Oleh Isnah Ayunda

Darmawi terkejut ketika melihat plang-plang di wilayah adat Maridan bertulis “Lahan Mabes Polri”. Konon, lahan yang diklaim Mabes Polri tersebut dasar kepemilikannya berasal dari Surat Badan Bank Tanah dan Tata Ruang Strategis Ibu Kota Negara (IKN). 

Darmawi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tulisan itu. Sebab, tokoh Masyarakat Adat Maridan ini tahu betul sejarah tanah adat yang terletak di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

“Wilayah adat Maridan miliki sejarah tersendiri bagi komunitas Masyarakat Adat Paser Maridan. Jadi lucu saja tiba-tiba di tempat itu sudah ada plang lahan Mabes Polri,” kata Darmawi baru-baru ini di komunitas Masyarakat Adat Maridan.

Darmawi menyebut di atas wilayah adat Maridan yang banyak ditumbuhi pohon mangrove tersebut banyak sekali makam tua yang menjadi bagian dari sejarah peradaban komunitas Maridan. Lokasi pemakaman tua itu terletak disekitar pinggiran laut wilayah adat Paser Maridan.

Darmawi menambahkan makam-makam tua tersebut dikhawatirkan bakal hancur seiring adanya pembangunan IKN ini. 

Tak hanya makam tua, situs ritual adat pun terancam punah seperti yang telah terjadi di komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku yakni Batu Tukar Nondoi dan Batu Badok. Kedua situs ini telah hancur akibat pembangunan bendungan Intake Sepaku. 

Kini, situs ritual adat Bakau Lemit yang berada di hutan mangrove kawasan wilayah adat Balik Pemaluan juga terancam punah. Padahal, tempat ritual tersebut sangat disakralkan dan tidak boleh diganggu karena tempat ritual tersebut bagian dari kepercayaan Suku Balik terhadap leluhur mereka. Bahkan, hingga kini Suku Balik masih melakukan ritual di tempat tersebut.

“Wilayah adat semakin menyempit di sini, plang terpampang di mana-dimana dari proyek pembangunan IKN. Sebentar lagi kami tergusur,” kata Darmawi. 

Masyarakat Adat yang terancam tergusur akibat lahannya dijadikan proyek pembangunan IKN adalah Masyarakat Adat Balik Pemalaun, Balik Sepaku, dan Paser Maridan.

Pria yang sudah berusia 59 tahun ini mengaku tiada daya upaya mereka untuk menghentikan perampasan wilayah adat tersebut, sembari berharap adanya perlindungan bagi hak-hak Masyarakat Adat yang tidak ingin tergusur dari kampung leluhurnya. 

Kehidupan Suku Balik

Kepala Adat Suku Balik Sepaku, Sibukdin menyatakan Suku Balik secara turun temurun telah mendiami wilayah adat mereka jauh sebelum adanya sistem kerajaan dan Republik Indonesia. Apalagi, IKN yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. “Kami sudah ratusan tahun hidup turun temurun di wilayah adat Suku Balik,” kata Sibukdin.

Wilayah Adat Suku Balik berbatasan dengan Selat Makasar, Kutai Kartanegara dan Paser. Kekayaan alamnya berlimpah dari hutan tropis, hutan mangrove, laut dan sungai. Dikatakan Sibukdin, kehidupan Suku Balik tidak pernah memiliki kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan untuk kesehatan Suku Balik mengandalkan obat-obatan dari alam.

Sibukdin menyakini bahwa leluhur Suku Balik berasal dari tondal langit (ujung langit). Suku Balik memiliki kebiasaan berladang dengan cara berpindah-pindah membuka ladang sesuai dengan kebutuhan hidup tanpa merusak ekosistem yang ada. 

Sibukdin menyebut dahulu untuk mencari makan tidak perlu masuk hutan, apalagi berburu berhari-hari karena payau (rusa), telawos (kancil) berkeliaran di pinggir kampung. Begitu pula dengan mencari ikan, tidak perlu memancing atau menjala jauh dari pemukiman karena cukup ke sungai yang berada di tengah pemukiman, air yang jernih memudahkan kita untuk menangkap ikan, mengambil air untuk minum tidak perlu membeli seperti saat ini. 

“Dahulu kehidupan Suku Balik sangat jauh dari modernisasi. Suku Balik selalu menghindar keramaian jika ada orang baru,” ujarnya.

Suku Balik Semakin Kecil 

Kini, keberadaan Suku Balik semakin kecil. Berbagai perisiwa pernah dialami Suku Balik hingga mengakibatkan jumlah komunitas Masyarakat Adat Suku Balik terus berkurang. Sebut saja kasus penyakit mematikan delanan pada tahun 1920, banyak orang dari Suku Balik terkena penyakit mematikan ini. Kemudian, Suku Balik juga mengalami imbas dari pemberontakan Kahar Muzakar dan Ibnu Hajar yang disebut Pemberontakan DI/TII. Saat itu, banyak dari orang Suku Balik harus mengungsi untuk menghindar darikejahatan yang dilakukan pemberontakan ini.

