Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Secara turun temurun, Masyarakat Adat telah hidup dan menjaga wilayah adatnya sebagai titipan leluhur yang kelak diwariskan kepada generasi penerus. Bagaimana Masyarakat Adat menjaga dan mengelola wilayah adat tersebut, merupakan bagian dari solusi yang berbasis alam (nature-based solution) dan berbasis komunitas adat (community-based solution) terhadap berbagai persoalan.

Melalui artikel ini, kami menyajikan tujuh profil komunitas yang mewakili ragam Masyarakat Adat di Nusantara. Melalui kisah-kisah Masyarakat Adat dalam menjaga dan mengelola wilayah adat itu, kita dapat saling memahami dan belajar bahwa banyak persoalan dunia sesungguhnya memiliki kunci yang ada di tangan Masyarakat Adat. Solusi itu ada di wilayah adat. Tentu saja, termasuk di dalamnya adalah masalah lingkungan dan tata kelola untuk memastikan pemanfaatannya yang adil dan lestari.

1. Komunitas Masyarakat Adat Batin Beringin-Sakai, Riau

Komunitas Masyarakat Adat Batin Beringin-Sakai merupakan salah satu Masyarakat Adat yang terancam punah di Indonesia. Masyarakat Adat Sakai secara turun temurun telah mendiami dan mengelola wilayah adat secara lestari. Pada awalnya, sebagian besar wilayah adat adalah hamparan hutan hujan tropis, di mana tersebar ladang-ladang dalam luasan yang relatif kecil serta kampung-kampung di sepanjang tepian sungai atau sumber air. Masyarakat Adat hidup dengan menggantungkan sumber penghidupan dari hutan sekaligus menjaga keberlangsungannya. Saat ini, telah semakin sedikit Masyarakat Adat Sakai yang hidup maupun berladang dengan corak berpindah di dalam wilayah adatnya. Sementara itu, Komunitas Masyarakat Adat Batin Beringin-Sakai secara administratif mendiami Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait, Kecamatan Tualang Mandau di Kabupaten Bengkalis, Riau.

Perampasan wilayah adat telah berlangsung selama puluhan tahun di Sakai sejak Indonesia merdeka, bahkan Pemerintah Indonesia sempat mengusir Masyarakat Adat. Konflik-konflik terjadi sebagai dampak dari tumpang tindih wilayah adat dengan konsesi PT Arara Abadi seluas sekitar 3.500 hektar. Berbagai tekanan terhadap Masyarakat Adat Sakai hampir meredupkan perjuangan. 

Di tengah pandemi, api perjuangan itu kembali berkobar. Para pemuda adat melalui organisasi sayap AMAN untuk pemuda adat, yaitu Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), berdiri di garis depan dalam menginisiasi gerakan kedaulatan pangan. (Pada level nasional, gerakan ini dikembangkan oleh AMAN bersamaan dengan upaya respon tanggap darurat dan peningkatan resiliensi Masyarakat Adat menghadapi krisis Covid-19.) Para pemuda adat memulainya pada 1 Agustus 2020 lewat pendirian kelompok-kelompok.

Panen semangka di ladang Masyarakat Adat Batin Beringin-Sakai.Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Ketua kelompok Kedaulatan Pangan Ismail Dolek mengungkapkan bahwa pada mulanya ditanam buah-buahan dengan tujuan untuk memperkuat ekonomi dan menyediakan sumber vitamin sebagai asupan bagi daya tahan tubuh di masa pandemi. Tanaman-tanaman buah, salah satunya semangka, ditanam di kebun-kebun kecil yang dikelola lewat musyawarah dengan para tetua adat. Menjelang akhir tahun 2020, semangka-semangka itu akhirnya berbuah. Dan tidak hanya itu, berangkat dari keberhasilan mengelola wilayah adat, para pemuda adat juga kembali menanam padi benih lokal (buung) di ladang.

