
Hutan Perempuan, Benteng Terakhir Masyarakat Adat di Teluk Youtefa Papua
18 September 2025 Berita Nesta MakubaOleh Nesta Makuba
Keindahan Teluk Youtefa di Kota Jayapura Papua menyisakan kisah pilu terhadap perjuangan perempuan adat dalam menjaga “hutan perempuan” – ruang sakral yang menjadi benteng terakhir kearifan lokal, tradisi, dan identitas budaya Masyarakat Adat pesisir.
Hutan perempuan di Distrik Abepura bukan sekadar hamparan hijau. Bagi Perempuan Adat di Teluk Youtefa, hutan menjadi ruang belajar, sumber kehidupan, sekaligus tempat pewarisan nilai-nilai leluhur. Di dalamnya tersimpan pengetahuan tentang tanaman manggrove, sumber pangan, hingga ritus adat yang hanya boleh dilakukan oleh perempuan.
Hutan perempuan ini berada di area perairan Teluk Youtefa. Hutan yang telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 1978 ini menjadi sumber kehidupan atau bentang alam bagi Masyarakat Adat.
Mama Petronela Maraudie, pegiat lingkungan asal Kampung Enggros Jayapura menyebut hutan perempuan merupakan hutan sakral bagi perempuan adat Engross Tobai. Petronela menjelaskan hutan ini disebut hutan perempuan karena hanya perempuan saja yang bisa masuk ke hutan ini sebagai tempat mencari, sosialisasi dan edukasi.
Petronela, yang pernah meraih Kalpataru kategori pembina lingkungan di tahun 2023 ini menuturkan hutan perempuan merupakan hutan sakral bagi perempuan adat Engross Tobati. Di hutan ini, imbuhnya, Masyarakat Adat biasa menyampaikan semua curhatan hatinya.
Sayangnya, kata Petronela, kondisi hutan perempuan yang berada di kawasan Taman Wisata Alam Mangrove Teluk Youtefa ini semakin berkurang. Menurutnya, ini semua terjadi akibat pesatnya pembangunan di wilayah Kota Jayapura, yang notabene memerlukan ruang dan lokasi yang lebih luas sehingga pembangunan tersebut harus dilakukan.
“Dulu banyak pohon mangrove di hutan perempuan, tapi kini mangrove di teluk Yoetefa tersebut sudah banyak yang dirusak untuk pembangunan,” kata Petronela belum lama ini.
Perempuan AMAN ini menyayangkan aksi pengrusakan mangrove karena selama ini menjadi ekosistem kehidupan bagi biota laut seperti ikan dan beberepa spesies lainnya. Petronela menambahkan mangrove juga sebagai sumber penghidupan bagi Masyarakat Adat pesisir di sekitar Teluk Youtefa.
Namun, sebut Petronela, keberadaan hutan perempuan kini menghadapi ancaman serius. Masuknya investasi skala besar, ekspansi pembangunan, hingga arus modernisasi menggerus ruang hidup Masyarakat Adat. Bersamaan dengan itu, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun juga ikut terancam punah.
“Kalau hutan hilang, maka hilang juga pengetahuan kami. Anak cucu tidak lagi bisa belajar tentang siapa mereka,” ungkap Petronela.
Teluk Yoetefa di Kota Jayapura, Papua. Dokumentasi AMAN
Simbol Martabat Masyarakat Adat Papua
Daniel Toto, salah seorang tokoh adat Imbi Numbay mengatakan bagi Masyarakat Adat, hutan perempuan bukan hanya simbol ekologi, melainkan juga simbol martabat. Dari hutan inilah perempuan adat menjaga keseimbangan alam dan budaya. Setiap pohon, setiap tanaman, hingga setiap jengkal tanah memiliki makna dalam kosmologi Masyarakat Adat.
“Itu simbol ekologi Masyarakat Adat untuk menjaga antara keseimbangan alam dan kebutuhan manusia,“ kata Daniel.
Aktivis lingkungan dan budaya Papua Theo Samay menegaskan menjaga hutan perempuan berarti menjaga identitas sekaligus peradaban Masyarakat Adat Papua. Dikatakannya, hutan perempuan di teluk Youtefa adalah rumah besar.
“Jika rumah besar itu dirusak, maka kita kehilangan salah satu pilar penting peradaban Masyarakat Adat Papua,” sebut Theo Samay.
Theo mengatakan saat ini Masyarakat Adat bersama kelompok perempuan berupaya mempertahankan hutan tersebut melalui ritual adat, pendidikan budaya bagi generasi muda, serta advokasi perlindungan wilayah adat. Mereka menyadari, tanpa perlawanan, hutan perempuan hanya akan tersisa dalam cerita.
Dikatakannya, hutan perempuan di Teluk Youtefa adalah penegasan bahwa alam dan budaya tidak bisa dipisahkan.
“Selama perempuan adat masih berdiri menjaga hutan, selama itu pula harapan akan lestarinya kearifan lokal tetap menyala,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyartakat Adat di Jayapura, Papua