Kisah dari Fanugwa Loran: Mempertahankan Hutan Adat untuk Kehidupan
24 November 2024 Mika GanobalOleh Mika Ganobal
Masyarakat Adat Loran yang turut dalam gerakan #SaveAru pada kisaran 2013 lalu, berhasil menggagalkan rencana konversi hutan menjadi perkebunan tebu di kepulauan tersebut. Kolektivitas Masyarakat Adat dalam menjaga alam dan lingkungannya tidak lepas dari keseharian mereka yang sejak dulu mengandalkan perburuan sebagai cara bertahan hidup.
Komunitas Masyarakat Adat Fanugwa Loran terletak di tengah-tengah Kepulauan Aru, sehingga masuk dalam Kecamatan Aru Tengah, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Fanugwa Loran merupakan wilayah adat yang saat ini secara administratif menjadi desa. Pemerintah menyebutnya sebagai Desa Lorang. Ada tambahan huruf ‘g’ di bagian belakangnya.
Wilayah Adat Fanugwa Loran terdiri dari dari 379 pulau besar dan kecil. Semuanya memiliki nama dan fungsi masing-masing. Nama dan fungsi pulau itu sudah diatur oleh nenek moyang dari Komunitas Masyarakat Adat Fanugwa Loran.
Sejarah kami berawal dari 10 marga kecil dan besar yang dipimpin oleh para Mon Mona Gwalan atau ketua marga. Berikut ini adalah pembagian marganya, yaitu Marga Badidi Yai, Marga Dakael Gwarjir, Marga Tarau Gwarjir, Marga Gwaitedi, Marga Leftafuran Jugir, Marga Goini, Marga Gwanobal Gwajir, Marga Feldaba Gwajir, Marga Regwajir, dan Marga Djirmori. Mayoritas mereka berdiam di Pulau Kobo dan Kobror, dua pulau besar di Kepulauan Aru.
Luasan Fanugwa Loran mencapai 40 ribu hektar yang terdiri dari daratan, selat besar, dan kecil, serta sungai. Mayoritas daratan itu berupa bakau, hutan alam, permukiman, kebun, dan ladang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Fanugwa Loran sebanyak 258 jiwa yang terdiri dari 125 perempuan dan 133 pria pada 2019. Mayoritas penduduk beragama Kristen.
Mata pencaharian kami adalah berkebun, menangkap ikan, berburu, serta sebagian kecil berdagang. Setidaknya sembilan dari 10 orang mengandalkan penghidupannya dari kekayaan alam yang masih melimpah. Masyarakat Adat menjaga lingkungannya sesuai aturan-aturan adat yang menjadi aturan baku dalam kehidupan sosial kami. Tatanan yang ada dibangun berdasarkan aturan yang sudah ada sejak awal.
Lokasi permukiman saat ini merupakan hasil perubahan atau perpindahan yang ke-10 kalinya. Meski berpindah, nama “Loran” sudah ditentukan oleh jabuja takuna (nenek moyang) atau datuk sebagai Fanugwa Loran atau secara administratif kini disebut dengan Desa Lorang.
Pada saat awal pembentukan Fanugwa Loran, para leluhur dari berbagai marga berkumpul di Sungai Badidi, masing-masing marga akan saling menunggu hingga 10 marga hadir.
Awal kedatangan para marga ini sudah ditunggu oleh moyang mereka, yakni Jabuja Takuna (datuk) dan Fanugwa Dugwayi (tuan tanah). Tata urutan dalam bertemunya nenek moyang itu sesuai pada urutan marga di atas. Sedangkan pembagian atau perpindahan permukiman itu, antara lain Badidi Gwarfufin, Fkar Gwaka Tafuran, Ilma Lengarna, Bigwa Ukin Di, Gwar Fefa Jin Jina, Kai Falauna, Gutan Dalengan, Gwar Nga Nau, Kokoyar Jurin, dan Lar Fafin Tubin.