“Kami besolak dalam bekerja,” kata Ismail. Besolak adalah kearifan Masyarakat Adat Sakai dalam berladang sekaligus pengikat bagi gerak para pemuda adat di kampung. Hal itu dapat dipadankan dengan istilah gotong royong.

Perjuangan Masyarakat Adat Sakai pun berlanjut. Kelompok-kelompok penggerak kedaulatan pangan kian menginspirasi warga, baik orang tua maupun pemuda adat. Pada awal 2021, ladang-ladang padi kemudian panen. Ritual adat - yang sebelumnya hampir punah - digelar lagi dalam menyambut panen. Sebagian hasil dari sekitar 10 hektar lahan padi, diberikan kepada para warga untuk konsumsi sehari-hari, sedangkan sebagian lainnya dijual untuk modal berladang berikutnya. Selain tanaman buah dan padi, kini Masyarakat Adat Beringin-Sakai juga menanam jagung, cabai rawit, dan kacang tanah.

Di tengah suka cita itu, perampasan wilayah adat dan pengusiran secara paksa oleh pihak perusahaan, terjadi lagi. Pada Rabu pagi (28/4/2021), pihak perusahaan melakukan pematokan di areal yang digarap oleh Masyarakat Adat. Rencananya, pihak perusahaan akan melakukan penanaman eukaliptus. Bentrokan antara Masyarakat Adat dan perusahaan, tak bisa terhindarkan. Masyarakat Adat berusaha mempertahankan wilayah adat dengan plang kayu yang didibongkar oleh petugas keamanan perusahaan. Pada peristiwa itu, Masyarakat Adat, termasuk perempuan adat dan anak-anak adat, mengalami intimidasi dan tindak kekerasan. Beberapa mengalami luka memar dan terkilir.

“(Masyarakat Adat Beringin-Sakai) yang mayoritas adalah perempuan adat, mencoba mempertahankan haknya,” tegas Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi.

Situasi mencekam pada hari itu juga turut disaksikan oleh anak-anak yang mengalami ketakutan ketika melihat orang-orang tua diusir secara paksa dari wilayah adat. Ladang-ladang yang baru ditanam dan hendak panen, ikut dihancurkan oleh ratusan orang dari PT Arara Abadi.

2. Komunitas Masyarakat Adat Amboan, Sulawesi Selatan

Komunitas Masyarakat Adat Amboan berada di dataran tinggi Rongkong yang berupa hutan dan pegunungan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Komunitas ini terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Amboan, Kampung Lowarang, dan Kampung Ponglegen dengan luas wilayah adat mencapai lebih dari 177 km2. Sebagian besar memiliki sumber penghidupan dari sektor pertanian, perkebunan, budi daya ikan air tawar, dan perternakan, sedangkan sebagian kecil warga masih berburu dan mengumpulkan madu.

Selain madu dan kopi yang menjadi komoditi utama, Masyarakat Adat pula menanam berbagai sayur yang dikonsumsi sendiri, seperti kol, sawi, labu siam, daun bawang, cabai, dan jamur.

Meski berada relatif jauh dari pusat ekonomi dan bisnis, bukan berarti wilayah adat dari Komunitas Masyarakat Adat Amboan jauh dari incaran investor dan pemerintah. Saat ini, terdapat tiga Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas hingga puluhan ribu hektar. Wilayah adat pun hampir seluruhnya telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai kawasan hutan lindung dan konservasi, termasuk sawah, kebun, dan hutan. Hal tersebut membuat Masyarakat Adat dihantui oleh berbagai ancaman ketika hendak mengakses dan mengelola wilayah adat.

Tantangan lain yang dihadapi oleh Masyarakat Adat, juga datang dari dalam komunitas. Para pemuda adat yang bersekolah ke luar kampung, semakin hari semakin tidak berminat untuk pulang kampung dan mengelola kebun dan sawah. Berkurangnya warga yang bekerja sebagai petani itu telah memberikan dampak kian tingginya ketergantungan warga untuk kebutuhan pangan. Pedagang dari luar kampung telah mulai menjual sayur dan ikan yang berasal dari luar wilayah adat atau kecamatan tetangga.

Melalui gerakan kedaulatan pangan, kelompok pemuda adat menggaungkan ajakan pulang kampung dan mendorong partisipasi generasi penerus untuk kembali bercocok tanam dan berbudi daya ikan. Kegiatan itu tercetus ketika pandemi Covid-19 menghantam Masyarakat Adat.

Aktivitas menanam sayur di ladang. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Anak-anak muda dari Komunitas Masyarakat Adat Amboan pun melakukan penyadaran dan mengaitkan keterhubungan dengan wilayah adat yang selama ini terabaikan. Hal itu dimulai dengan identifikasi dan pendokumentasian terhadap tanaman pangan lokal. Kemudian, diikuti dengan penyiapan kebun dan kolam budi daya ikan. Seluruh aktivitas terkait dengan kedaulatan pangan tersebut berlangsung pada September-Desember 2020.

Pada awal 2021, panen dari berbagai tanaman pangan serta ikan-ikan telah dirasakan oleh warga adat. Para pemuda juga mengembangkan inovasi pupuk dan pakan ikan organik. Kini, pemandangan pemuda-pemuda adat - perempuan maupun lelaki - yang sibuk di sawah, kebun, ladang, dan kolam ikan, bukanlah hal yang dianggap langka. Selain dikonsumsi untuk kebutuhan pangan sehari-hari, ada pula sebagian hasil panen yang ikut dijual oleh warga untuk mendukung ekonomi keluarga selama krisis Covid-19 melanda.

3. Komunitas Masyarakat Adat Talang Mamak, Riau

Komunitas Masyarakat Adat Talang Mamak atau akrab dengan sebutan Orang Talang Mamak, berada pada kategori terancam punah dan tinggal di sekitar hutan yang kini sebagian besar telah berubah menjadi perkebunan sawit dengan tanah-tanah yang tandus di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Memasuki musim kemarau, sungai maupun sumber mata air akan kering. Padahal, sebelum wilayah adat dirampas, Masyarakat Adat dapat bertani dan berladang di kawasan yang subur dan berkelimpahan air. Namun, ekspansi perkebunan sawit, bukan hanya telah mengubah wajah wilayah adat, tetapi mengurangi populasi Masyarakat Adat Talang Mamak. Setiap tahun, banyak warga adat, terutama anak-anak dan para pemuda adat, pergi merantau dan enggan kembali. Sebagian dari warga yang masih bertahan, ada yang turut menjadi buruh perkebunan sawit.

Perampasan atas ruang hidup Orang Talang Mamak, secara langsung berdampak pada kehancuran kebudayaan. Keanekaragaman hayati yang kaya di hutan adat telah berangsur-angsur lenyap bersamaan dengan hilangnya benih-benih tanaman pangan maupun obat. Begitu pun dengan bahasa dan dialek dari ragam Masyarakat Adat Talang Mamak. Di tengah kesengsaraan itu, Orang Talang Mamak menghadapi tantangan baru, yaitu Covid-19.

Para pemuda adat, lelaki maupun perempuan, melakukan identifikasi dan pemetaan partisipatif di wilayah adat. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Dengan berbagai tekanan yang bertubi-tubi, pemuda adat di Talang Mamak kian menguat. BPAN terbentuk dan aktif melakukan berbagai kerja dan pengorganisasian. Pemuda adat pun berbondong-bondong mengupayakan pengamanan kampung-kampung dari virus korona lewat sosialisasi dan berbagai kegiatan. Pada saat yang bersamaan, para pemuda adat turun ke kebun dan ladang untuk menjadi petani muda.

