Oleh Febrianus Kori

Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Barat melakukan pertemuan sosialisasi pemetaan partisipatif wilayah adat di wilayah yang telah dimasuki konsensi perusahaan kelapa sawit PT Malindo Persada Khatulistiwa di desa Sailo, Kecamatan Mempawah, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Desa Sailo tercatat hingga kini belum memiliki peta definitif.

Pertemuan yang berlangsung pada 7 Juni 2024 di kantor desa Sailo ini turut dihadiri Temanggung (Kepala Wilayah) Binua Sailo Batangan beserta 11 Kepala Adat (Kampung) dari Sailo, Otong, Balidak, Jawa, Kerasik, Sabah, Godak, Tahubatn Babah, Tahubatn Atas, Panso, Bala. 

Kepala Desa Sailo Theresia dalam sambutannya mengatakan sangat mendukung adanya kegiatan sosialisasi pemetaan partisipatif wilayah adat yang dilakukan Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Barat di Desa Sailo. Theresia menyebut sampai saat ini Desa Sailo sendiri belum memiliki peta definitif. Karenanya, aku Theresia, mereka siap untuk berkerjasama dengan AMAN dan pengurus adat Binua Sailo Batangan untuk menindaklanjuti pemetaan wilayah ada di desa Sailo. 

“Kita apresiasi pelaksanaan sosialisasi pemetaan partisipatif wilayah adat ini, harapannya setelah ini desa Sailo sudah memiliki peta definitif,” kata Theresia usai membuka kegiatan sosialisasi pemetaan partisipatif wilayah adat di Desa Sailo. 

Theresia menerangkan bahwa saat ini wilayah Desa Sailo terbagi dari 8 dusun. Didalamnya, ada wilayah adat Sailo yang merupakan satu kesatuan dari wilayah adat Binua Sailo Batangan. Theresia menyebut sehari-harinya, Masyarakat Adat Dayak Kanayatn yang ada di wilayah adat ini berkebun jagung, sayuran dan berladang padi dengan cara tradisional.

Kepala Wilayah Adat Binua Sailo Batangan, Andreas Anyen dalam pertemuan sosialisasi ini memaparkan bahwa pertemuan ini sangat penting, terutama bagi Masyarakat Adat seperti mereka yang memiliki wilayah adat, hukum adat, dan budaya tradisi. Andreas mengaku saat ini Masyarakat adat Dayak Kanayatn di Binua Sailo Batangan mengalami kesulitan dalam memberikan titik batas pasti terkait batas wilayah adat. Ia pun berharap sosialisasi ini memberi manfaat bagi wilayah adat mereka.

“Sudah lama kami berharap wilayah adat Binua Sailo Batangan memiliki peta definitif. Ini penting bagi kelangsungan hidup kami disini,” kata Andreas.

Ia pun menyebut beberapa hutan tempat biasanya mereka melaksanakan ritual telah rusak akibat aktivitas perusahaan PT. Malindo. Andreas bersyukur perusahaan tersebut telah berhenti beroperasi beberapa tahun lalu, sehingga masyarakat dapat menggunakan tanah mereka kembali untuk diperuntukan bertani dan berkebun. Meski hingga kini masyarakat belum memiliki sertifikat tanah atau surat pernyataan tanah. 

Profil Desa Sailo

Desa Sailo memiliki jumlah penduduk sekitar 3.484 jiwa, terdiri dari 1.932 laki-laki dan 1.552 perempuan. Desa ini terbagi beberapa dusun atau kampung yaitu Sailo, Otong, Balidak, Jawa, Kerasik, Sabah, Godak, Tahubatn Babah, Tahubatn Atas, Panso, Bala. 

Di wilayah adat Sailo Batangan ini banyak yang harus dilindung seperti tanaman tradisional yang dapat dijadikan obat serta makan sehari-hari masyarakat. Masyarakat di desa ini bekerja sebagai petani jagung, jahe dan berladang padi. Selain itu, Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Binua Sailo Batangan juga biasa berburu di hutan untuk mencari tupai, babi hutan dan lain-lain. 

Andreas mengatakan wilayah adat Binua Sailo Batangan banyak sekali memberikan sumber daya alam yang melimpah. Karenanya, harus terus dijaga dan dilestarikan sampai anak cucu kita nanti.

Di wilayah adat Binua Sailo Batangan, setiap tahunnya dilaksanakan Balala Tamakng atau Pantang Nagari yang biasa dilaksankaan setelah melaksanakan upacara perayaan atas panen padi. Ritual ini dinamakan Naik Dango (nama acara perayaan atas panen padi). Dua kegiatan ini dilaksanakan oleh Masyarakat adat Dayak Kanayatn.

Suharti, salah seorang Masyarakat Adat Binua Sailo Batangan menyatakan bahwa sejak perusahaan PT Malindo beroperasi tahun 2006 dan berakhir tahun 2013, dampak negatifnya banyak sekali. Salah satunya kerusakan pada wilayah adat Binua Sailo Batangan seperti hutan ditebang skala besar membuat beberapa tanah Masyarakat Adat terdampak, aliran sungai mengering dan jalan rusak akibat tranfortasi yang digunakan untuk mengangkut alat-alat berat perusahaan.

“Pernah 10 tahun terakhir kami mengalami banjir yang besar, membuat kebun kami tidak dapat dipanen, bahkan banyak yang mati. Akibatnya, kami mengalami kerugian yang sangat besar,” kata Suharti.

AMAN Terus Melakukan Sosialisasi 

Pejabat Ketua PW AMAN Kalimantan Barat Tono mengatakan pemetaan partisipatif wilayah adat ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum. Dikatakannya, peta wilayah adat merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari syarat untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan sesuai mandat Peraturan Daerah No15 tahun 2017 tentang pengakuan dan perlindungan Masayarakat Adat. Selanjutnya, pemetaan wilayah adat ini nantinya akan menjadi bahan untuk membuat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten. 

Tono mengakui bahwa hingga saat ini masih banyak desa di Kalimantan Barat yang belum melakukan pemetaan wilayah adat. Menyadari akan hal ini, sebut Tono, pihaknya tidak henti melakukan sosialisasi pemetaan partisipatif wilayah adat.

“Pemetaan partisipatif wilayah adat ini sangat penting, tapi pelaksanaannya harus ada kolaborasi antara ketimanggongan (kecamatan) dan pemerintahan desa dengan Masyarakat Adat,” ungkap Tono sembari menambahkan setelah melakukan pemetaan partisipatif, tentu ada diskusi lanjutan yang disepakati bersama dengan Masyarakat Adat.

Tono menjelaskan wilayah adat Binua Sailo Batangan di Desa Sailo secara geografis merupakan daerah perbukitan. Wilayahnya telah dimasuki konsensi perusahaan kelapa sawit PT Malindo Persada Khatulistiwa tahun 2006. Akibatnya, kondisi wilayah adat Binua Sailo Batangan mengalami kerusakan alam karena pohon yang ada di hutan telah ditebang dalam secara skala besar.

Menurut Tono, wilayah adat Binua Sailo Batangan yang ada di Desa Sailo ini berbeda dengan wilayah adat lainnya. Wilayah adat Binua Sailo Batangan dan desa Sailo merupakan satu kesatuan sehingga memudahkan tim untuk melakukan pemetaan. Kemudian, lanjutnya, Masyarakat Adat dan kepengurusan kampung di wilayah adat Binua Sailo Batangan telah sepakat untuk melakukan pemetaan partisipatif.

“Ini yang penting, ada kesepakatan bersama. Hal ini memudahkan proses selanjutnya untuk mendapatkan surat keputusan pengakuan dan perlindungan dari Negara atau Pemerintah Daerah Kabupaten Landak,” tegasnya.

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Barat