Kisah dari Usal Ponto Ai Padeng: Menanam dan Terus Menanam Meski Pandemi
24 November 2024Oleh Susilawati bersama Fadia Alaidrus
Ketakutan Ibu Nurtini atas peristiwa yang terjadi sekitar enam tahun lalu, masih terus terbawa hingga hari ini. Ia sulit untuk merasa aman seperti sedia kala. Pada 2015, terdapat setidaknya 70 unit rumah yang dirusak dan dibakar di wilayah adat Usal Ponto Ai Padeng, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejumlah tanaman yang setiap hari dia rawat bersama perempuan adat lain, termasuk ibu saya, turut dihancurkan.
“Dampak yang didapat oleh warga, yaitu trauma mendalam,” kisah Ibu Nurtini kepada saya pada Juli 2021 lalu. Ibu Nurtini mempertegas kembali luka yang tertinggal dari konflik tersebut, “Tanaman kami rusak dan kami trauma mendalam.”
Ibu Nurtuni terus mengulang ceritanya mengenai kerusakan tanaman, ketakutan yang dibawanya ke keluarganya, dan kekhawatiran yang dibawa ke wilayah adatnya. Kata “trauma” terus dilontarkan secara berulang dalam percakapan kami. Bagi kami, untuk mengingat kembali konflik yang terjadi selepas kedatangan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) ke kawasan Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng bukanlah sesuatu yang mudah.
Perkenalkan, saya Susilawati, atau akrab dipanggil Ucy. Saya terlahir dari rahim sosiologis Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng sekitar 19 tahun yang lalu. Dalam keseharian, saya aktif di lingkungan Masyarakat Adat ini untuk membantu mencarikan jalan keluar apa yang dihadapi selama ini, baik terkait dengan urusan konflik maupun pemberdayaan Masyarakat Adat secara umum dan perempuan adat secara khusus.
Sejak kecil, saya tidak ubahnya seperti anak-anak pada umumnya yang selalu bermain dengan sesama. Perbedaannya, saya terlahir dari lingkungan Masyarakat Adat. Saya juga memiliki bapak yang menjadi Kepala Suku Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng. Nama ayah saya, Bojong Dwi. Sejak kecil, saya telah menyadari bahwa saya tumbuh sebagai bagian dari Masyarakat Adat ini.
Seiring tumbuh dewasa, saya pun belajar mengenai nilai-nilai luhur yang ada di dalam Masyarakat Adat kami. Saya juga mulai memahami tentang apa yang diperjuangkan oleh Masyarakat Adat, termasuk para tetua adat, perempuan adat, dan pemuda adat, salah satunya adalah mempertahankan hak atas wilayah adat secara turun-temurun.
Sejarah
Apabila melihat sejarahnya, Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng sudah beberapa kali berpindah lokasi. Sejarah yang tercatat tentang kami, berawal dari perang yang terjadi antara beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, di antaranya Kerajaan Gowa, Banjar, dan Bone. Saat itu, Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja Pasase. Kemudian, Raja Pasase ini datang ke Sumbawa, menginjak wilayah Usal, Parenten, Lanang Nunuk, dan Katelap pada 1528 yang membentuk sebuah kelompok yang dihuni oleh sekitar 10-25 keluarga.
Memasuki tahun 1533, Pasase mendirikan sebuah kampung dengan nama Batu Beduk. Kala itu, Pasase pun diresmikan menjadi pemimpin adat. Sejak itu, mulai terbentuklah apa yang kini menjadi Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng. Saat ini, Batu Beduk berada dalam wilayah adat kami, khususnya di Desa Mama. Nama “Batu Beduk” berasal dari keberadaan batu dalam ukuran besar yang ditemukan oleh Pasase.
Pasase memegang tahta tahun 1533-1573. Dalam kurun waktu tersebut, ia terus memperluas wilayah kekuasaan hingga merangkul sekitar 200 keluarga. Peninggalan mereka masih ada hingga saat ini dalam bentuk 200 makam leluhur yang tersebar di wilayah adat kami.