“Kata ‘Talang Mamak’ ini ‘kan (asalnya) ‘talang’ yang berarti ladang, jadi Talang Mamak tidak bisa dipisahkan oleh ladang karena itu filosofi yang ada,” kata Supriadi, Ketua BPAN Talang Mamak. “Sementara itu, ketika masuk perkebunan sawit, lama kelamaan kita dipaksa ikut menjadi bagian perkebunan sawit. Semakin hari, mata pencaharian kita yang berladang dan sumber ekonomi di hutan, tak jadi prioritas.”

Pemuda adat berusia 24 tahun itu bercerita, ketika melakukan patroli di wilayah adat, ada yang mengunjungi kembali hutan adat yang tersisa. Pemuda adat lalu menggali sejarah Masyarakat Adat dan hutan keramat. Para pemuda adat berinisiatif memasang plang untuk menegaskan batas-batas wilayah adat yang masih bisa dipertahankan.

Pada awalnya, Supriadi dan kawan-kawan menggerakkan warga untuk memanam tanaman pangan di pekarangan rumah dan meminta izin tetua adat untuk menanam seribu batang pohon pisang di kebun komunal. Hal itu mendapat respon baik dan - tanpa butuh waktu lama - panen pun tiba. Selain pisang, ada cabai dan kacang tanah.

“Sebenarnya, ini sudah kita gagas untuk membuat perkebunan bersama ini sebelum datangnya virus korona,” ungkap Supriadi. Lahan yang dikelola itu hanya seluas empat hektar. Namun, keberhasilan tak terbatas hanya pada panen pisang dan tanaman pangan lainnya, melainkan jauh lebih besar, di mana kini para pemuda tak lagi malu untuk menggarap tanah dan itu menghasilkan. Ia mengutarakan bahwa ada kebanggaan yang kemudian tumbuh di dalam diri pemuda adat untuk kembali berladang di wilayah adat.

Tak berhenti sampai di situ, para pemuda adat melangkah jauh dengan mulai mengidentifikasi dan mengembangkan lagi benih-benih tanaman lokal, baik untuk kebutuhan pangan dan obat-obatan. Dari momentum itulah, untuk pertama kalinya, terjadi konsolidasi di antara 29 komunitas di dalam Masyarakat Adat Talang Mamak. Kerja-kerja antar-kampung terjadi, di mana para pemuda adat saling bertukar sumber daya dalam upaya membangkitkan kembali identitas Masyarakat Adat Talang Mamak. Ada pemuda adat yang belajar menari, bela diri, pengetahuan tentang pengobatan tradisional, keterampilan berladang dan mengenal benih, dan lain-lain dari kampung-kampung tetangga yang merupakan keluarga besar dari Orang Talang Mamak yang tersisa.

4. Komunitas Masyarakat Adat Montomisan, Sulawesi Tengah

Di Indonesia, wabah Covid-19 berlangsung lebih lama dari yang kita kira. Selain menempatkan Masyarakat Adat pada situasi dengan kerentanan berlapis, pandemi telah memberikan pembelajaran. Hal itu terkait peran Masyarakat Adat sebagai garda depan dalam upaya penanganan krisis dan kedaulatan pangan. Cerita tentang itu juga datang dari kawasan pesisir dan kepulauan, salah satunya dari Komunitas Masyarakat Adat Montomisan yang mendiami desa tua dengan nama yang sama di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Di sana, sebagian besar warga menggantungkan hidup dari pengelolaan wilayah pantai dan laut sekitar, termasuk rumput laut.

Rumput laut adalah komoditi utama yang dihasilkan oleh Masyarakat Adat Montomisan dengan penjualan dan pemasaran hingga ke luar negeri. Sebagian proses atau tahapan dalam pertanian budi daya, dilakukan oleh perempuan adat. Sekitar 70 persen dari petani rumput laut adalah perempuan adat yang tergabung ke dalam salah satu wilayah pengorganisasian Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN).

Dalam pertanian rumput laut, perempuan adat umumnya melakukan kerja-kerja mulai dari awal hingga panen. Hanya penaburan benih rumput lain yang sebagian dilakukan oleh laki-laki. Dari hasil rumput laut itulah, para perempuan adat menopang ekonomi keluarga dan komunitas, bahkan ada yang bisa naik haji.

