
Strategi Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi Menjaga Ketahanan Pangan
03 September 2025 Berita Fujianti NurjannahOleh Fujianti Nurjannah
Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi di Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat memiliki cara sendiri untuk menjaga ketahanan pangan. Mereka menerapkan metode “Nendeun Hasil Tatanén” atau menyimpan hasil panen untuk menghindari kekurangan pangan.
Metode ini sudah dijalankan oleh Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi pada tahun 1980-an. Sebelumnya, Masyarakat Adat masih sepenuhnya bergantung pada hasil kebun. Pada masa itu, para orang tua khawatir jika seluruh hasil panen kebun dihabiskan maka bisa mengancam ketahanan pangan.
Gaharudin, salah seorang anggota Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi, mengenang masa kecilnya. Gaharudin bercerita saat remaja, dirinya sering berbagi sebakul nasi dengan adik-adiknya.
“Kapungkur mah atuh sangu saboboko alit téh ku dalapan urang, cekap teu cekap gé sakitu wé (Dulu itu nasi sebakul kecil dimakan oleh delapan orang. Cukup tidak cukup, hanya segitu),” ucapnya dengan bahasa Sunda pada 20 Agustus 2025.
Gaharudin melanjutkan ceritanya agar bisa dibagi rata, sebelum makan biasanya perut diisi lebih dulu dengan singkong atau ubi rebus. Dengan begitu, sedikit nasi bisa terasa cukup untuk banyak orang.
Hal senada disampaikan Sudirman, salah seorang tetua adat Dangiang Batuwangi. Disebutnya, pada masa lalu satu piring nasi bisa dimakan untuk dua kali waktu. Sudirman menerangkan hal itu bukan karena kekurangan, melainkan bentuk disiplin dari orang tua.
“Waktu kecil, kami dididik makan secukupnya. Tidak boleh lapar, tapi jangan terlalu kenyang,” terangnya.
Sudirman mencontohkan nasi yang ada ditentukan porsinya, sisanya disimpan dulu untuk di makan waktu sore. Jadi, sebenarnya bukan karena kurang, tapi supaya pas.
“Siang, biasanya kami tidak makan nasi, ganti ubi atau singkong,” imbuhnya.
Sudirman menambahkan hasil panen dari kebun saat itu tidak hanya dimakan bersama keluarga, tetapi juga dijual ke pasar dan sebagian lagi disimpan sebagai cadangan pangan. Untuk menyimpannya, sebut Sudirman, Masyarakat Adat menggunakan leuit atau gowah (lumbung). Namun, tidak semua keluarga memiliki lumbung.
“Keluarga dengan hasil panen melimpah membangun lumbung di rumah, sedangkan keluarga dengan panen pas-pasan hanya menyimpan hasil kebunnya di dapur untuk kebutuhan sehari-hari,” terangnya.
Dua orang Masyarakat Adat menunjukkan padi usai panen. Dokumentasi AMAN
Masyarakat Adat Bergantung Pada Alam
Berbeda dengan pengalaman Gaharudin dan Sudirman, salah seorang kuncen atau juru kunci bernama Entang mengaku justru pernah mengalami masa kekurangan pangan. Ia menuturkan peristiwa tersebut terjadi pada saat dirinya duduk di kelas 4 SD. Waktu itu, masa awal Orde Baru. Entang bercerita saat itu, kemarau panjang melanda Dangiang Batuwangi sehingga lahan pertanian kekurangan air.
“Pada masa Orde Baru itu, saat terjadi kemarau panjang. Saat itu, keadaan seperti kembali lagi ke zaman dulu. Biasanya bisa makan bebas, tapi waktu itu cuma untuk satu atau dua kali sehari, itu pun sangat terbatas. Untungnya, singkong dan talas menjadi penyelamat,” kenangnya.
Entang menambahkan situasi sulit di masa pahit saat itu tak membuat dirinya lemah. Ia menyerukan Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi untuk tetap semangat menjalani hidup ini. Entang menegaskan Masyarakat Adat tidak akan pernah kehabisan sumber pangan, meski terkadang tidak melimpah.
“Masyarakat Adat hidupnya bergantung pada alam, sehingga selalu menemukan cara untuk bertahan dalam kondisi sulit,” tutupnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Simahiyang, Jawa Bara