Selain memperluas wilayah kekuasaan, Pasase juga merapikan perkampungan, membuat wilayah khusus persawahan, peternakan, hingga perkebunan. Wilayah-wilayah tersebut masih terus terjaga dan dapat kami nikmati, termasuk segala keragaman tanaman di kebun, seperti kemiri, bangka, dan sebagainya.
Selepas Pasase meninggal, posisinya digantikan oleh Dea Patowari. Ia memimpin kekuasaan sejak tahun 1573 hingga 1622. Di bawah kuasa Dea Patowari, ia membangun banyak sistem adat, aturan-aturan adat, termasuk mewajibkan Masyarakat Adat untuk mendapatkan izin terlebih dahulu darinya sebelum melakukan aktivitas menanam. Pada masanya pula, Batu Beduk menjadi pusat wilayah pemerintahan dan digunakan untuk beberapa ritual, seperti menaruh sesajen dan tempat meminta hujan atau petunjuk.
Kemudian, pemerintahan berikutnya dipegang oleh Dea Moyang. Dalam 35 tahun kepemimpinannya, untuk pertama kalinya Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng berpindah dari Batu Beduk ke Kampung Sarero yang saat ini menjadi lokasi Bendungan Mama, Kecamatan Lopok, Sumbawa. Bendungan Mama mengairi sawah di beberapa desa.
Kekuasaan Dea Moyang digantikan oleh Dea Mi pada 1702-1742. Dea Mi sangat feodal. Ia mempertahankan sistem adat yang dibangun oleh leluhurnya dengan kuat. Dea Mi membangun hubungan antara kerajaannya, Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng, dan Kademangan Sumbawa yang berbentuk kesultanan. Namun, kala itu Sumbawa masih di bawah penjajahan Belanda. Selama di bawah Dea Mi, terjadi banyak perselisihan dengan sejumlah kerajaan-kerajaan kecil dan kesultanan di Sumbawa.
Setelah Dea Mi turun dari jabatannya, terdapat beberapa pemimpin lainnya yang memimpin, mulai dari Kepala Madin, Dahiri, hingga Kepala Desa Sarero yang bernama Biola.
Makam leluhur Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng.
Kondisi Desa Sarero, lokasi Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng, berada dalam situasi yang cukup intens sejak 1702 hingga 1977. Kami berjuang habis-habisan melawan penjajah Belanda. Setelah lepas dari Belanda, tercipta suatu sistem adat yang baru dengan istilah Gabung di tingkat desa.
Namun, posisi kami menjadi tak stabil kembali di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemerintah berencana membangun waduk dan memindahkan kami yang berada di Leweng dan Tabose. Rencana tersebut terealisasi pada 1988. Masyarakat Adat dipindahkan ke Tabose, yang kemudian menjadi pusat adat Ponto sejak sekitar 1993 hingga kini.
Perpindahan kami Sarero dan Leweng membawa konsekuensi. Di lokasi yang baru, kami harus mendirikan rumah baru. Pencarian wilayah baru yang strategis untuk mendirikan rumah panggung yang terbuat dari kayu, perlu waktu yang tidak singkat. Segala proses tersebut dijalankan melalui sistem gotong royong.
Tanah Adat dan Konflik
Merunut berbagai peristiwa sejarah, kami banyak berpindah tempat. Darah leluhur kami pun merupakan campuran dari Sulawesi dan Sumbawa. Namun, kini, kami telah membentuk tradisi yang juga telah diturunkan selama beberapa generasi atau - disebut oleh salah satu tetua adat kami, M. Zain - “Sudah menjadi keluarga baru, ada percampuran tradisi.”
Dalam proses pertumbuhan saya dari anak-anak menjadi dewasa, saya menyaksikan bagaimana konflik telah merenggut kebahagiaan kami atas tanah adat kami: ada sisa kehancuran dan ketakutan dalam diri orang-orang di sekitar saya.