Pada musim panen rumput laut, para perempuan adat akan berlayar ke laut untuk bersama-sama mengambil hasil. Setelah itu, rumput laut dijemur dan dijual. Para perempuan adat melakukan sendiri proses memikul rumput laut untuk ditimbang dan dibawa ke tengkulak dengan menuruni bukit sejauh sekitar satu kilometer bolak-balik. Dalam satu kali perjalanan, perempuan adat memikul rumput laut seberat 25-30 kilogram. Dalam satu tahun, - jika cuaca sedang baik - terjadi dua sampai tiga kali panen.

Panen rumput laut. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Kalau bukan karena agar, orang-orang di Desa Montomisan mungkin tidak bisa membiayai anak-anak sekolah dan tidak bisa punya rumah,” ungkap Arbia, perempuan adat petani rumput laut. Di sana, rumput laut disebut agar yang berasal dari kata “agar-agar.”

Di tengah pandemi, meski terdapat tantangan pada pemasaran rumput laut, para perempuan adat tetap bertani rumput laut seperti biasa. Bahkan, kini jauh lebih terorganisir karena telah memiliki organisasi PEREMPUAN AMAN yang merekatkan kolektivitas dan gotong royong perempuan adat. Namun, selain bertani di laut, perempuan adat juga bercocok tanam di daratan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari, seperti nasi, ubi-ubian, dan singkong.

5. Komunitas Masyarakat Adat Malaumkarta-Moi Kelim, Papua Barat

Masyarakat Adat Moi tersebar di Papua Barat, salah satunya di Kampung Malaumkarta di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, dengan wilayah adat yang dikelilingi oleh hutan dan berada tak jauh dari pantai. Di sana, Komunitas Masyarakat Adat Malaumkarta-Moi Kelim hidup dengan memanfaatkan hasil hutan dan laut secara sederhana. Sagu masih menjadi makanan pokok yang didapat dari hutan dan diolah menjadi pati sagu dengan cara yang sama dari generasi ke generasi. Sementara untuk hasil laut, Masyarakat Adat menerapkan sistem kearifan lokal sasi yang dikenal dengan egek.


Para perempuan adat di Malaumkarta tengah memasak bersama di dapur rumah. 
Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Egek telah diterapkan Masyarakat Adat Moi secara turun temurun dan merupakan praktik yang telah terbukti memberikan kontribusi bagi pelestarian lingkungan di wilayah adat. Egek diterapkan setiap tahun, di mana pada periode waktu dan area tertentu terdapat pelarangan mengambil sesuatu. Penerapan egek umumnya dilakukan terhadap ikan, lobster, teripang, dan lainnya. TIdak hanya itu, ada juga egek yang pemberlakuannya amat spesifik terhadap pelarangan dengan menggunakan alat tangkap tertentu, seperti jaring atau pukat, bom, dan lain-lain yang tergolong ke dalam alat penangkapan ikan yang merusak lingkungan. Proses membuka atau menutup egek pun dilakukan dengan upacara adat. Setiap egek dibuka, Masyarakat Adat tidak hanya melakukan ritual, tetapi juga perayaan. Tamu atau pengunjung dari luar Malaumkarta, bahkan wisatawan asing, diperbolehkan mengikuti acara dengan persyaratan khusus. Sebab, itu artinya panen raya. Menariknya, kearifan egek bisa disesuaikan dengan perkembangan situasi. Misalnya, dulu Masyarakat Adat diperbolehkan mengonsumsi penyu, tapi kini - dengan semakin langkanya penyu - penyu menjadi yang di-egek bersama dengan dugong.

Melalui studi valuasi ekonomi terhadap pengelolaan sumber daya alam (SDA) berkelanjutan di wilayah adat yang dilakukan AMAN bersama Masyarakat Adat dan tim ahli, Kampung Malaumkarta menegaskan suatu anggapan keliru jika Masyarakat Adat dipandang tak mampu memberikan nilai ekonomi pada wilayah adat yang dikelola. Hasil studi tersebut memaparkan angka-angka yang mengejutkan.

