Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Baru-baru ini, dunia dikejutkan dengan penemuan 215 jenazah anak-anak adat di Kamloops Indian Residential School di British Columbia, Kanada pada Mei 2021 lalu. Sekolah asrama Katolik tersebut dulu didirikan untuk “mengasimilasi” anak-anak adat sekaligus menghancurkan budaya leluhur mereka. Menyusul setelahnya, penemuan mayat-mayat lain juga terkuak. Jumlahnya telah mencapi lebih dari seribu.

Sekolah Asrama Kamloops Indian merupakan yang terbesar dalam sistem sekolah asrama di negara yang terletak di kawasan Amerika Utara itu. Sekolah tersebut pertama kali dibuka pada 1890. Keberadaannya berada di bawah administrasi Katolik Roma. Pada abad ke-19 dan ke-20, pemerintah saat itu mengharuskan anak-anak adat untuk bersekolah asrama. Sebagian kalangan menyebut upaya tersebut sebagai genosida budaya terhadap Masyarakat Adat di Kanada. Tahun 1950-an, tercatat sebanyak 500 anak adat ditampung di sana.

Strategi pemerintah dalam melakukan “asimilasi” anak-anak adat kala itu, dimungkinkan lewat kebijakan sistem sekolah berasrama (Canadian residential school system), yaitu jaringan sekolah asrama bagi Masyarakat Adat. Sekolah asrama yang pertama, dibuka pada 1828 dan yang terakhir, ditutup pada 1997. Sepanjang tahun tersebut, Pemerintah Kanada bermitra dengan pihak gereja Katolik dalam mengelola hingga 130 sekolah asrama yang menampung anak-anak adat yang dirampas dari orangtua maupun komunitas adat mereka. Saat itu, peraturan di sana mengharuskan Masyarakat Adat untuk melakukan proses asimilasi dengan masyarakat yang Eurosentris (pandangan yang berpusat pada benua maupun orang-orang Eropa). Alih-alih mendidik anak-anak adat, sistem sekolah asrama tersebut justru membuka peluang pada tindak kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak adat. Pada 1998, Stephen Harper, perdana menteri yang menjabat ketika itu, pernah meminta maaf atas nama Pemerintah Kanada terkait dengan sistem sekolah asrama tersebut.

“Sebagai seorang ayah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika anak-anak saya diambil dari saya,” ucap Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, dikutip dari BBC Indonesia pada 2 Juni 2021. “Saya terkejut dengan kebijakan memalukan yang mengambil paksa anak-anak adat dari komunitasnya.” Ia berjanji akan membantu proses investigasi terhadap kasus tersebut. Meski begitu, belum ada rincian maupun bentuk komitmen yang tegas.

Peristiwa penemuan mayat-mayat anak adat langsung direspon dengan protes dan aksi duka cita, baik oleh Masyarakat Adat maupun masyarakat umum di Kanada. Mereka menyingkirkan patung perdana menteri pertama, yaitu John A. Macdonald di Kota Charlottetown di Pulau Prince Edward. Sementara di Universitas Ryerson, Toronto, para pemuda adat melakukan aksi di depan patung Egerton Ryerson untuk menuntut pemerintah melakukan penyelidikan atas penemuan jasad anak-anak adat. Egerton Ryerson sendiri adalah seorang pengajar dan pendeta yang mempunyai peran utama dalam merancang sistem sekolah asrama bagi anak-anak Indian di Kanada. Sosoknya yang diabadikan lewat patung, dipenuhi coretan dan siraman cat berwarna merah darah serta dikelilingi oleh ratusan pasang sepatu anak-anak sebagai ungkapan kemarahan sekaligus bela sungkawa.

Puncaknya, puluhan ribu warga Kanada turun ke jalan pada 1 Juli lalu. Mereka mengekspresikan rasa duka dengan mengenakan pakaian berwarna oranye. Patung Ratu Victoria dan Ratu Elizabeth II di Winnipeg ikut dirobohkan massa.

Patung Egerton Ryerson di di Universitas Ryerson, Toronto, yang menjadi sasaran kemarahan masyarakat. Sumber foto: Steve Russell/Getty via BBC News Indonesia.

 

Temuan ratusan jenazah di bekas Sekolah Asrama Kamloops Indian kemudian memicu temuan ratusan jenazah atau kuburan tak bernama lainnya di berbagai sekolah asrama. Total temuan pun telah mencapai angka yang diprediksi sebanyak lebih dari seribu.

Masyarakat Adat di Kanada menuntut agar pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan itu, meminta maaf dan segera mengusut tuntas apa yang sesungguhnya pernah terjadi di sekolah-sekolah asrama bagi anak-anak adat di masa lalu.

***

Writer : Nurdiyansah Dalidjo | Jakarta