Di tengah situasi penuh ketidakpastian itu, saya juga melihat bagaimana orang-orang tetap memiliki ketahanan yang tinggi untuk tak henti memperjuangkan apa yang menjadi hak kami, yaitu tanah leluhur kami.
Kami tidak rela tanah leluhur kami dirampas secara paksa oleh pihak Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), khususnya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ropang, termasuk melalui bentuk-bentuk program pemerintah lainnya yang mengancam posisi kami. Salah satu program yang kami kritik, adalah skema Perhutanan Sosial (PS) dari KLHK karena berpotensi menjadi ancaman bagi wilayah adat kami.
Melihat kilas balik sebelum konflik memuncak, kami mulai merasakan adanya kejanggalan dan merasa tidak aman sejak 2013. Pak Jasardi Gunawan dari Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumbawa mengisahkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa hutan adat termasuk hutan hak dan bukan hutan negara. Putusan tersebut terangkum dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat.
“AMAN memenangkan perkara ini bersama seluruh Masyarakat Adat, sehingga hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Adat. Nah, refleksi lahirnya putusan itu dilakukan oleh seluruh Masyarakat Adat di Indonesia, termasuk juga Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng,” jelas Jasardi.
Selepas adanya putusan tersebut, Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng melakukan pemetaan dan memasang plang sebagai pernyataan bahwa kawasan tersebut adalah wilayah adat, termasuk makam leluhur atau Batu Beduk. Namun, tak lama setelah itu, terdapat pihak yang merusak plang. Plang rumah adat pun turut dirusak. Kami melaporkannya ke pihak kepolisian, tetapi tak kunjung ada jawaban.
Permasalahan kembali memuncak pada 2015. Terdapat sekitar 70 rumah warga yang dibakar. Rumah-remah tersebut belum lama dibangun dan dalam kondisi semi-permanen, namun siap untuk kami huni. Kami menduga pembakaran tersebut dilakukan oleh oknum pihak KPH. Kami lantas melaporkannya ke kepolisian setempat.
“Masih belum terjawab siapa sebenarnya otak dari pelaku yang merusak dan membakar rumah ini sampai sekarang. Belum ada tindak lanjut dari pihak kepolisian, bahkan kepala adat sudah kami pertemukan dengan Kapolres untuk menyampaikan data aset Masyarakat Adat yang dirusak,” ungkap Jasardi.
Kejadian tersebut disusul dengan adanya penebangan liar yang terjadi di wilayah adat. Kepala Adat Usal Ponto Ai Padeng pun melaporkan kembali kejadian tersebut ke Polsek Lape. Kami membawa sejumlah bukti ke kantor polisi, termasuk enam batang pohon hasil pembalakan serta menunjukkan lokasi-lokasi penebangan liar.
Sebaliknya, KPH Ropang justru menuduh bahwa hal tersebut dilakukan oleh kami. Pihak Pemerintah Desa Mama juga menuduh kami melakukan pencurian kayu. Pasca-kejadian tersebut, muncul konflik antara Masyarakat Adat dan pihak pemerintah di desa. Salah satu dampaknya adalah dirusaknya rumah adat yang berada di tengah Kampung Leweng.
Rumah adat.
“Saya mengira konflik ini bermula dari situ dengan tuduhan bahwa Masyarakat Adat ini akan merusak hutan. Padahal, mereka bukan merusak, justru mereka merawat titipan leluhur mereka secara turun-temurun,” kata Jasardi.
Tahun 2014, Kepala Desa Brang Kolong, Pemasar, Simu, dan Muer serta Kepala Camat Maronge mengeluarkan surat yang meminta Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng untuk berhenti melakukan aktivitas adat, termasuk menanam tanaman di kawasan yang mereka anggap sebagai hutan lindung atau hutan tutupan. Sementara, bagi kami, kawasan tersebut merupakan bagian dari wilayah adat.
Pada akhir 2017, beberapa warga adat kembali mengalami guncangan. Kami terkejut saat mengetahui bahwa terdapat kriminalisasi terhadap tiga warga adat, yakni Syarifuddin, (almarhum) Ndung, dan A. Wahab (Meng). Mereka ditangkap saat sedang melakukan aktivitas menanam padi, jagung, dan cabai di wilayah adat.