Ada puluhan sampai ratusan miliar rupiah yang diperoleh setiap tahunnya dari penggabungan nilai ekonomi untuk produk SDA dan jasa lingkungan di wilayah adat. Bahkan, Komunitas Masyarakat Adat Malaumkarta-Moi Kelim memiliki prediksi valuasi ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan perekonomian daerah. Salah satu alasan tingginya total nilai ekonomi tersebut, adalah kearifan lokal dalam pemanfaatan SDA yang berpadu dengan aspek pelestarian alam.

Di wilayah adat milik Moi Kelim, analisis ekonomi yang intensif bisa dilakukan dan mendapatkan hasil yang tinggi karena populasi warga adatnya relatif kecil dan pemanfaatan langsung bisa dihitung dari komoditas utama terhadap hutan dan laut. Dr. Zuzy Anna, Direktur Eksekutif SDGs Center Universitas Padjadjaran, melakukan analisis dengan hasil yang luar biasa.

“Nilai pemanfaatan langsung perikanan di pesisir dengan alat tradisional, mencapai sekitar Rp3,8 miliar per tahun dari berbagai jenis ikan,” katanya. “Itu pemanfaatan standar sehari-hari, tapi ada juga yang bersifat kearifan melalui sasi (egek). Hutan juga punya nilai yang lumayan sekitar Rp1,2 triliun. Itu tidak ditebang!”

Sementara itu, prediksi nilai pariwisata, keanekaragaman hayati, pemberdayaan perempuan (kerajinan noken dan pangan tradisional), serta budaya, masing-masing menembus angka ratusan juta rupiah setiap tahun. Dengan kondisi hutan, bakau, terumbu karang, dan padang lamun yang terjaga dengan baik, Dr. Zuzy Anna mengutarakan bahwa terdapat nilai hingga puluhan miliar rupiah jika luasan dan kualitasnya tetap terjaga seperti apa adanya. Penggabungan nilai ekonomi produk SDA dan jasa lingkungan Kampung Malaumkarta, mencapai Rp156,39 miliar per tahun.

6. Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptamulya, Jawa Barat

Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptamulya merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul dan secara administratif berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di sana, Masyarakat Adat hidup harmonis alam yang dipenuhi ladang dan hutan di sekitar tebing dan kaki Gunung Halimun.

Bagi Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptamulya, bertani tidak dianggap sebagai mata pencaharian, melainkan bagian dari tradisi dan kehidupan sehari-hari. Warga adat pun dilarang memperjual-belikan padi yang menjadi pusat dari berbagai upacara atau ritual adat. Warga adat hanya menanam padi-padi dengan jenis lokal dan tetap mempertahankan cara-cara tradisional yang arif dan ramah lingkungan dalam bertani - tanpa pupuk kimia dan pestisida.

Ritual menyimpan padi ke dalam leuit. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Sejak dulu hingga kini, Masyarakat Adat Kasepuhan masih menjaga sistem kearifan lokal yang terhubung dengan bagaimana Masyarakat Adat menerapkan kedaulatan pangan. Namanya leuit. Leuit serupa dengan lumbung padi, di mana padi-padi disimpan di bangunan kecil yang terbuat dari dinding kayu dan anyaman bambu serta atap serat daun kirai (sejenis palem). Satu bangunan leuit dapat menyimpan berton-ton padi. Masyarakat Adat percaya bahwa padi yang disimpan di dalam leuit, akan diberkati oleh leluhur. Tahun 2017, Pemerintah Indonesia memasukkan kearifan Kasepuhan Ciptamulya itu dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia karena memiliki filosofi yang tetap hidup dari generasi ke generasi.

