Oleh Umbu Remu CH Nusa Mesa dan Sepriandi

Masyarakat Adat di Asia Tenggara menyerukan pengakuan penuh hak-hak Masyarakat Adat dunia tetap menjadi jalan utama menuju ketahanan iklim dan keadilan digital.

Seruan yang diberi nama “The Bogor Call to Action 2025” ini menjadi komitmen dan rekomendasi dari pertemuan 2nd Southeast Asia Regional Forum 2025 on Indigenous Peoples’ Rights and Climate Change in a Digital Era yang berlangsung selama dua hari di Bogor pada 10-11 Agustus 2025.  

Forum yang dihadiri  sekitar 200 orang perwakilan Masyarakat Adat di Asia Tenggara ini merupakan kelanjutan dari Forum Regional Masyarakat Adat se-Asia Tenggara pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2019.  Forum ini bertujuan untuk memperkuat pesan bahwa Masyarakat Adat dan pengetahuan lokal adalah kunci dan solusi bagi krisis iklim.

Pirawan Wongnithisathaporn selaku Environment Program Officer the Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) melaporkan 200 juta dari sekitar 370 juta Masyarakat Adat di dunia berada di Asia.  Dikatakannya, Masyarakat Adat memiliki tradisi dan sistem pengetahuan yang telah lama dipegang teguh, yang mengutamakan hubungan dan rasa hormat mereka terhadap alam, lingkungan, dan semua makhluk hidup. Pirawan menyatakan hal ini terbukti dalam praktik keseharian Masyarakat Adat, seperti sistem pangan tradisional dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diwariskan turun-temurun.

“Pengetahuan Masyarakat Adat bukan hanya sekadar peninggalan sejarah. Tetapi sebuah alat yang dinamis dan praktis untuk beradaptasi terhadap krisis iklim,” jelasnya dalam Forum Regional Masyarakat Adat Asia Tenggara ke-2 di Bogor.  

Pirawan menerangkan saat ini Masyarakat Adat menghadapi tantangan berat - perubahan iklim, alih fungsi lahan, kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati.  Ia menambahkan kenyataan ini tidak hanya membawa bencana fisik dan ekonomi, tetapi juga dampak negatif tak berwujud yang kini secara resmi diakui Masyarakat Adat sebagai kerugian dan kerusakan iklim.

“Masyarakat Adat dan komunitas yang bergantung pada sumber daya alam menanggung beban terberat dari dampak ini, seperti kegagalan pertanian dan hilangnya mata pencaharian,” terangnya.


2nd Southeast Asia Regional Forum 2025 on Indigenous Peoples’ Rights and Climate Change in a Digital Era. Dokumentasi AMAN

Peran Masyarakat Adat Mendukung Iklim Diakui Dunia

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, yang hadir dalam pertemuan global Masyarakat Adat ini mengatakan Masyarakat Adat dengan kebiasaannya dalam menjaga kampung, hutan dan lingkungan sering kali diabaikan oleh negara. Padahal, peran Masyarakat Adat dalam mendukung iklim yang baik telah terbukti sejak dulu.

“Peran ini diakui oleh dunia,” tegasnya.

Rukka menerangkan Masyarakat Adat dengan cara-cara tradisionalnya mampu mengatasi kekurangan pangan meski digempur krisis iklim dan kerusakan wilayah adat. Namun ironisnya, sebut Rukka, negara mengabaikan itu.

Rukka juga mengatakan perubahan iklim akibat kerusakan lingkungan berdampak langsung pada keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Ia menyinggung Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah merenggut rahim Masyarakat Adat di Merauke, Papua.

"Kita Masyarakat Adat tidak menyebabkan krisis, tapi Masyarakat Adat yang terdampak langsung," jelasnya.

Hal senada disampaikan oleh Abdon Nababan yang pernah menjabat Sekretaris Jenderal AMAN dua periode 2007-2017. Ia menyampaikan Masyarakat Adat sejak dulu adalah petani tapi sekarang Masyarakat Adat sudah tergerus oleh kebijakan dan program yang justru membuat lahan Masyarakat Adat hilang.

Abdon menyatakan Masyarakat Adat harus bersatu dalam gagasan dan pergerakan. Menurutnya, Forum Regional Masyarakat Adat Asia Tenggara ini sangat penting artinya bagi pergerakan  Masyarakat Adat di Indonesia. Sebab, jika hanya bersifat nasional atau regional maka kita agak kesulitan. Syukurnya di Indonesia, sebut Abdon, pemerintah sudah tidak mengecap atau meladeni Masyarakat Adat dengan cara primitif, tapi dalam segi kebijakan belum diperhatikan.

“Dalam banyak kasus, Masyarakat Adat tidak diakui oleh pemerintah. Hak-hak Masyarakat Adat dilanggar, terutama akibat perampasan tanah, persaingan sumber daya, dan penggusuran demi kepentingan perusahaan dan sektor swasta,” ungkapnya.  

Abdon menegaskan pemerintah seringkali menggunakan kepentingan ekonomi sebagai pembenaran untuk merampas hak atas tanah Masyarakat Adat, mengusir Masyarakat Adat dari rumah mereka, dan memblokir akses Masyarakat Adat ke wilayah adat. Kemudian, aktivitas ekstraktif dan pertambangan, pembukaan lahan besar-besaran, dan perusakan hutan terjadi di banyak wilayah adat.

“Semua ini mengancam kelangsungan hidup Masyarakat Adat dan flora fauna lokal,” jelasnya.

Martua Sirait dari The Samdhana Institut menyebut pemerintah Thailand telah mengesahkan Undang-Undang Pengakuan Masyarakat Adat di negaranya. Martua mengatakan kabar baik ini diharapkan menjadi cambuk para pengambil kebijaksanaan negara lainnya, termasuk Indonesia agar segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

"Kita berharap Undang-Undang Masyarakat Adat juga disahkan dalam waktu dekat di Indonesia," tutupnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Tenggara Timur dan Bengkulu

Writer : Umbu Remu CH Nusa Mesa dan Sepriandi | Sumba dan Bengkulu
Tag : Regional Forum