Mereka ditangkap oleh pihak KPH dan Kepolisian Plampang. Ketiganya sempat ditahan satu hari satu malam dan diminta membuat keterangan. Dalam kurun waktu tersebut, ayah saya, selaku kepala adat, mendatangi pihak kepolisian untuk bernegosiasi hingga mereka dilepaskan.
Kriminalisasi tersebut hanyalah permulaan. Setelahnya, sejumlah kriminalisasi dengan alasan yang serupa, terjadi pada kami. Akhirnya, kami melakukan negosiasi dengan KPH. Saat itu, Pak Sanapiah, selaku wakil kepala adat, mewakili proses negosiasi pada September 2018.
Namun, pada November 2019, pihak KPH Ropang dan pihak pemerintah setempat datang untuk mengusir Masyarakat Adat yang sedang menanam padi dan jagung. Pengusiran tersebut kembali memunculkan pergesekan. Kemudian, KPH Ropang melakukan pemasangan pal atau tonggak batu di areal lahan masyarakat dan persawahan.
Konflik memuncak pada September 2019. Pagi itu, sekitar pukul 10, ayah saya sedang menanam padi dan jagung, tiba-tiba didatangi Kepala Desa Mama dan perwakilan dari Kepolisian Polsek Lape yang mengusirnya. Ia dituduh melakukan perusakan hutan dan penebangan liar, lantas berujung pada adu argumentasi, bahkan hampir terjadi adu fisik. Karena tak memiliki bukti, pihak kepolisian pun tak menangkap ayah saya.
Tuduhan tersebut tidak masuk akal. Kami memiliki nilai adat untuk menjaga alam, termasuk menjaga tanaman kami: kelapa, jeruk, kopi, mente, duren, rambutan, klengkeng, nangka, dan kemiri.
Pengakuan terhadap wilayah adat kami terus digerus. Di sisi lain, kini PT Sumbawa Juta Raya (SJR) dan KPH Ropang melakukan penanaman di wilayah kebun kopi kami. penanaman tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat.
Usaha terakhir yang kami lakukan, adalah menyurati Komnas HAM untuk permintaan mediasi. Namun, hingga tulisan ini ditulis, mediasi belum berjalan.
Perempuan Adat dalam Pusaran Konflik
Perempuan memiliki posisi penting bagi kami, terutama di ranah perkebunan. Perempuan adat banyak menghabiskan harinya di kebun.
Selama konflik berlangsung, para perempuan adat turut menjadi saksi penghancuran tanaman-tanaman yang kami jaga di perkebunan di dalam wilayah adat. Terdapat beberapa perempuan adat yang kini dihantui rasa takut untuk menjalani aktivitas, terutama aktivitas lapangan seperti berkebun. Ketakutan lain adalah kekhawatiran akan ditangkap oleh KPH, aparat, atau pemerintah. Terlebih dengan situasi yang tak menentu akibat pandemi Covid-19. Beberapa juga mengalami trauma selepas menyaksikan suami atau anak mereka dikriminalisasi.
Salah satu perempuan adat tangguh yang saya kenal, adalah Ibu Hatisa. Ia sempat melihat bagaimana suaminya berkelahi dengan pihak KPH serta hampir ditangkap. Namun, ia tetap bersikeras menjaga lahan adat.
“Kita dilarang untuk menggarap lahan, maka kebutuhan tidak akan terpenuhi. Makanya, kita tetap memperjuangkan untuk menggarap lahan agar kebutuhan bisa terpenuhi. Karena dari hasil tanaman tersebut, bisa menyekolahkan anak,” kisah Ibu Hatisa.
Warga memanen padi.
Ibu Hatisa berusia 58 tahun dan sehari-hari bertani dan mengurus rumah tangga. Ia memiliki dua anak: usia 23 tahun dan 25 tahun. Ibu Hatisa membesarkan kedua anaknya dari hasil bekerja di lahan adat.
