Kearifan Lokal Suku Balik Menghadapi Perubahan Iklim
28 Oktober 2025 Berita Isnah AyundaOleh Isnah Ayunda
Komunitas Masyarakat Adat Benuo Balik Sepaku di Kalimantan Timur teguh menjaga warisan leluhurnya. Perubahan iklim dan musim kemarau yang melanda komunitas mereka belakangan ini dipandang tidak hanya sebagai fenomena alam, tetapi juga memiliki kaitan erat dengan sejarah, spiritualitas, dan pelestarian adat istiadat.
Bagi komunitas Masyarakat Adat Balik, cerita leluhur atau mitologi bukan sekadar dongeng masa lalu. Kisah-kisah tersebut adalah identitas diri, etika, dan panduan spiritual yang mengatur hubungan manusia dengan alam, sesama manusia, dan dengan leluhurnya.
Masyarakat Adat Balik merasakan langsung dampak perubahan cuaca yang terjadi belakangan ini. Bagi mereka, kondisi bumi saat ini tidak lepas dari perilaku manusia yang kian tidak menghormati aturan dan adat istiadat yang telah dipatuhi turun-temurun. Arus globalisasi dinilai telah mengikis nilai-nilai luhur tersebut.
Sekion, tokoh Masyarakat Adat Balik, menceritakan sebuah mitologi yang dipercaya menjelaskan penyebab kemarau panjang. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1930-an, ketika wilayah Sepaku masih sepi dan hutan lebat.
Dikisahkan, pernah terjadi kemarau yang berlangsung hingga 12 tahun. Masyarakat Adat percaya kemarau panjang ini disebabkan oleh adanya pamali atau tendion—sebuah pelanggaran adat berat di mana seorang ayah (Tam Leliak) menikahi anak kandungnya sendiri (Ten Leliak).
Karena hujan tak kunjung turun, para tetua adat dan warga berkumpul untuk mencari penyebabnya. Keyakinan masyarakat pun mengarah pada hubungan terlarang Ten Leliak dan Tam Leliak. Menyadari kesalahannya, pasangan itu menyerahkan diri. Keduanya kemudian dikorbankan untuk leluhur dengan cara dibangkat—diikat dan dimasukkan ke dalam peti—lalu dibuang ke laut di Teluk Balikpapan. Tak lama setelah pengorbanan itu, hujan deras pun turun dan alam kembali normal.
“Kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang pentingnya menjunjung tinggi aturan adat,” ungkap Sekion belum lama ini.
Membaca Tanda Alam
Selain mitologi, Masyarakat Adat Balik Sepaku juga memiliki kearifan lokal untuk membaca tanda alam. Mereka mengenal pohon Bangris sebagai penanda musim. Ketika pohon ini berbuah merah, itu pertanda kemarau panjang akan datang.
Meski demikian, warga tidak terlalu khawatir menghadapi kemarau. Di Muara Sungai Sepaku, tepatnya di daerah yang disebut Dusan Tiong (Sumur Tiong), terdapat sumur peninggalan leluhur yang tidak pernah kering. Sumur alami ini merupakan satu-satunya sumber air bersih bagi komunitas.
“Suku Balik dahulunya tinggal dengan cara hidup berpindah-pindah. Ketika musim panas berkepanjangan, Suku Balik mengambil air di sumur tersebut," tutur Sekion.
Meski kini jaraknya jauh dari pemukiman dan aksesnya tidak mudah dijangkau, keberadaan Sumur Tiong beserta kisah mitologi leluhur terus mengingatkan kita pada pentingnya harmoni dengan alam dan menjunjung tinggi adat istiadat warisan nenek moyang.
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur