menghadirkan kepastian hukum. Wilayah adat akan jelas, dan investasi yang masuk pun harus melalui persetujuan komunitas Masyarakat Adat,” imbuhnya.

Abdon menegaskan Masyarakat Adat bukan anti investasi, tapi Masyarakat Adat berhak menentukan investasi seperti apa yang boleh masuk ke wilayah adat.

Gerakan Masyarakat Adat Bukan Soal Laki-Laki

Dalam diskusi ini, Siti Maimunah dari organisasi Mama Alenta Fund membagikan kisah perlawanan perempuan adat Mollo di Pulau Timor yang berhasil menghentikan operasi tambang marmer antara 1996 hingga 2005. Gerakan ini berujung pada penghargaan atas perjuangan komunitas dan pendirian Mama Alenta Fund sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan perempuan adat mempertahankan ruang hidupnya.

“Perjuangan perempuan adat adalah bukti bahwa gerakan Masyarakat Adat bukan hanya soal laki-laki, tapi juga kekuatan perempuan yang terlibat penuh. Kita semua—akademisi, aktivis, dan masyarakat di kampung—harus menyadari keterhubungan kita dengan wilayah-wilayah adat yang dirusak,” ungkap Maimunah.

Para tokoh gerakan sosial sedang menyampaikan pandangannya dalam sebuah diskusi di Bogor pekan lalu. Dokumentasi AMAN

Memutus Sistem Kolonialisme

Sementara, dalam perspektif Eko Cahyono dari Sajogyo Institute menekankan pentingnya membongkar dan memutus sistem kolonialisme agraria yang masih bekerja dalam skema perampasan wilayah adat.

Menurutnya, cara kerja kolonialisme agraria sangat sistematis, keruk sumber daya alam, abaikan pemiliknya, singkirkan manusia di sekitarnya.

Sehingga dalam praktiknya, sebut Eko, korporasi bekerja dengan elite politik untuk mengendalikan wilayah demi keuntungan para elit politik.

“Watak kolonialisme ini menempatkan alam semata sebagai komoditas untuk pasar global, tanpa mengindahkan keberlanjutan dan hak-hak Masyarakat Adat,” ujarnya.

Eko mencontohkan praktik perampasan tanah oleh perusahaan tambang nikel di Maluku.

“Tanpa izin resmi pun, perusahaan bisa memaksa Masyarakat Adat menyerahkan tanahnya dengan harga murah. Ini bentuk nyata dari kolonialisme ekonomi yang merugikan Masyarakat Adat,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Lombok, Nusa Tenggara Barat

Writer : Azmi Efendi | Lombok, Nusa Tenggara Barat
Tag : Tokoh Gerakan Sosial Gerakan Masyarakat Adat