“Saya tidak takut. Seandainya ada datang, ya, saya jawab dengan berani, karena ini wilayah Masyarakat Adat.”
Kami terus bertahan sebab belum melihat ada tanda bahwa konflik akan segera berakhir.
Saya tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan menyaksikan segala konflik yang menimpa orang-orang yang saya sayangi. Saya tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan mempelajari nilai-nilai penting oleh Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng. Kini, saya memahami bahwa sekali pun konflik tak kunjung berhenti, tetapi Masyarakat Adat tak pernah putus asa untuk terus mengembangkan diri dan menjaga nilai-nilai leluhur dan wilayah adat.
Perempuan Adat di Tengah Pandemi
Selain menjadi bagian dari Masyarakat Adat, saya juga bagian dari perempuan adat. Ibu saya, Nurtini, adalah Ketua Perempuan Adat Usal Ponto Ai Padeng. Ia dipilih melalui proses musyawarah yang dilakukan oleh para perempuan adat. Kelompok Perempuan Adat terbentuk sejak 2018, terinspirasi dan melalui bantuan dari AMAN.
Ibu saya memiliki enam anak: lima perempuan dan satu laki-laki. Saya anak kelima. Anaknya yang pertama berumur 34 tahun, sementara anak yang terakhir, adik saya, berusia 11 tahun.
Ibu saya mengerjakan beberapa hal, mulai dari mengurus rumah tangga, mengurus kebun, hingga mengurus kelompok perempuan adat. Sejak pendiriannya, Kelompok Perempuan Adat Usal Ponto Ai Padeng banyak mencarikan solusi untuk masalah perkebunan dan konflik yang kami hadapi.
Sebagai perempuan adat, saya pun terlibat secara aktif dalam kelompok tersebut. Saya bertugas sebagai juru tulis, sehingga terbiasa mencatat sejumlah rapat. Catatan hasil rapat itulah yang jadi landasan untuk menjalankan sejumlah program atau kegiatan di komunitas adat. Saya juga mencatat proses berjalannya kegiatan perempuan adat. Contohnya, saya turut mengamati dan mencatat proses awal penanaman sayur, padi, palawija, dan sebagainya hingga membuahkan hasil.
Terdapat beberapa momen yang membuat saya merasa senang saat menjalankan tugas, salah satunya saat memasuki musim panen dan mencatat keberhasilan penanaman kebun. Belum lama ini, kami panen jagung, padi, cabai, dan pepaya di lahan adat.
Keberadaan kelompok perempuan adat juga membuka ruang politik bagi perempuan di Masyarakat Adat. Kami berlatih untuk menjadi lebih kreatif dan mampu mengorganisir sesama perempuan. Kami juga menjadi mampu untuk melakukan intervensi atas apa yang merugikan merugikan perempuan adat.
Kesadaran akan pentingnya posisi perempuan adat dalam berbagai aspek di Masyarakat Adat, terus tumbuh seiring dengan berkembangnya kelompok kami. Kami mulai terlibat dalam mengurai permasalahan ekonomi dan berpartisipasi dalam advokasi hak Masyarakat Adat, seperti melakukan aksi, menyusun rencana tata ruang wilayah adat, membuat draf Ranperda, dan mendorong kepala desa untuk berpihak pada Masyarakat Adat.
Perempuan Adat Menciptakan Kedaulatan Pangan
Salah satu program dari kelompok perempuan adat yang menguatkan Masyarakat Adat, adalah kedaulatan pangan. Sekali pun berkebun merupakan budaya yang dijalankan turun menurun, tetapi program kedaulatan pangan baru dibentuk pada 2020.
Kedaulatan pangan merupakan aktivitas bertanam di kebun oleh perempuan adat. Kedaulatan pangan dilakukan dengan cara mengelola wilayah adat secara berkelompok. Kami memanfaatkan lahan adat untuk menanam tanaman yang siap panen dalam waktu singkat atau sekitar tiga hingga empat bulan. Jenis tanaman yang ditanam, antara lain sayur, padi, jagung, dan cabai. Kami bekerja dengan cara melakukan pembagian tugas yang telah disepakati dalam komunitas kelompok perempuan adat.