Seorang saksi hidup yang tidak ingin namanya disebut, kita sebut saja namanya Melati menerangkan pada masa itu sangat menakutkan baginya, apalagi pada masa itu dirinya masih berusia sangat muda. Dirinya dan keluarganya terpaksa mengungsi ke wilayah yang aman dengan menggunakan biduk (perahu) pada malam hari. Ia menggambarkan gerombolan pemberontak DI/TII sangat tidak memiliki prikemanusiaan. Mereka melakukan perampokan, memperkosa bahkan membunuh apabila tidak mau ikut dalam kelompok gerombolan ini. Suku Balik jadi korbannya. 

Penghancuran Berlapis

Sebelum ada pembangunan IKN, perampasan wilayah adat Suku Balik sudah terjadi oleh perusahaan kayu PT. Wayerhauser atau yang dikenal Masyarakat Adat Suku Balik dengan PT The Long. Setelah PT The Long masuk perusahaan PT. Itci Hindutani Manunggal (PT. IHM) pada tahun 1968, selanjutnya masuk pula program Transmigrasi pada tahun 1975 sd 1977, tidak hanya Perusahaan kayu dan Program Transmigrasi saja tetapi pada tahun 2000 Perusahaan sawit PT. Agro Indomas dan PT. Palma pada tahun 2012 juga masuk di wilayah adat suku Balik. 

Masuknya perusahaan maupun program transmigrasi membuat Suku Balik banyak kehilangan ruang hidupnya. Bahkan, membuat Suku Balik terpinggirkan dan sulit untuk melakukan tradisi yang menjadi kearifan tradisional seperti berladang padi gunung karena tidak ada lagi tempat untuk menanam. Kemudian, ritual adat Suku Balik juga mendapatkan diskriminasi karena dianggap musrik dan kolot. 

Seperti diceritakan oleh Ardisah, perempuan adat dari Suku Balik Pemaluan. Ia mengkisahkan dahulu Ritual Bemulung sering dilakukan tetapi sekarang sudah tidak dilakukan kembali. Menurutnya, ritual ini dianggap musyrik. Padahal dahulu, ritual ini adalah ritual penyembuhan. Ardisah mengatakan karena sudah tidak dilakukan lagi maka banyak peralatan dari ritual ini dibuang ke hutan.

Ardisah menyatakan Ritual Bemulung ini cukup berbahaya apabila syarat ritual tidak dipenuhi secara lengkap karena ciri khas dari ritual ini bisa memotong lidah maupun menyayat bagian tubuh lainnya. 

Seiring waktu berjalan, tradisi menjadi hilang konflik pun bermunculan. Agusni, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Balik Pemaluan menceritakan pada tahun 2010, Masyarakat Adat Pemaluan pernah melakukan aksi demo ke PT. Agro karena kebun Masyarakat Adat Pemaluan digusur. Padahal, kebun tersebut sudah ditanami buah-buahan seperti pisang, durian, rambutan dan karet oleh Masyarakat Adat. Tapi, semuanya digusur.

Agusni menerangkan akibat aksi demo tersebut, Masayarakat Adat Balik Pemaluan yang melakukan aksi digiring ke Polsek Sepaku. Semua peralatan berkebun seperti mendau, otak tokir, kampak disita oleh pihak kepolisian. Pada saat itu, Masayarakat Adat Balik Pemaluan yang diproses Polsek Sepaku tidak ditahan karena kurangnya bukti.

Tak berhenti di sini, Masyarakat Adat Balik Pemaluan digusur karena diklaim areal perkebunan MasyarakatAdat Pemaluan masuk dalam izin PT. Agro. 

Terancam Digusur Dari Wilayah Adat Sendiri

Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku, Balik Pemaluan, Paser Maridan semakin terpinggirkan dengan adanya pembangunan IKN. Mereka terancam kehilangan wilayah adat. Masyarakat Adat seolah tidak memiliki ruang untuk menolak perencanaan pembangunan IKN di wilayah adat. 

Komunitas Masyarakat Adat Pemaluan Sepaku sering dibuat kebingungan dengan adanya pembangunan IKN, karena tiba-tiba kebun maupun rumah mereka masuk dalam areal pembangunan IKN tanpa pernah diminta persetujuan. 

Seperti yang dialami oleh Baniah, salah seorang Masyarakat Adat Pemaluan Sepaku. Ia sempat kebingungan melihat drone (pesawat tanpa awak) ada di areal kebun miliknya. Namun, Baniah tidak menghiraukan adanya drone tersebut. Ia hanya berpikir apakah drone ini sedang melakukan pemantaun terhadap kebunnya.

Benar saja, tanpa seizinnya kebun miliknya telah dipatok. Baniah sempat bertanya dengan RT (Rukun Tetangga) apakah tanah miliknya akan segera digusur. Dengan gampang, RT hanya menjawab belum waktunya untuk digusur. Jawaban ini membuat Baniah makin khawatir karena jika belum sekarang, itu artinya akan pasti digusur.

“Sejak itu saya tidak bisa tidur nyenyak, takut tiba-tiba saja digusur. Kemana kami mau pergi kalau digusur,” katanya dengan nada sedih.

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur