Kisah dari Natarmage: Tanah dan Perjuangan Kami
24 November 2024Oleh Fransiskus Mado bersama Apriadi Gunawan
“Tanah amin moret Amin.” Itu ungkapan yang bermakna bahwa tanah kami adalah hidup kami serta menggambarkan prinsip Komunitas Masyarakat Adat Natarmage di Pulau Flores Bagian Timur, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sinilah tempat saya, Fransiskus Mado, dilahirkan dan dibesarkan.
Wilayah adat kami meliputi sejumlah desa, yaitu Desa Natarmage, Desa Tanarawa, Desa Tuabao, Desa Talibura, Desa Ilin Medo, dan Desa Nangahale. Desa-desa tersebut berada di Kecamatan Talibura dan Kecamatan Waiblama. Saya sendiri tinggal di Kecamatan Waiblama.
Komunitas kami ini mempunyai wilayah adat yang terbentang luas dari utara perairan Laut Flores di Kecamatan Talibura hingga masuk ke pedalaman yang mempunyai area gunung bukit serta landai menembus ke selatan dari sebagian wilayah di Kecamatan Waiblama.
Kehidupan saya dan warga adat lain di Komunitas Masyarakat Adat Natarmage, masih bergantung pada pola hidup tradisional yang diwariskan oleh leluhur dengan tradisi yang masih melekat pada kepercayaan terhadap leluhur dan alam semesta. Meski bertahan dengan pola tradisional, kami berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dari waktu ke waktu.
Ditengah kesibukan sehari-hari, pada musim kemarau, kami di kampung akan beramai-ramai membersihkan lahan yang terisi dengan tanaman komoditi yang menjadi satu-satunya harapan kami, yaitu jambu mete. Biasanya, menjelang musim hujan di penghujung tahun, kami mulai menyiapkan lahan yang bersih untuk menanam padi dan jagung sambil diselipi tanaman jenis umbi-umbian.
Kami juga sejak dahulu mempunyai kebiasaan kerja di kebun secara berkelompok. Kami berpindah dari satu kebun ke kebun milik warga lain. Di sela-sela kerja kelompok tersebut, kami selalu bercerita tentang kampung dan kebiasaan nenek moyang. Kebiasaan kami ini sama nilainya dengan model kerja gotong royong hingga dapat meringankan beban bekerja sebagai seorang petani lahan kering.
Lahan tanaman pangan di Komunitas Masyarakat Adat Natarmage.
Asal-usul Kampung Natarmage
Suatu ketika, saya berjalan menuju rumah Tana Puan, salah seorang pemangku adat tertinggi di kampung. Dia mengajak saya mengobrol tentang kampung halaman kami sejak dahulu kala. Tana Puan dengan semangat menceritakan asal-usul Kampung Natarmage dengan lengkap. Saya mendengarkan cerita yang menarik itu ibarat dongeng yang mengisahkan tentang kehidupan sekelompok orang dalam membangun komunitas adatnya.
Kami mulai saling bertanya dan menjawab tentang kisah lahirnya Natarmage. Ternyata, kampung kami berawal dari kisah perjalanan hidup sekelompok orang yang dipimpin oleh Sugi Sao yang datang dari Siam Sina Malaka dengan menggunakan perahu layar untuk mencari negeri untuk tinggal. Siam Sina Malaka adalah sebutan orang tua di kampung yang berarti orang luar yang datang ke Indonesia lewat Selat Malaka.
Setibanya di kampung kami sekarang, Sugi Sao melakukan survei untuk mengamati sekitar tempat ini. Beliau tidak menemukan seorang pun penghuni di sekitar tempat ini. Sugi Sao bersama keluarganya mulai tinggal dan bertahan di kampung sembari menetapkan Soge menjadi sukunya sejak saat itu hingga sekarang.
Tana Puan masih melanjutkan ceritanya. Di saat Sugi Sao berburu dan beristirahat di bawah pohon asam yang rindang, beliau mendengar kicauan burung kuau yang suaranya mirip seperti mengucapkan kata “oakauk nararmage.” Sugi Sao mengikuti kata-kata itu hingga akhirnya memberi nama kampung kami dengan sebutan Natarmage.
Peta Wilayah Adat Natarmage
Nenek moyang kami sejak dahulu memiliki kebiasaan melakukan ritual-ritual pemujaan terhadap leluhur dan alam semesta. Kami mengikuti ritual tersebut hingga sekarang dan semua pekerjaan kami selalu diawali dengan ritual. Ketika membuka kebun baru atau mau membangun rumah dan sebagainya, kami melakukan ritual menurut tahapan-tahapan yang sesuai dengan jenis pekerjaan tersebut.
Kami mempunyai keyakinan terhadap konsep “Tuhan, Bumi, dan Langit.” “Ina Nian Tana Wawa Aman Lero Wulan Reta” adalah bahasa untuk kepercayaan kami yang secara sederhana dapat diartikan: Ibu Bumi, Bapak Langit. Hingga saat, ini kami tetap mempercayai dan meyakini konsep tersebut. Kami meyakini konsep itu disatukan oleh Sang Maha Kuasa, yaitu Amapu (Tuhan) atau dalam sebutan kami Amapu Tana Wulan. Artinya, Tuhan Penguasa Tanah dan Langit.
Konflik HGU
Sejak dulu, leluhur kami mengalami gangguan kekuasaan dari orang kulit putih (istilah bagi penjajah Belanda). Mereka datang dan merampas wilayah adat kami di sebagian lokasi pesisir Pantai Pedan sejak tahun 1912. Leluhur kami tidak menyadari bahwa perampasan wilayah tersebut, tidak hanya terjadi pada wilayah adat kami Suku Soge, akan tetapi hal yang sama juga terjadi di wilayah yang bersebelahan dengan pesisir Pantai Pedan, yaitu Patiahu yang merupakan wilayah adat Suku Goban.
Kedua lokasi itu sama-sama berada di pesisir pantai yang hanya dibatasi oleh unsur batasan wilayah adat. Namun, hubungan sosial kami sangat akrab karena dua suku dan wilayah adat sejak dahulu telah hidup berdampingan.
Masalah mulai terjadi saat kehadiran penjajah Belanda di tanah leluhur kami. Ironisnya, penjajahan tersebut tetap ada seakan dimandatkan kepada orang pribumi sendiri, sehingga tetap dirasakan turun temurun sampai pada generasi kami sekarang.
Sambil mengikuti orangtua kami berjuang, saya bertanya dan mencari tahu akar permasalahannya. Saya bersama warga adat suku lainnya mulai ikut berjuang sejak tahun 2014. Saya mengingat secara baik bahwa tanggal 9 Agustus 2014, kami yang berjumlah 700 kepala keluarga, secara serentak turun menduduki lokasi tanah eks hak guna usaha (HGU) Nangahale. Masalah itu sekarang sudah diketahui banyak pihak dan kasusnya masih terkatung-katung.
Dari cerita yang saya gali dari beberapa tokoh, orang-orang tua dan mereka yang mengetahui lebih dahulu masalah tanah eks HGU tersebut, didapat penjelasan bahwa tanah Nangahale Patiahu telah dirampas oleh penjajah Belanda sejak tahun 1912, yaitu Amsterdam Soenda Company yang berkedudukan di Amsterdam.
Seiring berjalannya waktu dari tahun ke tahun, tanah kami beralih ke tangan Vikaris Apostolik Keuskupan Agung Ende dengan status HGU. Singkat cerita, kami menyadari bahwa ternyata tanah yang mereka rampas dan beralih dari tangan ke tangan tersebut, adalah jejak langkah dari leluhur kami. Kami juga menyadari bahwa nenek moyang kami pasti telah diusir oleh penjajah Belanda. Kesadaran ini mendorong kami untuk mendapatkan kembali wilayah adat kami yang telah dirampas itu. Sebab, semua kebiasaan ritus adat kami masih berlaku di tanah tersebut.
