
DPR Rekomendasikan Pembentukan Tim Pencari Fakta Penyerangan TPL ke Masyarakat Adat Sihaporas
07 Oktober 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mendesak segera dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada kasus penyerangan yang dilakukan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap Masyarakat Adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara belum lama ini.
TGPF yang direkomendasikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso ini melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM dan LPSK untuk memverifikasi serta mengumpulkan bukti hukum atas jatuhnya korban dalam penyerangan berdarah ke Sihaporas.
Sugiat menyatakan negara mendukung investasi, tetapi perlindungan Hak Asasi Nanusia (HAM) tidak boleh diabaikan. Jika ada praktik yang melanggar HAM, maka negara wajib turun tangan.
“Karena itu, kami mendorong pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta untuk mengusut secara menyeluruh dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada kasus penyerangan TPL ke Masyarakat Adat Sihaporas,” kata Sugiat Santoso dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Masyarakat Adat dan TPL yang dihadiri perwakilan Kementerian Hukum dan HAM RI, Komnas HAM, LPSK, Polda Sumut, perwakilan Kepala Daerah se-kawasan Danau Toba, tokoh agama, organisasi Masyarakat Sipil di salah satu hotel Kota Medan pada Jum’at, 3 Oktober 2025.
Selain membentuk TGPF, Komisi XIII juga merekomendasikan seluruh lembaga negara dan Pemerintah Daerah menangani konflik secara non-diskriminatif dan tanpa kekerasan, dengan mengedepankan dialog berbasis HAM.
Kemudian, pembukaan akses jalan yang ditutup akibat konflik demi menjamin akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar.
Terakhir rekomendasinya, pembentukan panitia khusus penyelesaian konflik agraria di DPR RI untuk menyelesaikan akar persoalan secara sistemik.
Penyerangan Masyarakat Adat Sihaporas Bukan Insiden Biasa
Pdt. Viktor Tinambunan, yang hadir dalam RDP menyerukan penutupan TPL. Ia mengatakan aktivitas perusahaan TPL telah menimbulkan krisis ekologis dan sosial.
“Kehadiran TPL selama ini telah membawa kerusakan alam dan penderitaan sosial yang luar biasa. Hutan rusak, dan konflik terus berulang. Tidak ada pilihan lain selain menghentikan operasinya demi masa depan Tanah Batak,” ungkap Viktor.
Sorotan tajam juga datang dari Pastor Walden Sitanggang dari JPIC Kapusin Medan. Ia menyinggung langsung penyerangan terhadap Masyarakat Adat Sihaporas pada 22 September 2025. Menurutnya, penyerangan ini merupakan contoh nyata pelanggaran HAM yang dilakukan pihak TPL.
“Penyerangan Sihaporas bukan insiden biasa, melainkan puncak dari kekerasan struktural terhadap Masyarakat Adat. Mereka yang mempertahankan tanahnya sendiri diserang, rumahnya dibakar, hidupnya diancam. Negara tidak boleh tinggal diam menghadapi tindakan semacam ini,” tegas Pastor Walden.
Ia menambahkan penyerangan TPL terhadap Masyarakat Adat Sihaporas hanyalah satu dari banyak bukti bahwa kehadiran perusahaan itu justru memicu konflik horizontal dan memperparah ketidakadilan sosial. Karena itu, Pastor Walden mendesak DPR RI agar TGPF segera dibentuk untuk menyelidiki kasus Sihaporas dan berbagai pelanggaran lainnya.
Sejumlah tokoh agama, organisasi Masyarakat Sipil hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XIII DPR RI. Dokumentasi AMAN
Mempertahankan Tanah Leluhur Sejak 1998
Mangitua Ambarita, perwakilan Masyarakat Adat Sihaporas yang menjadi korban penyerangan TPL menuturkan kesaksiannya di hadapan anggota Komisi XIII DPR RI. Ia menceritakan bagaimana serangan itu terjadi saat warga menjaga ladang mereka sendiri.
“Kami sedang berada di ladang, tiba-tiba mereka ( karyawan TPL) datang berpakaian lengkap seperti hendak mau perang, dilengkapi dengan kayu dan besi. Kami dipukul, rumah dibakar, kami berlarian menyelamatkan diri,” tutur Mangitua dengan suara bergetar.
Ia menegaskan bahwa kekerasan yang mereka alami saat itu bukan hal baru. Diceritakannya, sejak 1998 kami terus berjuang mempertahankan tanah titipan leluhur, tapi yang kami terima hanya intimidasi, kriminalisasi, dan pemenjaraan.
“Sudah banyak saudara kami yang dipenjara hanya karena menjaga tanah leluhur," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran yang turut hadir dalam RDP menegaskan bahwa konflik Masyarakat Adat dengan TPL sudah berlangsung lama, bahkan sejak masih bernama PT Inti Indorayon Utama. Ia menyebut sekitar 33.000 hektar wilayah adat telah diklaim sepihak sebagai kawasan hutan negara dan kehadiran perusahaan secara tiba-tiba.
Menurutnya, ketimpangan ini telah melahirkan kriminalisasi dan intimidasi seperti yang terjadi di Sihaporas, Natinggir, Natumingka, Nagasaribu, dan Dolok Parmonangan. Karena itu, Jhontoni minta persoalan ini harus diselesaikan secara menyeluruh melalui pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta.
“TGPF harus berisi orang yang netral, agar bisa mengusut persoalan ini secara jernih dan tuntas,” tegasnya.
Pengakuan Pemerintah Daerah
Sejumlah perwakilan Pemerintah Daerah dari tujuh Kabupaten di kawasan Danau Toba yang hadir turut menyampaikan pandangan yang beragam dalam RDP dengan Komisi XIII DPR RI.
Perwakilan Pemerintah Kabupaten Simalungun menilai konflik Masyarakat Adat dengan TPL telah menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat. Karena itu, mereka meminta konflik ini segera diselesaikan.
Perwakilan Pemerintah Kabupaten Toba mengakui masih adanya kendala hukum dan sejarah dalam pengakuan tanah adat.
Perwakilan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan menyebut beberapa wilayah adat telah diakui melalui SK Menteri Lingkungan Hidup tahun 2021.
Perwakilan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat menyoroti dampak kegiatan perusahaan terhadap sumber air dan irigasi sawah.
Evaluasi Perizinan
Saurlin P. Siagian dari Komnas HAM di RDP ini menilai akar persoalan konflik ini terletak pada tata kelola perizinan kehutanan yang keliru, sehingga pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh.
Sementara, perwakilan LPSK menyatakan siap memberikan perlindungan hukum bagi korban dan saksi yang terdampak. Sedangkan PoldaSumut menegaskan akan menindak setiap bentuk kekerasan secara profesional dan adil.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara