Masyarakat Adat Menentang WTO
17 Desember 2013 Berita Infokom AMAN[caption id="" align="alignleft" width="360"] Junk WTO[/caption] Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) bersama dengan Cordillera Peoples Alliance (CPA), International Organisation for Self-Determination and Equality (IOSDE), dan Asia-Pacific Indigenous Youth Network (APIYN) menggelar aksi protes untuk menentang perdagangan yang lebih bebas di bawah kesepakatan-kesepatan baru World Trade Organization (WTO). Protes ini menutup lokakarya dan diskusi pleno empat hari yang dihadiri oleh kelompok-kelompok gerakan sosial dan masyarakat sipil. Lokakarya dan diskusi pleno ini berlangsung di saat para menteri dan pejabat perdagangan 159 negara-negara anggota WTO menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali. Lokakarya dan Diskusi Pleno Pekan itu dimulai dengan lokakarya internal bertema “Masyarakat Adat dan WTO: Menentang Globalisasi, Menentukan Nasib Sendiri.” Para peserta dan pembicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), BPAN, CPA, IOSDE, APIYN, Indigenous Environment Network (IEN), Indigenous Peoples Movement for Self Determination and Liberation (IPMSDL), dan Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (COINE). Presentasi pertama disampaikan oleh Sekretaris Jenderal CPA Abigail Anongos, memaparkan tentang konteks sejarah yang dimulai dari imperialisme kolonial hingga ke sistem kapitalis yang menciptakan globalisasi ekonomi sekarang ini. Disintegrasi batas-batas nasional dan kemunculan pasar kapitalis global karena globalisasi ekonomi mempengaruhi masyarakat yang paling miskin dan terpinggirkan di negara-negara maju dan berkembang. Pengaruh-pengaruh itu dirasakan oleh masyarakat adat di berbagai penjuru bumi di dalam berbagai aspek kehidupan mereka. “Globalisasi telah mengancam pengetahuan tradisional akibat hak paten atas tanaman-tanaman dan benih-benih tradisional yang dipelihara masyarakat adat untuk makanan dan obat-obatan,” kata Abigail. Industri-industri dan proyek-proyek ekstraktif, seperti bendungan, pertambangan, proyek-proyek energi, telah menyebabkan pelanggaran hak asasi dan kehilangan penghidupan. “Negara-negara kita telah menjadi sumber perampasan,” katanya. Beberapa pembicara di lokakarya tersebut adalah India Reed Bowers dari ISODE, Norma Capuyan dari Cordillera, Tom Goldtooth dari IEN, Marlon Santi dari COINE, Mina Susana Setra dari AMAN, dan Julius Daguitan dari APIYN. Mereka menyampaikan pemahaman mengenai konsekuensi globalisasi dan pertumbuhan kapitalis di Sapmi (Swedia), masyarakat Mindanou (Filipina), masyarakat adat Turtle Island (Amerika Utara), masyarakat adat di Ekuador, dan Indonesia serta kalangan pemuda adat. Lokakarya itu menegaskan bahwa masyarakat adat di mana pun harus terlibat dalam debat ini. “Kita adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk melawan globalisasi neoliberal dan imperialisme,” kata Abigail. Mengacu kepada hak masyarakat adat untuk menentukan pembangunan sendiri, dia menyatakan, “Tidak ada satu pun yang tentang masyarakat adat yang tidak melibatkan masyarakat adat.” Kemah Rakyat Sedunia Pada hari kedua dan ketiga, para peserta berkumpul di Peoples’ Global Camp (Kemah Rakyat Sedunia) di GOR Lila Buana, Denpasar. Mereka bergabung dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil, para juru kampanye antiglobalisasi, kelompok-kelompok mahasiswa, kelompok-kelompok perempuan, dan serikat-serikat kerja dari berbagai penjuru Indonesia dan luar negeri untuk menghadiri diskusi pleno dan lokakarya-lokakarya sektoral tematik. Lokakarya-lokakarya ini mencakup beragam hal dan masyarakat yang dipengaruhi oleh perdagangan yang lebih bebas, termasuk kedaulatan pangan, pekerja migran dan migrasi, serta masyarakat adat. Pada sore hari ketiga di Kemah Rakyat Sedunia, Ketua BPAN Simon Pabaras membacakan Deklarasi Masyarakat Adat “Menentang Globalisasi, Menentukan Nasib Sendiri.” Di saat bersamaan, Abigail Anongos menyampaikan deklarasi tersebut kepada para pejabat di Pertemuan Tingkat Menteri WTO di Nusa Dua. Hari terakhir ditandai dengan finalisasi deklarasi Kemah Rakyat Sedunia “Pembangunan Berkeadilan Sekarang! Bubarkan WTO!” Deklarasi dua halaman itu mencantumkan kekhawatiran-kekhawatiran seluruh kelompok yang hadir - petani, perempuan, mahasiswa, pekerja, dan masyarakat adat - dari sekitar 20 halaman, termasuk Australia, Bangladesh, Indonesia, Jerman, dan Swedia. Kemah Rakyat Sedunia ditutup dengan aksi protes damai ratusan peserta yang berjalan kaki menuju Konsulat Amerika Serikat pada sore yang panas itu. WTO Setujui Kesepakatan Perdagangan Internasional Pertemuan Tingkat Menteri WTO yang diadakan pada 3-6 Desember 2013 di Nusa Dua dianggap sebagai titik penentu. Diskusi-diskusi berlanjut hingga tambahan satu hari dan sebuah kesepakatan reformasi perdagangan dunia dicapai dan diumumkan pada Minggu (8/12). Ini adalah kesepakatan perdagangan global pertama sejak WTO dibentuk pada 1995. Pertemuan-pertemuan WTO sebelumnya gagal menghadirkan hasil yang pasti. Hasil pertemuan tingkat menteri ini, dinamai Paket Bali, fokus pada pemudahan perdagangan agar lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah serta pada isu-isu terkait pembangunan, termasuk agrikultur dan akses ke kapas. Organisasi-organisasi yang menghadiri Kemah Rakyat Sedunia telah mengemukakan kekhawatiran-kekhawatiran bahwa Paket Bali akan semakin menghilangkan penghalang-penghalang liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi, yang menyebabkan pembangunan ekonomi tanpa kekangan yang akan melanjutkan eksploitasi sumber daya alam dan manusia tanpa pertimbangan-pertimbangan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kemah Rakyat Sedunia meminta perdagangan dan pembangunan berkelanjutan demi mayarakat dan lingkungan hidup.