Pakaian Adat Komunitas Adat Natarmage
Kami dari Komunitas Masyarakat Adat Natarmage bersama tetangga kami, yaitu Komunitas Masyarakat Adat Runut, mempunyai pandangan yang sama, bahwa tanah eks HGU Nangahale Patiahu ini berada dalam satu kesatuan di antara dua wilayah adat kami. Maka, kami bertekad bersama-sama mengklaim kembali dan mendudukinya.
Kami melihat cara licik perusahaan yang telah mengalihkan tanah eks HGU dari tangan ke tangan. Tanah tersebut telah beralih dari PT DIAG Keuskupan Agung Ende ke PT KRISRAMA Keuskupan Maumere. Peralihan itu kami ketahui berdasarkan dokumen keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4/ HGU/89 tanggal 5 Januari 1989 tentang pemberian HGU Hak Guna Usaha kepada perkebunan kelapa PT DIAG dalam jangka waktu 25 tahun yang berakhir pada 31 Desember 2013.
Menurut tokoh pejuang pendahulu kami, permasalahan sengketa tanah eks HGU itu sempat dimediasi oleh Pemda Sikka pada 2005. Hasilnya, pihak yang bersengketa sepakat untuk secara bersama-sama membahas sengketa tanah tersebut di akhir masa kontrak 31 Desember 2013. Namun, ternyata pemerintah mengabaikan kesepakatan itu, sehingga tanggal 9 Agustus 2014 kami secara serentak turun dan menduduki lokasi eks HGU Nangahale Patiahu sampai saat ini.
Sementara itu, pihak perusahaan tetap mengelola aset yang ada. Menurut kami, pengelolaan aset tersebut tidak mempunyai izin yang jelas dari pemerintah karena masa kontrak sudah berakhir di tahun 2013.
Ancaman
Keluarga besar Suku Soge dan suku pengikutnya yang kami sebut dengan Sukun Pulu Wot Lima Aken Rua Plewong Telu, selalu bekerja sama dalam pelaksanaan ritus, baik ritus yang berurusan dengan manusia maupun ritus lain yang bersifat komunal, termasuk ritus yang dilakukan terhadap alam semesta dan juga ritus yang berurusan dengan upacara di kebun.
Karena sering mendengar cerita dari para tokoh pejuang dan tetua adat, saya bersemangat untuk melihat apa saja yang menjadi ancaman di dalam komunitas adat kami. Biasanya, setiap tahun kami melakukan ritual adat Balatan Tanah dan Gren Nuba. Balatan Tanah merupakan ritual adat yang kami lakukan untuk upacara pendinginan tanah di wilayah adat kami. Sedangkan Gren Nuba, merupakan upacara adat yang kami lakukan untuk meminta berkah, kekuatan, kesehatan, dan keberhasilan lain dalam hidup. Untuk melakukan itu, kami melakukan ritual di daerah muara sungai. Daerah muara sungai tersebut kami namai Nuba Nanga.
Sayangnya, Nuba Nanga sekarang dalam keadaan terancam hilang dan keadaannya tidak tertata rapi karena ada pihak lain yang sengaja melakukan perusakan akibat dari pengembangan perusahaan mereka. Ketika saya bertanya kepada tetua kami, tetua tersebut menjelaskan bahwa Nuba Nanga kita tetap ada, tetapi ada yang sudah dibongkar dan dibakar oleh orang lain. Tetua kami melanjutkan ceritanya dengan bilang bahwa kami pernah menyampaikan kepada orang yang berada dekat dengan lokasi tersebut supaya kita bersama-sama menjaga tempat ritus ini. Ada yang berhati baik dengan menyumbangkan sedekah ketika kami melakukan ritual adat di Nuba Nanga, tetapi rupanya banyak yang berusaha untuk menghilangkannya untuk kepentingan mereka sendiri.
Pohon tempat ritus di area pesisir Nangahale yang ditebang oleh perusahaan.
Saya mendengar keluhan itu dan saya sempatkan diri untuk mengikuti pertemuan kampong. Kami bermusyawarah untuk kembali menata dan menjaga Nuba Nanga menjadi tempat melakukan ritual.