Pengelolaan perkebunan itu membantu menopang ekonomi keluarga kami yang sebelumnya dianggap hanya ditopang laki-laki. Hal itu terjadi karena beberapa tahun lalu, tumbuh kesadaran bahwa perempuan adat juga berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Sejumlah perempuan adat menggunakan transportasi perahu menuju perkebunan di sisi Waduk Mamak.
Di tengah pandemi, program kedaulatan pangan menjadi salah satu tameng yang membantu kami untuk mempertahankan hidup, terutama saat pandemi memukul kami secara ekonomi.
Ibu Tia, salah satu perempuan yang terlibat dalam kelompok perempuan adat, merasakan adanya penurunan penghasilan di keluarganya selama pandemi. Ibu Tia pernah meminjam uang ke bank untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ibu Tia memiliki dua anak yang sudah berkeluarga: berusia 28 dan 30 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan pangan harian, keluarganya terbantu melalui program kedaulatan pangan. Tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan, bahkan ia bisa menyisihkan sebagian dari hasil berkebunnya untuk dijual.
“Sudah pasti, iya, cukup membantu, yaitu dengan cara menjual sayur, cabai, dan semua hasil tanaman,” ungkapnya.
Sementara, salah satu permasalahan yang kerap kali dihadapi, adalah penyediaan bibit yang baik untuk bertanam. Penyediaan bibit pun kerap kali terbentur masalah ekonomi.
“Kendala di biaya, pupuk, dan bibit,” ungkap Ibu Tia.
Program kedaulatan pangan yang dijalankan kelompok perempuan adat juga menjadi upaya dalam mempertahankan lahan adat kami, terlebih dengan adanya konflik dan perampasan wilayah adat.
“Upaya yang kami lakukan untuk mempertahankan wilayah adat kami, yaitu dengan cara terus-menerus melakukan aktivitas di wilayah adat dan tetap melakukan penanaman,” tambah Ibu Tia.
Ia bilang bahwa biarpun tanaman kami dirusak dan rumah kami dibakar, kami akan tetap kembali untuk menanam. Itulah nilai ketahanan yang saya pelajari dari kelompok perempuan adat. Berkebun memiliki banyak nilai, mulai dari menjaga alam, mendorong aktivitas ekonomi, memenuhi kebutuhan sehari-hari, hingga membangun perlawanan.
Namun, sudah beberapa tahun berjalan, belum semua perempuan adat bergabung dalam kelompok. Alasannya pun beragam. Salah seorang yang belum bergabung adalah Supiati.
“Karena saya masih sibuk mengurus anak dan anak saya masih kecil,” ujar Supiati saat saya tanya mengapa dia belum tertarik untuk bergabung. Supiati memiliki empat anak: dua perempuan dan dua laki-laki. Anaknya yang paling besar berusia 13 tahun, kemudian dilanjutkan dengan anak yang berusia sembilan tahun, lima tahun, serta dua tahun.
Namun, sebagaimana perempuan adat lainnya, permasalahan yang Supiati hadapi pun serupa selama pandemi ini.
“Yang pasti masalah keuangan,” ungkapnya.
Supiati memiliki harapan agar kondisi kami bisa kembali aman dan jauh dari konflik. Saat ini, walau terus berada di bawah ancaman konflik dan kerap mendapatkan intimidasi, kami tetap melakukan aktivitas lapangan seperti biasa. Kami terus menanam sebagai praktik yang dilakukan secara turun-temurun di wilayah adat kami. Sekali pun masih banyak trauma yang tertinggal, kami tak lantas menyerah, apalagi pasrah.
Kami sudah menanam sejak dulu dan akan terus menanam ke depannya.
***
Penulis adalah perempuan adat dari Masyarakat Adat Usal Ponto Ai Padeng di NTB. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.