Sihaporas dalam Bayang-bayang Kekerasan & Genosida Budaya: Siapa Bertanggung Jawab?
16 Februari 2023 Berita Berton PakpahanOleh Berton Pakpahan
Kekerasan negara dan pendudukan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap Masyarakat Adat, masih berlanjut di Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Kekerasan dan pendudukan itu bermula dari izin konsesi TPL yang diperoleh tahun 1992 melalui KEPMENHUT No. SK.493/Kptsil/1992 jo. KEPMENLHK No.SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020. Izin tersebut dijadikan sebagai dalil untuk melakukan kekerasan dan pendudukan ruang hidup dengan legalitas negara.
Kekerasan dan pendudukan tersebut menimbulkan perlawanan, misalnya tahun 1999 terdapat tuntutan terhadap Pemerintah Indonesia agar mengembalikan lahan seluas 1.500 hektar yang diberikan kepada perusahaan. Menurut Masyarakat Adat, lahan tersebut dicaplok oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1913 untuk penanaman pinus dan diklaim sebagai hutan negara setelah Indonesia merdeka.
Tahun 2000, Masyarakat Adat pun melakukan berbagai aduan dan aksi, mulai dari pengaduan ke Pemerintah Daerah, DPRD, Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga melakukan aksi demonstrasi dan blokade jalan. Masyarakat Adat telah mengerahkan berbagai upaya untuk merebut kembali dan melindungi wilayah adat yang telah diwarisi dari generasi ke generasi. Mereka mencoba tetap bertahan dengan terus bertani, berkampanye melalui media, mendirikan posko perlawanan di areal lahan konsesi yang direbut, dan mendaftarkan wilayah adat ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Perlawanan seringkali menyebabkan intimidasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Sihaporas, antara lain pemenjaraan Oppu Morris Ambarita atau Mangitua Ambarita pada 2004, kriminalisasi Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita pada 2019 dengan tuduhan mengelola lahan tanpa izin, pengepungan terhadap warga yang berjaga di lokasi konflik pada 2022, serta ancaman dengan menggunakan chain saw ke leher salah satu warga dan tembakan peluru karet polisi pada 2022. Hal-hal itu telah menimbulkan trauma dan luka berkepanjangan yang tidak mudah diobati.
Kehadiran perusahaan, selain memakan korban manusia, juga berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan dan potensi kepunahan flora-fauna endemik. Warga telah mengeluhkan betapa sulitnya menemukan tumbuh-tumbuhan dan bebungaan yang selama ini digunakan untuk ritual adat. Dalam konteks itu, perusahaan berusaha untuk memuluskan berbagai cara untuk mendapatkan lahan dengan mudah, salah satunya dengan upaya memusnahkan Masyarakat Adat dan tumbuhan lokal.
Memusnahkan tumbuhan lokal di hutan adat, sudah terjadi sejak perusahaan melakukan aktivitasnya. Aktivitas tersebut pada akhirnya berujung pada penghilangan identitas budaya Masyarakat Adat dan merupakan kejahatan, di mana pihak perusahaan dan negara menjadi aktor dalam penghilangan sumber-sumber ritual Masyarakat Adat. Mereka telah dengan sadar melakukan genosida budaya (culturecida) terhadap Masyarakat Adat Sihaporas.
Menurut Ellis Cashmore (2004), genosida budaya merupakan proses dekulturisasi yang membuat kemunduran dan kehancuran sebuah budaya tanpa mengakibatkan kehancuran fisik pembawanya atau manusia yang memiliki budaya tersebut. Kita dapat pula memaknainya sebagai penghancuran sistematis suatu budaya terhadap Masyarakat Adat atau kelompok etnis, politik, agama, atau sosial tertentu. Secara sederhana, culturecide merupakan pembunuhan dan penghilangan budaya terhadap suatu budaya yang diwarisi turun-temurun meskipun manusianya tetap ada, namun kehilangan identitas yang dimiliki.
Dalam kasus Sihaporas, kehadiran perusahaan menghilangkan banyak hal, termasuk identitas (jati diri) Masyarakat Adat yang melekat pada kearifan lokal, hutan, mata air, tumbuhan dan bebungaan sebagai persembahan ritual, norma, warisan budaya, wilayah adat sebagai ruang hidup, keyakinan, dan adat istiadat.
Selain kehilangan tanah sebagai alat produksi, mereka juga kehilangan fungsi hutan sebagai sumber tumbuhan dan bebungaan untuk persembahan ketika melakukan ritual. Contohnya, saat acara Patarias Debata Mulajadi Nabolon (ritual dalam memuliakan dan menyampaikan pujian pada Tuhan Yang Maha Esa) pada 8-10 Oktober 2022, mereka kesulitan menemukan berbagai tumbuhan dan bunga untuk dijadikan sebagai persembahan. Menurut mereka, sekarang tumbuh-tumbuhan dan bebungaan hutan telah sulit ditemukan, bahkan ada yang punah sejak kedatangan perusahaan.
Di sisi lain, negara telah mengabaikan hak atas tanah dan hak atas ruang hidup yang adil. Pengabaian itu telah mencederai hak dasar warga negara yang seharusnya dilindungi oleh negara dan telah melanggar Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Identifikasi Konflik
Di Kabupaten Simalungun yang menjadi tempat tinggal Masyarakat Adat Sihaporas, berkembang anggapan bahwa tidak ada Masyarakat Adat di sana. Banyak masyarakat yang tidak mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Padahal, contoh kecil saja untuk membuktikan bahwa mereka benar Masyarakat Adat, adalah garis keturunan yang sudah sampai generasi ke-11 dari Opung Mamontang Laut. Mereka sudah mewarisi tanah tersebut sejak 200-an tahun silam. Selama proses tersebut, mereka memiliki pola hidup yang mengatur kehidupan mereka sendiri berupa nilai, norma, adat istiadat, dan budaya yang pula dapat dilihat dalam bentuk tujuh ritual wajib, meliputi Patarias Debata Mulajadi Nabolon, Raga-raga Nabolak Parsilaonan, Ulaon Habonaron, Pangulu Balang Parorot, Manjuluk, Mombang Boru Sipitu Sundut dan Manganjab.
Anggapan bahwa Masyarakat Adat di sana tak ada, muncul dari beberapa kelompok masyarakat, termasuk mereka yang menamakan diri sebagai Parhuna Maujana Simalungun (PMS). Kelompok itu getol menolak keberadaan Masyarakat Adat dengan mengatakan bahwa di Simalungun tidak mengenal konsep Masyarakat Adat sebab dulunya tanah Simalungun adalah tanah kerajaan, sehingga telah otomatis menjadi tanah negara setelah Indonesia merdeka.
Kedua, Pemkab Simalungun tidak memiliki kemauan politik untuk mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan Masyarakat Adat. Kondisi tersebut mempersulit posisi Masyarakat Adat dalam menempatkan diri dan eksistensi.
Ada juga kelompok masyarakat yang mengatasnamakan dirinya sebagai Aliansi Sipolha Sihaporas. Selain mengatakan bahwa tak ada Masyarakat Adat di Sihaporas, mereka pun menuduh Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas sebagai begal sejarah. Mereka bahkan pernah menyampaikan supaya Masyarakat Adat Lamtoras keluar dari tanah Sihaporas. Menurut salah satu warga Masyarakat Adat Lamtoras, Jonny Ambarita, kelompok Aliansi Sipolha Sihaporas mengklaim Wilayah Adat Lamtoras sebagai milik kelompok tersebut.
Dari situ, kita dapat melihat bagaimana kehadiran TPL telah menancapkan hegemoninya di masyarakat sebagai kekuatan yang dapat memberikan keuntungan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Perusahaan juga membentuk opini yang mampu mendiskreditkan Masyarakat Adat dan menimbulkan kelompok-kelompok yang menolak perjuangan Masyarakat Adat. Perusahaan telah menguasai pikiran masyarakat untuk menutupi kejahatan terhadap banyak komunitas Masyarakat Adat di Tanah Batak, khususnya di Sihaporas.
Sebenarnya, akar masalah konflik Sihaporas adalah ketidakadilan ruang, seperti perampasan tanah dan penghilangan paksa sumber-sumber ritual. Perlawanan-perlawanan tidak akan muncul jika pemerintah dan perusahaan tidak mengusik sejak awal. Mereka akan hidup tenang dengan caranya tanpa campur tangan pihak lain. Mengacu pada akar masalah tersebut, seandainya negara dan perusahaan tidak hadir, maka konflik tidak akan terjadi. Pun jika ada konflik, Masyarakat Adat punya mekanisme internal untuk penyelesaian konflik lahan. Mereka mengetahui mana tanah yang menjadi miliknya dan tanah yang menjadi warisan leluhurnya. Berdasarkan aturan adat di sana, Masyarakat Adat tidak akan merebut apa yang bukan haknya.
Solusi pun sebenarnya terpampang jelas, yaitu dengan mengakui keberadaan Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas sebagai pemilik sah tanah, menghentikan izin konsesi perusahaan, dan merestorasi hutan adat di Sihaporas. Bila tidak, konflik akan berkepanjangan dan memungkinkan memakan korban.
Menurut pengakuan Masyarakat Adat, ada upaya perusahaan menyogok mereka. Beberapa menolak karena permintaan pihak perusahaan adalah berhenti berjuang. Mereka yang menolak, mengaku bahwa nilai budaya terhadap tanah yang diwariskan, tidak bisa dibayar oleh uang. Bagi mereka, tanah adalah identitas yang mempertemukan mereka dengan nenek moyang serta harapan mereka terhadap keturunan di masa yang akan datang.
Prinsip tersebut masih dipegang teguh oleh sebagian Masyarakat Adat untuk melawan dan kukuh untuk merebut kembali tanah mereka. Dewasa ini, mereka menanamkan prinsip bila pemerintah abai dan perusahaan makin berkuasa, maka merebut kembali tanah yang diduduki dan diklaim perusahaan, adalah jalan yang harus ditempuh. Puncaknya, mereka mengalami krisis kepercayaan pada pihak otoritas setempat dan memilih untuk bertarung merebut tanahnya dengan cara mereka sendiri, contohnya menebangi pohon eukaliptus perusahaan di beberapa titik dan menggantinya dengan tumbuh-tumbuhan pertanian, bahkan mendirikan posko perlawanan untuk menjaga tanah yang direbut.
Salah satu wilayah konsesi yang ditebangi itu, adalah Buttu Pengaturan. Tempat itu merupakan tempat nenek moyang mereka mengambil kebijakan dan keputusan yang berhubungan dengan kehidupan mereka pada masa lalu. Titik itu sekarang dijadikan sebagai posko perlawanan yang dijaga oleh pemuda adat. Di seberang posko, juga berdiri perumahan perusahaan yang dihuni oleh anggota TNI AD. Sehari-hari, mereka hidup di sana dengan saling berpapasan dan seperti bom waktu yang dapat meledak kapan saja.
Bagi Masyarakat Adat yang memilih untuk merebut kembali tanah dari perusahaan, itu membuktikan bahwa tanah adalah identitas yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Mereka akan menempuh berbagai cara meski ancaman kekerasan terus membayang-bayangi untuk membungkam Masyarakat Adat.
***
Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat dari Sumatera Utara