Wilayah adat kami di Natarmage cukup luas, dari bibir pantai Nangahale hingga ke daerah pegunungan, sehingga kami hidup menyebar dari gunung sampai ke pantai. Meskipun kami hidup secara tersebar, tetapi kami tetap taat ketika ada jadwal melakukan ritual.
Sebagian keluarga kami yang ada di pesisir pantai, mencari ikan dengan cara kampung, yaitu ketika pasang surut ramai-ramai mencari ikan. Ada juga yang mencari ikan dengan memanah dan memancing dengan perahu kecil. Hasil pencarian ikan, biasanya dibawa pulang. Sebagian dibawa ke rumah untuk disantap bersama keluarga dan sebagian dijual di pinggir jalan dan sebagian lainnya dibakar di pesisir pantai sambil menikmati matahari merah tenggelam di sore hari.
Kebiasaan tersebut sudah mulai kaku karena di wilayah pesisir yang saya ceritakan tadi, sudah dibangun petak untuk perusahaan mutiara. Sedihnya lagi, pemerintah telah menyampaikan bahwa di tempat kami ini akan dibangun wisata pabrik pengalengan ikan dan wilayah itu dijadikan aset mereka.
Ketika kami mendengar kabar tersebut, sontak semua anggota suku bergumam satu persatu memunculkan raut yang kesal dan menolak apa yang disampaikan pemerintah. Saat ini, pemangku adat kami, Tana Puan dan kepala suku, tetap menyampaikan kepada semua anak sukunya bahwa kita jangan takut untuk tetap tinggal dan jaga tanah kita sendiri. Kami tidak boleh lari ke mana-mana. Kami hidup punya adat, sehingga kami tetap minta kepada leluhur dan alam semesta untuk menjaga kami.
Kami sering melakukan musyawarah adat di Blefak. Blefak merupakan bangunan rumah adat tempat kami melakukan musyawarah adat. Di tempat itu, kami selalu duduk membahas segala ancaman yang ada bersama dengan tetangga suku sebelah barat yang merupakan bagian dari wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Runut yang mengalami nasib sama.
Seiring waktu, kami semakin menyadari bahwa ancaman itu akan membuat hilangnya adat kami, sehingga setiap saat kami selalu bertemu dengan Tana Puan dan kepala suku. Tana Puan merupakan penguasa wilayah adat tertinggi, sedangkan kepala suku merupakan penguasa suku tertinggi.
Di saat kami melakukan musyawarah adat, Tana Puan selalu menyampaikan kepada kami bahwa ancaman yang kami alami langsung ini sudah berlangsung sejak tahun 1969. Begitu saya mendengar apa yang disampaikan Tana Puan tersebut, saya lantas menyisihkan waktu untuk mencari tahu lebih lengkap.
Tana Puan mengungkap kesaksiannya bahwa nasib Suku Soge di Natarmage, sama dengan nasib Suku Goban di Runut.
Menurut kesaksian Tana Puan, dirinya bersama beberapa orang kampung pada 1969 dipaksa oleh pastor, seorang keturunan orang Barat (asing) untuk membongkar dan menguburkan Mahe, tempat kami melakukan ritual milik saudara kami dari Suku Goban. Tana Puan bercerita bahwa pada saat itu, ketika mereka menolak melakukannya, maka semua dianggap PKI (Partai Komunis Indonesia), sehingga mereka pasrah dan membiarkan itu musnah sampai sekarang.
Sekarang, kami juga mengalami ancaman yang sama, yaitu Nuba Nanga digusur dan dibakar untuk kepentingan pihak perusahaan. Ancaman datang dari pastor untuk kepentingan perusahaan yang sama.
Perampasan Lahan
Wilayah adat Natarmage merupakan bagian dari area pesisir pantai Pedan Nangahale yang sedang kami perjuangkan sejak dulu sampai sekarang. Kami melihat ada upaya tersembunyi yang dilakukan pihak lain untuk merampas wilayah adat.
