
Masyarakat Adat Suka Menjaga Tradisi Menghadapi Perubahan Iklim
16 September 2025 Berita Sahrul GunawanOleh Sahrul Gunawan
Suhu udara di komunitas Masyarakat Adat Suka, wilayah pegunungan Tombolopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan melonjak panas. Biasanya stabil pada kisaran 16 – 23 derajat celcius, tapi kini lebih panas saat kemarau. Curah hujan pun lebih tinggi dari sebelumnya.
Perubahan musim yang tidak menentu ini membuat Masyarakat Adat yang tinggal di wilayah pegunungan Tombolopao kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam di ladang. Komunitas Masyarakat Adat yang dihuni 669 kepala keluarga atau 3.028 jiwa ini juga menghadapi tantangan baru : perubahan iklim yang semakin nyata.
Ali Nompa, tetua komunitas Masyarakat Adat Suka menceritakan pengalaman masa kecilnya saat tinggal di kampung yang ada sungainya. Dikatakannya, sungai di kampungnya dulu masih jernih mengalir tenang, airnya untuk minum dan tempat mandi, sekaligus bermain.
“Dulu, sungai tidak pernah meluap sebesar sekarang. Airnya juga jernih. Sekarang, setiap hujan deras, airnya cepat naik merendam sawah. Kalau kemarau, airnya keruh sekali,” ujarnya di akhir Agustus 2025 lalu.
Pria berusia 65 tahun itu menuturkan fenomena banjir bandang dan kekeringan yang silih berganti semakin sering dirasakan oleh Masyarakat Adat Suka. Sawah yang menjadi sumber pangan kerap rusak akibat terendam air, sementara di musim kemarau, tanaman tidak tumbuh subur karena kekurangan air.
Pengetahuan Leluhur
Meski tantangan kian besar, komunitas Masyarakat Adat Suka tetap setia pada pengetahuan leluhur dan mempraktikkan sistem pengelolaan tanah adat Balitaung —pembagian waktu garapan lahan—untuk menyesuaikan pola tanam dengan musim yang makin tidak menentu. Hutan adat atau ompo adalah kawasan hutan yang dikeramatkan, di mana pohon-pohon besar dibiarkan tumbuh hingga tua. Kayu hanya boleh ditebang untuk kebutuhan penting, seperti membangun rumah, itu pun harus melalui ritual adat angngolo dan izin pemangku adat. Menjaga ompo berarti menjaga sumber mata air, sekaligus mencegah banjir dan kekeringan yang makin sering terjadi akibat perubahan iklim.
Basri, pemuda adat berusia 24 tahun mengaku akhir-akhir ini merasakan langsung perubahan iklim di kampungnya. Perubahan suhu udara tidak menentu. Terkadang panas, nanti tiba-tiba hujan. Basri menerangkan perubahan suhu yang tidak menentu ini berdampak terhadap kehidupan Masyarakat Adat dan lingkungan sekitar.
“Masyarakat Adat dulu minumnya dari air sungai. Air sungai dulu jernih, dasar sungainya kelihatan. Sekarang keruh, sering bawa ranting dan sampah banjir,” ujarnya.
Namun, Basri percaya apabila kita menjaga hutan adat maka hal itu bisa mencegah bencana yang disebabkan perubahan iklim tadi.
Seorang pemuda berdiri ditengah hutan adat yang dikeramatkan oleh Masyarakat Adat Suka di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.Dokumentasi AMAN
Menjaga Tradisi Sebagai Benteng Ekologi
Basri mengatakan ritual adat tidak selalu bermakna spiritual, tetapi juga menjadi mekanisme sosial untuk menjaga hubungan harmonis dengan alam.
Basri mencontohkan ritual sorong bilulu dan nganre salama, kedua ritual ini selalu mengingatkan Masyarakat Adat bahwa kelestarian hutan, tanah, dan air adalah warisan yang wajib dijaga.
“Identitas ini menjadi modal sosial untuk menghadapi krisis ekologi,” terangnya.
Basri berharap wilayah komunitas Masyarakat Adat Suka diakui oleh negara. Dengan demikian, imbuhnya, Masyarakat Adat bisa lebih kuat melindungi hutan dan sungai dari ancaman luar.
“Kalau hutan hilang, kita semua bisa ikut hilang,” ujarnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Gowa, Sulawesi Selatan