Rilis Pers: Konflik dengan Pertambangan, Masyarakat Motoling Picuan Ditembak Polisi
17 Januari 2014 Berita Infokom AMANKondisi Sernike Merentek, anggota masyarakat adat Motoling Picuan yang terkena tembakan polisi pekan lalu, dikabarkan sudah sadar dan bisa berkomunikasi walau belum lancar, Senin (13/1). Sernike diopname setelah tertembak saat konflik dengan perusahaan tambang emas PT Sumber Energi Jaya. Sernike, 45 tahun, ditembak dari belakang dan peluru tembus ke perut ketika konflik memanas pada Senin (6/1) siang. Saat dibawa ke Rumah Sakit Kando Malalayang, Manado, kondisinya kritis. Selain Sernike, Hardi Sumangkut, 36 tahun, dan Asni Runtunuwu, 40 tahun, pun terkena tembakan polisi, keduanya di tangan kiri. Korban lain, Jefri Terok, 38 tahun, terluka di lengan akibat terkena panah wayer yang ditembakkan oleh preman-preman utusan perusahaan. “Anggota masyarakat adat Motoling Picuan yang dianiaya dan ditahan polisi dilaporkan kini berjumlah enam orang. Mereka hingga sekarang masih ditahan,” kata Deputi II Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi. Lima orang di antaranya ditangkap pada Rabu (8/1) sore. Jan Tendean, 60 tahun, menderita luka di kepala dan sempat dirawat di rumah sakit sebelum masuk sel di Polres Minahasa Selatan. Lorens Flendo, 63 tahun, dikabarkan ditendang di bagian kepala. Romy, 38 tahun, dan Noldy, 35 tahun, dilaporkan dalam kondisi parah di tahanan Polres dan keluarganya tidak diizinkan untuk menjenguk. Keadaan Karya, 35 tahun, dilaporkan tidak parah dan masih dalam tahanan. Hartono Adidin, 45 tahun, ditangkap sehari setelahnya di bandara sebelum berangkat ke Jakarta. Ari Rumondor, 60 tahun, dilaporkan terluka di dekat mata kanan akibat tendangan polisi. Mengantongi SK Bupati Minahasa Selatan No. 87 tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dengan durasi kontrak 20 tahun, PT Sumber Energi Jaya beroperasi di wilayah adat Desa Picuan, Motoling Timur, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara sejak 2012. Sejak SK itu diterbitkan, masyarakat adat Motoling Picuan telah menyuarakan penolakannya. Alasannya, kedatangan perusahaan tambang emas ini mengancam pertambangan rakyat yang telah berlangsung sejak 1990. Penambangan tradisional ini sebelumnya telah mendapat izin resmi berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum No 673K/20.01/DJP/1998 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk Bahan Galian Emas di daerah Alason dan Ranoyapo, Kab. Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Laporan AMAN Sulawesi Utara dan beberapa organisasi masyarakat sipil pada 7 Juni 2012 mencatat berbagai kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian yang berpihak pada PT Sumber Energi Jaya. Pada 22 Maret 2012, polisi menangkap Pendeta Edison Kesek yang dituduh sebagai penambang ilegal dan pemimpin perlawanan terhadap pertambangan. Pada 26 Mei 2012, polisi melakukan pemeriksaan di Motoling Picuan dan menembak dua orang. Hautri Marentek tertembak di lengan saat memanjat pohon kelapa milik warga dan Leri Sumolang tertembak di paha saat berada di kebun miliknya sendiri. Pada 4 Juni 2012, Polres Minahasa Selatan menggeledah rumah warga Motoling Picuan dengan alasan mencari para pemuda. Aparat dilaporkan memukul Fredi Lendo di bagian pelipis dan belakang pinggang sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Amurang sebelum kemudian dirujuk ke rumah sakit di Manado. Di penggeledahan tersebut, aparat juga dilaporkan menembak John Aringking di bagian kepala. Korban diselamatkan oleh warga yang membawanya ke Rumah Hukum Tua (kepala desa). John dibawa ke Rumah Sakit Amurang lalu dirujuk ke Rumah Sakit Prof. Kandou Malalayang Kota Manado. Dilaporkan juga bahwa kepolisian melakukan penembakan pada 5 Juni 2012 yang melukai dua orang. Deni tertembak di pinggang kiri dan Roy Sumampouw di kaki kanan. Menurut AMAN, kasus ini hanyalah puncak gunung es soal kekerasan terhadap masyarakat adat oleh aparat negara yang berpihak pada korporasi. “Kami menuntut agar Polres Minahasa Selatan menghentikan kekerasan terhadap masyarakat adat Motoling Picuan. Mau berapa banyak lagi darah yang tertumpah di nusantara ini karena aparatnya malah membela korporasi?” tegas Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, Senin (13/1). Abdon menambahkan, sudah saatnya Indonesia memiliki undang-undang yang melindungi masyarakat adat, termasuk dari kekerasan oleh aparat negara.