Ketika saya bertemu kembali dengan Tana Puan, beliau mengatakan bahwa tanah kita ini dirampas sejak dulu oleh orang Belanda dan kini kita berhadapan dengan perusahaan milik gereja Katolik.
Perusahaan yang pernah kelola tanah kami, adalah PT DIAG Keuskupan Agung Ende dan sekarang keuskupan sudah mengalihkannya ke PT KRISRAMA di Keuskupan Maumere.
Sejak akhir Desember 2013, tanah ini sudah selesai dikontrak oleh pihak perusahaan. Kami komunitas adat dua suku, pernah melakukan tatap muka dengan pihak perwakilan Pemerintah Kabupaten Sikka, tetapi belum ada titik akhir penyelesaian. Pihak perusahaan pun tetap mengelola aset yang ada.
Namun kini, kami menduduki tanah eks HGU tersebut. Terkadang kami resah karena terganggu dengan ulah karyawan yang kerap datang tanpa izin masuk kapling rumah kami dan memetik buah kelapa yang ada di sekitar tempat tinggal kami. Daun kelapa yang mereka tebang berjatuhan dan mengotori halaman rumah kami. Kami merasa bahwa tindakan itu merupakan penghinaan terhadap kami. Ada kesan bahwa apa yang mereka lakukan itu atas perintah orang tertentu dengan tujuan agar kami angkat kaki dari tanah kami.
Kami tetap berprinsip Tanah Amin Moret Amin, sehingga kami tidak akan melangkah sejengkal pun dari tanah kami karena kami bukan orang asing. Kami bukan datang membawa perusahaan, tetapi kami meneruskan apa yang menjadi pemberian leluhur kami.
Jejak Perlawanan
Kami akrab memanggilnya Anton Toni, seorang warga adat dari Natarmage. Toni bercerita bahwa perjuangan mempertahankan tanah ulayat sudah terjadi sejak tahun 1812 saat Belanda datang membangun perusahaan Soenda Company yang berpusat di Amsterdam. Sementara pada 1800-an, nenek moyang kami sudah menghuni Kampung Pedan Nanghale.
Perusahaan Belanda mengembangkan usaha mereka awalnya dengan menanam kapas. Saat itu, sudah muncul perlawanan dari beberapa orangtua kami. Mereka membakar semua hasil panen kapas yang ditanam perusahaan Belanda.
Banyak yang tewas terkena tembakan peluru tajam oleh senjata serdadu Belanda. Orangtua kami yang gugur dalam perlawanan itu, dimakamkan di Pekuburan Wairhek, dekat lokasi Pantai Pedan.
Meski korban berjatuhan, perlawanan tetap berlangsung dari tahun ke tahun, hingga perusahaan itu berpindah tangan ke misionaris Barat tahun 1965-1969. Kurun waktu itu, terjadi gerakan Tanam Salib, sehingga beberapa sarana ritus kami dikuburkan, seperti Ai Pua, Sope, dan Mahe. Ritus-ritus itu diganti dengan penanaman salib.
Ai Pua adalah kayu keramat yang ditanam di tengah kebun sebagai tempat melakukan ritus untuk keberhasilan kebun. Sope adalah wadah tempat menyimpan benda-benda ritual untuk keperluan ritus. Mahe adalah tempat keramat sekaligus tempat ritual adat untuk memuja Sang Pencipta melalui alam semesta dan dipusatkan di tengah hutan lindung.
Cerita perlawanan juga datang dari warga adat lain, yaitu Moan Jeng dan Moan Aris. Keduanya menuturkan, ada seorang tokoh adat bernama Moan Lewor Goban yang mulai mengorganisasi Masyarakat Adat Utan Wair dan Likong Gete untuk melakukan perlawanan atas tanah HGU dan hutan tutupan di Tana Ai. Moan Lewor Goban selalu melakukan demonstrasi terhadap pemerintah. Perlawanan berlangsung dari tahun ke tahun hingga tahun 2009.
Kini, perlawanan yang telah digagas oleh para tokoh adat tersebut, kami lanjutkan hingga sekarang. Kami melakukan perlawanan dengan menduduki lokasi tanah bekas HGU Nangahale Patiahu. Kami sudah turut rasakan ikut berjuang. Satu hal yang selalu kami lakukan, adalah selalu melakukan ritual adat sebelum melakukan kegiatan apa pun di lokasi ini.
Warga berkumpul di sebuah pondok penyimpan makanan saat menduduki lokasi tanah bekas HGU Nangahale Patiahu.
Situasi Politik
Kami selalu mengikuti perkembangan politik di Kabupaten Sikka. Kami pernah mencalonkan anak adat kami untuk maju ke kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II Kabupaten Sikka, tetapi belum berhasil memperoleh kursi. Kami berharap suatu saat nanti ada anak adat yang bisa diutus ke kursi DPR, sehingga dia bisa mengikuti dan mengawal kepentingan Masyarakat Adat di Kabupaten Sikka.
Selama ini kami didampingi oleh AMAN. Kami membantu menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kabupaten Sikka tentang Masyarakat Adat. Sudah empat kali kami melakukan konsultasi publik dan tahun 2019 lalu, hasil konsultasi sudah kami serahkan ke Bupati Sikka dan DPRD Sikka melalui Bapeperda. Akan tetapi, dokumen usulan Ranperda Masyarakat Adat tersebut tidak pernah dibahas lagi sampai tulisan ini dibuat.
Kami bersama para tokoh adat serta pemerhati, sudah berulang kali melakukan pendekatan dengan Pemda, DPRD, Kementerian ATR/BPN, bahkan sampai ke Presiden RI. Tapi, tetap tidak membuahkan hasil apapun.
Pandemi Sebagai Ancaman Baru
Di saat kami sedang berjuang mempertahankan wilayah adat, muncul ancaman baru berupa wabah virus Covid-19. Ancaman virus ini sudah menyebar ke wilayah adat kami, sehingga kami pun ikut aturan pemerintah dan mentaati upacara adat untuk menghindari serangan virus.
Menurut kami, ancaman virus itu sangat berat karena kami tidak bebas ke mana-mana, termasuk tidak bisa saling mengunjungi antara keluarga di gunung dan keluarga di pesisir karena dibatasi oleh pos penjagaan di dua wilayah desa.
Kami hanya bisa saling memberi pesan agar tetua adat dapat bertemu. Para tetua adat sepakat untuk membuat ritual adat yang kami yakini dapat mengusir virus ganas tersebut. Saya mengikuti ritual adat tersebut. Namanya Lepe Likong.
Lepe Likong adalah nama ritual yang diartikan sebagai membentengi wilayah, sehingga dalam pelaksanaan ritual, kami meyakini bahwa wilayah adat kami telah dibentengi oleh kekuatan ritual, sehingga virus tidak akan menjangkau wilayah adat.
Kami semua anak suku dipesankan untuk taat terhadap aturan ritual Lepe Likong. Saat tetua adat kami melakukan ritus sampai hari keempat, semua orang yang ada di dalam wilayah adat, tidak boleh bepergian sampai keluar dari wilayah ritual kampung kami. Apabila ada yang melanggar, maka akan mendapat teguran keras dan bisa mendapat sanksi. Sehingga, saat ritual adat itu dilaksanakan, kami semua siap untuk berdiam diri di lingkungan masing-masing sampai batas waktu yang ditentukan.
Kami bersyukur hingga Juli 2021, tidak ada anggota suku adat yang tertular Covid-19. Tahun 2020, terdapat dua orang yang berada di luar wilayah klaster terpapar Covid-19, namun mereka sudah sembuh.
Kami semua anggota suku yang berada di dalam wilayah adat, tetap waspada terhadap perkembangan virus mengingat belakangan telah muncul berbagai varian baru. Kami selalu ikut aturan kesehatan dari pemerintah sembari tetap berdoa kepada Tuhan dan leluhur alam semesta. Semoga kami semua dapat terhindar dari wabah.
Doa tersebut terbungkus dalam bentuk syair yang kerap diucapkan para tokoh adat dari Natarmage saat menggelar Lepe Likong.
Neni ora Ina Buan, Prawi ora Ama Gaen
Anin Goit warat raat
Bano aun Mula Puan, rema aun Lero Lohor
Lau Nian Lou Bau, wawa tana Lodo man
Anin Goit Warat raat
lopa hekor, lopa Hewar, Lopa Wau Lopa Gon, Nian Mue uru widin, tanah mue tada komak, Bano Mula Pua man, Rema Lero Lohor Bau, Bake watu mala Likong, Huga Roun Mala Lepe, Wair lopa Ba Pout, watu lopa gogo bajang, Gebi beli Gring, Kape beli edeng, Teri Naha Wiin Blatan, era naha Tebon Bliran, Tuber naha Blon, Manar naha Hait
Amen
Syair itu kira-kira diartikan: “Mohon kepada orangtua dan leluhur. Menjauhkan angin wabah penyakit. Terbawa seiring terbenamnya matahari. Bentengi tanah kami. Lindungi nyawa kami. Semoga sehat dan umur anjang.”
Perempuan Adat
Pada Februari 2021, para perempuan adat dari Natarmage mengadakan pertemuan kampung bersama Seknas PEREMPUAN AMAN guna membentuk wilayah pengorganisasian PEREMPUAN AMAN. Hadir pada kesempatan itu, Ketua Umum Devi Anggraini, Kepala Suku Soge Ignasisus Nasi, dan saya sendiri sebagai perwakilan warga adat. Dari pembentukan yang berlangsung di Balai Pertemuan Adat tersebut, terpilih Donata Dua sebagai Ketua Pengurus Harian Komunitas (PHKom) PEREMPUAN AMAN Natarmage. Donata Dua mengatakan bahwa PEREMPUAN AMAN Natarmage merupakan organisasi sayap AMAN yang memiliki tujuan membantu Masyarakat Adat Natarmage dalam memperjuangkan kembali tanah ulayat Patiahu-Nanghale. Perempuan adat mulai terlibat dalam berbagai aksi, aliansi, dan advokasi.
Kemudian dalam mempertahankan kehidupan kami di komunitas, perempuan adat tentunya juga bercocok tanam. Ada yang membuat kue dari pangan lokal dan mengakses program gerakan kedaulatan pangan dan ekonomi Masyarakat Adat berupa bantuan ternak kambing 11 ekor yang diinisiasi dari PB AMAN.
Pemuda Adat
Ruben adalah nama sapaan seorang pemuda adat di kampung kami. Ia selalu berjuang dan berada di garda terdepan dalam memperjuangkan hak Masyarakat Adat. Sejak 9 Agustus 2014, Ruben bersama pemuda adat dan para tokoh adat lainnya, menggerakkan 700 kepala keluarga untuk menduduki tanah ulayat mereka di Patiahu-Nanghale.
Dalam perjuangan itu, kawan-kawan sempat mendapat intimidasi dan tindakan anarkis dari aparat TNI-Polri. Ada juga yang diseret ke penjara pada waktu itu. Namun, tindakan dari oknum TNI-Polri tersebut tidak menyurutkan semangat perjuangan untuk merebut hak. Masyarakat Adat mulai membangun rumah, membuka kebun, membuka sawah, membentuk kelompok tani, serta membantu komunitas membangun kerja sama dengan pihak luar untuk kepentingan perjuangan.
Menurut Ruben, walaupun organisasi pemuda adat belum terbentuk di Natarmage, tetapi dalam beberapa kesempatan, mereka sering berjumpa dan bertukar pikiran dan mengadakan kegiatan bersama dengan BPAN Flores Bagian Timur. Ruben berharap kepengurusan pemuda adat di tingkat kampungnya dapat segera dibentuk. Hal itu sangat penting agar para pemuda adat bisa belajar tentang organisasi, kepemimpinan, dan mempertahankan adat istiadat sekaligus mencintai wilayah adat di tengah kepungan globalisasi dan modernisasi.
***
Penulis adalah warga dari Masyarakat Adat Natarmage di Pulau Flores Bagian Timur, Kabupaten Sikka, NTT. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - sebuah gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.