Mendorong Masyarakat Adat Pastikan Implementasi FPIC
30 November 2022 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Masyarakat Adat didorong untuk memiliki peran secara penuh untuk bersama-sama memastikan implementasi prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam tata kelola sumber daya alam. FPIC merupakan hak Masyarakat Adat untuk mengatakan "ya dan bagaimana" maupun "tidak" untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah adat. Peran Masyarakat Adat dinilai penting mengingat beragamnya masalah hukum yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat di wilayah adat yang menjadi target pembangunan pemerintah maupun perusahaan.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menegaskan pentingnya penerapan FPIC dan peran Masyarakat Adat dalam memastikan itu. Komunitas Masyarakat Adat yang memiliki kapasitas pembelaan juga diharapkan dapat membantu komunitas Masyarakat Adat lain yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.
Rukka menerangkan, FPIC itu ibarat kita masuk ke rumah orang, jadi harus menyapa tuan rumah dan mendapat izin terlebih dahulu untuk bisa masuk.
“Yang terjadi selama ini, perusahaan masuk ke wilayah adat, tidak hanya tanpa izin, tapi mencuri, merampok. Setelah itu, membakar wilayah adat kita,” kata Rukka dalam sambutan membuka diskusi publik dengan topik “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang Berada di Dalam dan Sekitar Wilayah Operasional Bisnis dalam Menjalankan Protokol Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA).”
Diskusi publik yang diselenggarakan atas kerja sama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan AMAN itu berlangsung di Tantena, Poso, Sulawesi Tengah pada 28 November 2022. Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai pihak, termasuk sektor pemerintah, masyarakat, dan privat.
Puluhan orang hadir dalam diskusi publik itu, di antaranya perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi sayap AMAN PEREMPUAN AMAN dan BPAN, serta komunitas Masyarakat Adat, termasuk Pamona, Togean, KailiTado, Kasinimbar, Mateko, Rampi, Seko, Pali Sadan, Makale, Karama, Tabulahan, Adolang, dan lain-lain.
Rukka sempat menyinggung soal “ethic” (etika) dalam ruang diskusi publik tersebut. Ia menerangkan bahwa etika adalah turunan yang menjadi hak sekaligus mekanisme dan alat. Etika itu kalau kita lihat hidupnya, di atas “mamak”-nya etika itu ada yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri. “Nasib kita, wilayah adat kita, adalah keputusan kita. Itulah yang disebut hak asasi manusia (HAM),” katanya mengingatkan.
Rukka menyebut bahwa HAM terdiri dari dua jenis, yaitu hak individu dan hak kolektif. Hak kolektif Masyarakat Adat menjadi hidup dari seluruh hak-hak Masyarakat Adat, termasuk di dalamnya hak untuk menentukan nasib sendiri.
Kaitannya dengan etika, Rukka mengatakan bahwa etika bukan menyatakan isme, tapi dia adalah hak kolektif dari Masyarakat Adat.
“Mengapa hak kolektif itu penting? Karena tanpa hak kolektif atas nasib kita, atas wilayah adat kita, atas kehidupan kita, maka kita tidak mungkin lagi bisa menikmati hak-hak asasi yang bersinar di sini,” ungkapnya.
Terkait dengan “free” (bebas), menurutnya, itu berarti Masyarakat Adat tidak boleh diintervensi, ditekan, dan diintimidasi. Ketika melakukan proses, Masyarakat Adat harus bebas dari intervensi dan intimidasi.
“Kalau ada kepala desa atau polisi mengawal musyawarah adat, itu sudah dipastikan bukan free. Apalagi datang Koramil, intel-intel, awasi kita punya acara, itu pasti sudah bukan free,” tandasnya.
Dalam kesempatan itu, Rukka juga menyoal tentang informasi yang kerap dimanipulasi untuk kepentingan perusahaan. Informasi menjadi senjata utama dari perampasan wilayah adat.
“Yang disampaikan, informasi yang manis. Tidak pernah disampaikan kepada Masyarakat Adat, informasi yang benar,” ungkap Rukka. Padahal, lanjutnya, informasi dari A sampai Z itu harus disampaikan secara utuh. Namun, yang paling banyak dikeluhkan, perusahaan dan pemerintah kerap tidak transparan dalam menyampaikan informasi, bahkan tidak pernah membuka dokumen izin ke Masyarakat Adat. “Entah apa yang disembunyikan, padahal itu informasi publik. Tidak pernah dibuka, tapi dia (perusahaan) mengancam (dengan bilang bahwa) dia sudah punya izin. Banyak sekali kasus seperti ini.”
Catatan Akhir Tahun AMAN tahun lalu, menunjukkan berbagai data terkait maraknya perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi, dan penyangkalan terhadap Masyarakat Adat yang masih terus berlangsung dan semakin meningkat.
Sepanjang tahun 2022, PPMAN dan AMAN telah menerima 35 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup area seluas 251 ribu hektar dan berdampak pada 103.717 jiwa. Bahkan, satu orang anggota komunitas Masyarakat Adat di Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tertembak mati dalam bentrok dengan aparat kepolisian saat aksi menentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana.
Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seharusnya dapat menunjukkan komitmen terhadap implementasi prinsip yang tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang tegas menetapkan hak individu dan hak kolektif Masyarakat Adat, mulai dari hak Masyarakat Adat untuk memelihara dan memperkuat kelembagaan adat, budaya, tradisi, bahasa, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi Masyarakat Adat sendiri.
Pria yang akrab disapa Alam itu menambahkan bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan atau proyek, seharusnya negara menggunakan prinsip FPIC kepada Masyarakat Adat maupun masyarakat lokal yang akan terkena dampak dari pembangunan.
“PADIATAPA (FPIC) merupakan hak yang dimiliki Masyarakat Adat dan masyarakat setempat lainnya untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap pembangunan atau proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan mereka,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ridha Saleh selaku Asisten Ahli Gubernur Sulawesi Tengah, mengatakan bahwa perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama karena itu terkait dengan hak mendasar yang melekat bagi Masyarakat Adat dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul kita.
Keberadaan Masyarakat Adat
Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sjamsul Hadi mengatakan bahwa keberadaan Masyarakat Adat dilindungi oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 18B angka 2, di mana negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 28I angka 3, juga disebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Sjamsul menambahkan, keberadaan Masyarakat Adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia, di mana itu mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.
***