Perjuangan Agraria Masyarakat Adat, Penyelamatan Nusantara
22 Oktober 2013 Berita Infokom AMANBogor, 19 Oktober 2013 -- Perjuangan masyarakat adat adalah perjuangan untuk membebaskan nusantara dari berbagai penindasan dan mengembalikan nusantara kepada rakyat, kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan di Bogor, Sabtu (19/10). Pernyataan itu disampaikan saat membuka acara Dialog Buku Orang Indonesia dan Tanahnya karya Cornelis van Volenhoven dan Politik Hukum Agraria karya Achmad Sodiki. Dialog buku ini terselenggara atas kerja sama AMAN dan Sajogyo Institute. “Dari dua buku ini, kita akan bicara tentang kenusantaraan kita. Kita akan bicara mengenai masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia,” tambah Abdon. Orang Indonesia dan Tanahnya merupakan naskah akademik yang lahir pada 1919 yang diterjemahkan dan diterbitkan ulang oleh STPN Press, Perkumpulan Huma, dan Penerbit Tanah Air Beta (Sajogyo Institute) pada 2013. “Naskah ini berhasil menghentikan upaya amandemen Undang-Undang Dasar Hindia Belanda pasal 62. Buku ini juga menunjukkan bagaimana politik agraria kolonial bekerja saat itu,” kata Noer Fauzi Rachman, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute sekaligus Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria. Memang, buku berjudul asli De Indonesiër en Zijn Grond ini pada mulanya adalah pamflet akademik untuk menjegal usulan amandemen pasal 62 Regeringsreglement (UUD Hindia Belanda) 1854, yang akan berakibat pada penghapusan perlindungan hak-hak atas tanah masyarakat adat, khususnya yang berada di luar Jawa dan Madura. Menurut Noer Fauzi, buku ini telah menunjukkan bahwa perjuangan masyarakat adat dan perjuangan agraria tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan republik ini. “Menghargai hak-hak agraria, berarti menyelamatkan Indonesia,” tegasnya. Noer Fauzi juga menjelaskan, penindasan, bahkan pemburuan masyarakat adat merupakan salah satu bagian politik agraria kolonial. Padahal, hak yang dimiliki masyarakat adat atas tanahnya adalah “hak bawaan” yang diwariskan secara turun-temurun, sedangkan kewenangan yang ada di perusahaan-perusahaan adalah “hak berian”, karena diberikan oleh pemerintah pusat. “Tanah di Indonesia ini, sebenarnya tanah milik siapa?” Menurut Noer Fauzi, itulah pertanyaan dasar dalam politik agraria kolonial. Pertanyaan itu melahirkan beragam bentuk-bentuk penguasaan lahan untuk kepentingan kolonial yang merugikan kepentingan rakyat nusantara. Penyangkalan hak-hak agraria penduduk dan lahirnya regulasi berorientasi kapitalistik ditegaskan kembali oleh Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH dalam buku Politik Hukum Agraria. Diterbitkan pada Juni 2013, buku ini dianggap relevan dengan konteks perjuangan hak-hak masyarakat adat, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. “Masalahnya bukan semata-mata hutan adat, namun harus dilihat secara holistik, di mana kesadaran politik dan peningkatan kesejahteraan akan memberi kesadaran mengenai hak-hak masyarakat hukum adat yang masih tersisihkan,” jelas mantan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut. Dijelaskannya, hukum adalah produk beragam kepentingan politik sehingga tidak dapat disangkal kalau hukum itu memihak. “Tetapi kalau negara berpihak pada yang kuat saja, berarti negara mengkhianati konstitusi,” tegas Achmad. Guru Besar Universitas Brawijaya ini menambahkan, “Hukum adat mungkin tidak mengandung kepastian, tapi mengandung keadilan. Lebih baik memilih hukum yang mengandung keadilan daripada mengandung kepastian, namun tidak adil. Undang-undang di Indonesia seperti itu, tanpa keadilan. Inilah makna keadilan dalam hukum yang kita perjuangkan selama ini.” Diskusi yang dihadiri oleh perwakilan sebelas organisasi masyarakat sipil dan tiga organisasi sayap AMAN ini ditutup dengan pemberian penghargaan kepada Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH atas perannya dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 mengenai Uji Materi Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. “Karena putusan itu berdampak besar dan positif terhadap perjuangan hak-hak puluhan juta masyarakat adat di nusantara ini,” jelas Abdon Nababan. Penghargaan berupa kain tenun asli komunitas adat Dayak Sintang diserahkan oleh Ketua Dewan AMAN Nasional Hein Namotemo.