Dalam perjalanan di atas, Fanugwa Loran sudah disematkan pada kampung yang pertama walaupun pada saat penjelasan tersebut diberikan, mereka tidak berada di wilayah petuanan atau kawasan dari Fanugwa Loran.
Hutan untuk Kehidupan
Dalam aturan adat di Fanugwa Loran, hutan adalah tempat untuk kehidupan bagi komunitas adat, terkecuali tempat keramat yang tidak diperbolehkan untuk kegiatan budi daya.
Komunitas Masyarakat Adat Fanugwa Loran menyepakati hak petuanan, seperti setiap hutan boleh dimanfaatkan untuk kegiatan budi daya dan setiap kawasan budi daya dapat dijadikan hutan atau kebun hingga ladang dan permukiman. Kegiatan yang bisa dilakukan di sana, antara lain memasang jerat dan berburu, memotong kayu bakar atau kebutuhan material rumah, dan menanam sagu di tempat yang kami sebut dengan dusun sagu.
Mereka yang berbeda marga juga diperkenankan melakukan aktivitas ekonomi di lahan tersebut setelah mendapatkan izin dari pemilik petuanan.
Yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain di wilayah adat, adalah penebangan secara liar, kehadiran perusahaan atau investor dalam bentuk apa pun, penangkapan satwa, dan perusakan hutan.
Bagi kami, hutan ibarat “pasar” karena kebutuhan makan-minum bisa didapatkan di hutan. Hutan juga jadi tabungan bagi anak-cucu di masa mendatang.
Masyarakat Adat Aru di bagian selatan, - yang terdiri dari 14 kampung - biasanya menggelar upacara adat Daotel atau semacam membakar alang-alang. Ritual adat in masih dilakukan oleh Masyarakat Adat dari dua desa di bagian selatan.
Akses menuju ke desa hanya menggunakan perahu motor selama enam jam dari pusat kabupaten. Perjalanan bisa ditempuh selama dua jam saja menggunakan speed boat dengan harga paket antara Rp8-9 juta.
Masyarakat Adat di bagian pesisir memanfaatkan area bakau untuk mendapatkan bahan makanan, seperti udang, ikan, dan kepiting. Tidak ada perikanan budi daya di sini.
Berburu dengan Anjing
Aktivitas berburu yang jadi salah satu mata pencaharian kami juga berlaku bagi mereka yang bermukim di Desa Lorang, Kecamatan Aru Tengah, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Binatang buruan, seperti babi dan rusa, bisa dijumpai di daratan atau sabana, kerap ada juga di pesisir atau bakau. Selain itu, ada kangguru pohon yang biasa disebut pelanduk.
Perburuan di pulau-pulau kecil, daratan, maupun di hutan bakau biasanya diawali dengan persiapan sehari atau semalam sebelumnya. Peralatan busur, panah, serta perahu atau sampan harus dipastikan siap pakai jika akan menyeberang ke pulau lain.
Waktu perburuan yang paling tepat adalah dini hari sebelum matahari terbit pada jam 4-6 pagi atau saat masih ada embun. Pada masa-masa itu, binatang buruan diperkirakan masih kenyang. Mereka belum buang air besar atau air kecil, sehingga bobot tubuh mereka lebih berat dan lebih mudah dikejar saat perburuan.
Beda tempat perburuan, beda pula strategi yang digunakan oleh pemburu. Perburuan di pulau atau gurija, kondisi alamnya biasa berupa hutan dan bakau. Hal ini memudahkan pemburu dan anjingnya mengejar binatang buruan karena hanya ada satu atau beberapa jalur pelarian buruan. Bisa juga pemburu menunggu buruannya lewat saat dikejar anjing atau biasa disebut mangela.
Jika buruan berhasil lolos dari gigitan anjing di darat, biasanya bisa ditemukan di daerah pesisir.
Lokasi atau tempat berburu lain, adalah da’yar kurur atau hutan bakau. Biasanya buruan yang dapat ditemui di sana, yakni rusa dan babi hutan. Mereka mencari makan di hutan bakau. Babi biasanya mencungkil lumpur untuk mencari kerang di lumpur. Selain itu, babi dan rusa juga memakan buah dari salah satu pohon bakau, sedangkan hanya rusa yang gemar melahap pucuk muda bakau.