Setiap tahun, setiap komunitas di dalam Kesatuan Adat Banten Kidul merayakan Serentaun yang menandai puncak selebrasi panen raya. Pada ritual tersebut, Masyarakat Adat melakukan serangkaian ritual, pesta, hiburan rakyat, kumpul keluarga, dan makan besar secara bersama-sama dari apa yang telah dihasilkan di wilayah adat.

7. Komunitas Masyarakat Adat Seberuang, Kalimantan Barat

Komunitas Masyarakat Adat Seberuang berada di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Saat ini, terdapat ribuan warga Masyarakat Adat yang tinggal di wilayah adat yang luasnya mencapai lebih dari 21 ribu kilometer persegi dan berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia tersebut. Sebagian besar kawasan Sintang mencakup perbukitan dan hutan. Selain tambang, tempat tinggal Masyarakat Adat diapit oleh berbagai konsesi perkebunan berskala raksasa. Meski begitu, kebun-kebun Masyarakat Adat masih bisa ditemukan dan tersebar di sana dengan sawit dan karet sebagai komoditi utama dan lainnya berupa lada, kopi, durian, jengkol, dan bermacam tanaman buah.

Umumnya, Komunitas Masyarakat Adat Seberuang bermukim di berbagai hulu aliran sungai besar. Sehingga, selain menggantungkan hidup dari hasil perkebunan, ada banyak dari warga yang pula berburu, mencari ikan, dan mengambil bahan makanan dari hutan dan sungai sekitar. 

Panen padi ladang. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Masyarakat Adat Seberuang hidup dengan cara yang amat sederhana,” ungkap Masihun, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Kalimantan Barat. “Hutan-hutan dijaga kelestariaannya. Tentu saja, Masyarakat Adat menerapkan sistem zonasi yang unik. Ada area-area tertentu yang bolah diakses dan dimanfaatkan, tetapi ada kawasan yang memang memiliki batasan tegas dan sangat terbatas untuk bisa dimasuki oleh sembarang orang. Ada yang menamakannya dengan sebutan hutan terlarang atau hutan keramat. Dan ladang-ladang masih hidup di sela-sela permukiman warga. Selain hutan, Masyarakat Adat juga memiliki tempat-tempat tertentu yang sakral. Itu menegaskan identitas asal usul serta kepemilikan wilayah adat kami.”

Di tengah tak menentunya harga sawit dan karet, Masihun mengutarakan bahwa kini Masyarakat Adat di sana tengah memiliki komoditi yang tengah menjadi primadona dan tak diduga sebelumnya, yaitu jengkol.

“Jengkol tumbuh subur dan kualitasnya bagus. Dalam satu periode, panen bisa sampai 600 ratus ton dengan kualitas, produktivitas, dan nilai jual yang bagus.” Masihun menggambarkan bahwa jengkol asal Sintang memiliki ciri buah yang besar dan telah dipasarkan hingga ke luar Kalimantan.

Di wilayah adat Seberuang, kawasan hutan menyimpan nilai ekonomi yang sangat besar melebihi pendapatan daerah dan upah minimum regional di Kabupaten Sintang. Berdasarkan studi valuasi ekonomi terhadap pengelolaan SDA berkelanjutan di sana, Komunitas Masyarakat Adat Seberuang memiliki nilai ekonomi untuk produk SDA (karet, jengkol, air, cabai, ikan, padi, tengkawang, dan lainnya) mencapai Rp27,14 miliar per tahun. Sedangkan nilai ekonomi untuk jasa lingkungan (pengendali hodrologi, ekowisata, pemasok air, dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro), mencapai Rp11,35 miliar per tahun.

Pelestarian hutan adat dapat terjaga karena hal tersebut terhubung dengan kelembagaan adat dan berbagai ritual. Bagi Masyarakat Adat, hutan adalah tempat yang juga dianggap suci.

***

Writer : Nurdiyansah Dalidjo | Jakarta
Tag : PEREMPUAN AMAN Masyarakat Adat Tangguh di Tengah Krisis Pemuda Adat