Oleh Maruli Tua Simanjuntak

Sebuah banner raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi,” terapung di Danau Toba. Banner tersebut dibentangkan oleh sejumlah aktivis bersama Masyarakat Adat di sekitar arena Summit Women 20 (W20) di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Melalui aksi yang berlangsung selama dua jam itu, para aktivis dan Masyarakat Adat ingin menyampaikan pesan kepada para partisipan Summit W20 perihal pentingnya menjaga hutan dan hak Masyarakat Adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

Mersy Silalahi, seorang perempuan adat asal Sihaporas yang ikut dalam aksi, menyatakan bahwa perempuan adat di Sumatera Utara dan hampir seluruh wilayah Indonesia pada umumnya, telah lama menjadi korban akibat ketimpangan struktural maupun pembangunan yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek kesetaraan gender. Berbagai program pembangunan telah menimbulkan konflik sosial serta kehancuran lingkungan yang kemudian mengesampingkan dan melanggar hak Masyarakat Adat dan hak perempuan. Dalam hal ini, khususnya pada konteks hak (kolektif) perempuan adat.

Mersy berharap pemerintah tidak tutup mata terhadap persoalan yang bersinggungan dengan perempuan adat. Menurutnya, keberadaan perempuan adat saat ini terjepit di tengah konflik yang tidak menguntungkan mereka.

Di banyak tempat, kita dengar perempuan adat tengah berjuang mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas perusahaan. Tidak sedikit di antara perempuan adat yang berjuang tersebut, mengalami luka, bahkan ada yang dipenjara,” ungkapnya di sela aksi bentang banner di Parapat itu pada Rabu (20/7/2022).

Ia menyatakan bahwa situasi yang menyudutkan perempuan adat, sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah melindungi mereka. Mersy mencontohkan kasus perempuan adat di Lamtoras yang berjuang menghadapi kebrutalan polisi dan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Puluhan polisi bersama karyawan TPL mengepung posko Masyarakat Adat Lamtoras di Buntu Pangaturan Sihaporas pada Senin (18/7/2022) malam sekitar pukul 19.00 WIB. Polisi dan karyawan TPL merusak portal yang ada di posko tanpa berkomunikasi dengan Masyarakat Adat. Mereka berupaya mengusir aksi blokade yang sebagian besar dibuat Masyarakat Adat Lamtoras untuk menghentikan aktivitas TPL. Aksi brutal yang dilakukan oleh karyawan TPL itu berujung bentrok. Beberapa perempuan adat mengalami luka-luka akibat terjatuh menghindari mesin pemotong kayu yang diarahkan ke wajah mereka.

Mersy menyatakan kalau mereka tidak takut terhadap upaya intimidasi dan tindak kekerasan yang dilakukan TPL bersama polisi. Menurutnya, cara-cara kekerasan tersebut justru akan menguatkan perjuangan dalam mempertahankan wilayah adat yang dirampas oleh TPL.

“Kami perempuan adat tidak takut sampai titik darah penghabisan. Kami akan terus berjuang mempertahankan wilayah adat kami,” tandas Mersy.

Ketua BPH AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak menyatakan bahwa kelompok perempuan adat adalah kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat penghancuran hutan dan perampasan lahan. Seringkali, mereka juga mengalami kekerasan di wilayah-wilayah konflik agraria.

Ia mengatakan, meskipun baru-baru ini Presiden Joko Widodo telah menyerahkan empat Surat Keputusan (SK) Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun hal itu belum menjawab persoalan Masyarakat Adat di Danau Toba.

“Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius. Atas nama pembangunan, perampasan tanah (wilayah adat) terus terjadi. Selain itu, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani. Perampasan tanah yang dilakukan akibat kehadiran TPL, merupakan pemiskinan struktural yang telah terjadi lebih dari tiga dekade dan berkontribusi besar dalam memperburuk kualitas hidup perempuan adat,” ungkap Roganda.

Menurutnya, kehadiran TPL di Tano Batak telah lama merenggut hak perempuan adat dan menghancurkan wilayah adat, terutama hutan kemenyan.

‘’Kehidupan Masyarakat Adat sangat tergantung kepada hutan. Hilang hutan, maka akan hilang pula sumber kehidupan, terutama bagi Masyarakat Adat yang berada di kawasan Danau Toba,’’ katanya.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji menyatakan bahwa mereka prihatin terhadap kondisi perempuan adat saat ini. Melalui aksi protes itu, mereka ingin menyampaikan aspirasi bahwa pertemuan Summit W20 yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal, serta kesehatan, seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi dengan hutan-hutan di Sumatera Utara dan hak perempuan adat.

“Banyak Masyarakat Adat, khususnya perempuan adat, kehilangan ruang hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan (wilayah adat) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar demi meraup keuntungan semata,” kata Sekar.

Ia mengatakan bahwa momentum perhelatan Summit W20 itu seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membantu nasib perempuan adat yang tertindas. Indonesia sebagai pemegang Presidensi Group of 20 (G20) harus memastikan kesepakatan yang lebih ambisius dan harus dicapai untuk mengedepankan model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan dan menghentikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak Masyarakat Adat dan petani, serta menguntungkan segelintir elit semata.

“Jika tidak ada kesepakatan itu, maka perhelatan W20 yang menghabiskan biaya besar ini, akan sia-sia,” kata Sekar.

***

Penulis adalah jurnalis rakyat dari Tano Batak, Sumatera Utara.

Writer : Maruli Tua Simanjuntak | Sumatera Utara
Tag : Tutup TPL Masyarakat Adat Tano Batak W20