Tempat berburu lain, kami sebut jur-jurin atau areal hutan yang diyakini ada binatang buruan.
Para pemburu harus memiliki kemampuan untuk membaca jejak binatang buruan di hutan. Selain jejak dari kaki, pemburu juga biasanya mengamati dan memeriksa bekas gigitan rusa pada pucuk pohon.
Pemburu juga bisa membedakan jenis kelamin rusa dari bekas tandukan di pepohonan. Bekas tandukan pada pohon memperlihatkan lokasi itu dilalui oleh rusa jantan. Usia binatang buruan bisa terlihat dari sisa tanduk rusa yang tertinggal di kayu pohon. Jika sudah tidak ada sisa bulu, bisa diperkirakan rusa itu terbilang dewasa.
Meski bisa dilakukan sendiri, kegiatan berburu biasanya melibatkan beberapa orang. Semua itu tergantung kebutuhan. Perburuan berkelompok biasanya untuk kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti perayaan atau kegiatan di kampung.
Ada tugas-tugas berbeda dalam perburuan berkelompok. Biasanya ada tiga orang atau lebih yang masuk ke hutan atau areal perburuan. Mereka kerap membawa anjing ke dalam hutan. Sementara pemburu lainnya, bertugas menjaga tempat atau akses lari binatang buruan yang sudah diperkirakan sebelumnya. Sebaran pemburu yang menjaga akses lari ini tergantung dari penilaian berapa banyak akses untuk melarikan diri.
Jika perburuan berlangsung di pulau kecil (usir pulau), biasanya ada pemburu yang bertugas menjaga di laut, sungai, atau selat. Merekalah yang kelak mengejar buruan saat mereka menjauhi daratan dan berenang untuk menghindari kejaran anjing pemburu kami. Apabila menggunakan perahu, biasanya ada dua pemburu di masing-masing perahu.
Hasil buruan sangat tergantung dari selera anjing yang mengikuti perburuan. Ada yang menyukai rusa atau babi sebagai buruan, terkadang ada anjing tertentu yang lebih tertarik pada jenis kelamin binatang buruan tertentu. Saat ada jejak buruan, namun tidak sesuai selera anjing, maka buruan itu dipastikan lolos karena tidak dikejar oleh si anjing.
Dalam perburuan, anjing pemburu biasanya mempunyai pimpinan. Ada yang jadi ketua, ada yang jadi wakilnya. Yang memimpin biasanya lebih cekatan ketika berhadapan dengan buruan serta punya karisma di antara anjing-anjing lain.
Untuk menentukan pemimpinnya, pemburu biasanya memerlukan waktu hingga tahunan. Anjing itu dilibatkan dalam perburuan hingga dewasa dan terlihat kemampuannya, sehingga bisa dilatih untuk selalu berada di depan.
Saat anjing mengonggong, pemburu bisa membedakan suaranya untuk mengidentifikasi apakah yang menggonggong itu pemimpin atau bukan. Bila anjing kepala yang mengonggong, biasanya buruan akan dikepung oleh sekelompok anjing. Saat buruan sudah digigit, maka yang pertama memakannya adalah anjing pimpinan, sedangkan anjing lain akan menunggu giliran di sampingnya.
Karena perannya yang sangat penting, pemburu juga harus merawat anjing-anjingnya. Mereka menggunakan ramuan tradisional yang diracik dari tumbuhan dan bahan-bahan dari hutan serta lingkungan sekitar.
Anjing yang terluka saat berburu, misalnya digigit babi, ular, atau dilukai kasuari, perlu dirawat menggunakan daun kayu, pucuk daun yang muda, akar kayu, serta rerumputan. Jika anjing terluka akibat benturan saat lari, maka pengobatan dilakukan dengan menggunakan daun kayu yang dipanaskan (rauh) dekat bara api, kemudian ditempelkan pada anjing yang sakit. Untuk merangsang penciuman anjing, biasanya pemburu menggosok hidung anjingnya menggunakan daun, halia, dan tembakau.
Para pemburu ini juga bisa menghadapi buruan yang sama. Namun, mereka sudah bersepakat, saat ada warga dari Desa A sudah memanah binatang buruan terlebih dulu, namun pemburu dari desa lain yang mematikan buruan, maka binatang buruan itu akan tetap jadi pemburu dari Desa A yang pertama memanahnya. Ini kebiasaan yang diwariskan turun temurun.
Hal itu berlaku juga untuk meneruskan kemampuan atau keahlian berburu. Secara alamiah, para orangtua di Aru mengajarkan anak-anaknya memanah. Mereka harus membuat sendiri anak busurnya dari pinang hutan. Sementara yang berusia sekolah dasar, membuatnya dari lidi daun.
Selain itu, ada juga kegiatan lomba memanah tradisional bagi anak-anak. Saat usia mereka bertambah, maka busur dan anak busurnya disesuaikan menjadi lebih besar.
Biasanya hasil buruan itu dibuat dendeng, ada juga yang kemudian dibagikan kepada orang-orang di kampung jika berburu dilakukan secara berkelompok.
Mempertahankan Wilayah Adat Beta
Kondisi pandemi Covid-19 kembali menguji kolektivitas dan soliditas Masyarakat Adat di Kepulauan Aru, termasuk Masyarakat Adat Loran. Kondisi serupa terjadi pada 2013 silam saat Masyarakat Adat mempertahankan wilayahnya dari penguasaan perkebunan tebu.
Saat ini, Masyarakat Adat Marafenfen tengah memperjuangkan hak atas wilayah adat yang diserobot sepihak oleh TNI Angkatan Laut untuk bandar udara dan fasilitas lainnya. Fasilitas yang rencananya mencapai ratusan hektar itu berlokasi di Desa Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Upaya advokasi saat ini bergulir ke Pengadilan Negeri Dobo. Masyarakat Adat menggugat TNI Angkatan Laut, Gubernur Maluku, dan Badan Pertanahan Nasional atas objek sengketa tanah seluas 689 hektar.
Meski secara geografis, Marafenfen berada di sisi selatan, perlawanan atas upaya penyerobotan wilayah adat juga menjadi perhatian Masyarakat Adat Loran. Persoalan Marafenfen itu merupakan persoalan kolektif seluruh Masyarakat Adat Aru.
Aksi Masyarakat Adat Marafenfen di depan kantor pengadilan.
Informasi awal soal penyerobotan lahan itu datang dari mendiang Dolfintje Gaelagoy yang akrab disapa Mama Do. Saat itu, orangtua Mama Do tengah di padang sabana, lalu ada helikopter TNI Angkatan Laut dan bertanya soal Kampung Marafenfen. Selanjutnya, ada pertemuan di kampung tersebut.
Bagi Masyarakat Adat yang tinggal di sebelah selatan Aru, kawasan sabana itu punya peran penting sebagai habitat satwa buruan. Sebelum berburu, Masyarakat Adat biasa menggelar upacara Daotel yang artinya membakar alang-alang. Bagian area yang terbakar itu sudah ditandai. Saat terbakar, biasanya hewan buruan akan keluar dan Masyarakat Adat akan menangkapnya dengan cara memanah.
Ritual sejak zaman nenek moyang itu masih tetap dijalankan setiap tahun. Penggunaan lahan di wilayah adat itu bakal mengganggu habitat dan perburuan yang jadi kebiasaan Masyarakat Adat.
Mereka yang mendukung perjuangan Masyarakat Adat Marafenfen ini bergiliran mengawal jalannya persidangan. Mereka menyanyikan lagu adat dan mendampingi mereka yang ada di dalam ruang sidang setiap Rabu, dimulai dari pagi hingga pukul tujuh malam, bahkan hingga pukul sembilan malam.
Masyarakat Adat tidak meminta banyak terhadap pemerintah. Mereka meminta hak-haknya dihargai.