
Pawai Budaya Membangkitkan Semangat Peserta Rakernas AMAN VIII
14 April 2025 Berita Thata Debora AgnessiaOleh Thata Debora Agnessia
Ratusan Masyarakat Adat dari penjuru Nusantara tumpah ruah mengikuti pawai budaya jelang pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-VIII pada Senin, 14 April 2025.
Kegiatan pawai budaya yang berlangsung di komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini menjadi isyarat untuk bangkit dan bersatu ditengah gempuran pembangunan yang merusak eksistensi komunitas Masyarakat Adat.
Pawai dimulai dari Balai Adat pukul 08.30 Wita. Peserta pawai dengan mengenakan pakaian adat bergerak menyusuri jalan-jalan desa sembari bernyayi sambil menabuh gendang. Mereka berjalan santai sambil membawakan tarian khas masing-masing komunitas Masyarakat Adat. Iring-iringan pawai berbelok menuju Tambunan Tulang, sebuah tempat bersejarah dan sakral bagi Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas, yang diyakini sebagai titik energi spiritual dan simbol perlawanan masa lampau. Setelah itu, rombongan mengarah ke gedung serbaguna yang menjadi lokasi utama pelaksanaan Rakernas AMAN VIII.
Sepanjang rute pawai, ribuan mata menyaksikan tubuh-tubuh yang dibalut dengan busana adat: sorban merah yang melilit kepala, rumbai-rumbai, hingga tenun-tenun bermotif sakral yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Masyarakat Adat Kedang Ipil, termasuk generasi muda dari jenjang SD hingga SMA, turut berpartisipasi menyemarakkan pawai adat dengan penuh antusias. Keikutsertaan mereka menjadi tanda bahwa estafet kebudayaan masih terus hidup dan diteruskan di Desa Kedang Ipil, meski di tengah dunia yang semakin digital dan seragam.
Pawai budaya yang dilaksanakan sebagai pembuka kegiatan Rakernas AMAN bukan sekadar perayaan visual dari warna-warni pakaian adat, iringan alat musik tradisional, dan simbol-simbol kebudayaan lainnya. Pawai adat menjelma menjadi panggung terbuka, ruang kolektif di mana identitas, perjuangan, solidaritas, dan keberanian komunitas Masyarakat Adat disuarakan.
Pawai menjadi momen perjumpaan komunitas Masyarakat Adat dari Sabang sampai Merauke yang membawa semangat bersama: mempertahankan keberadaan dan hak Masyarakat Adat atas tanah, hutan, laut, dan budaya yang selama ini dirongrong oleh model pembangunan negara yang mengedepankan ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam.
Kepala Bidang Organisasi dan Keanggotaan (OKK) AMAN Kutai Barat, Friska mengatakan pawai budaya ini lebih dari sekadar selebrasi budaya.
“Pawai budaya ini ajang untuk bangkit dan bersatu. Supaya kita semua saling mengenal, saling menghargai, dan bisa memberi edukasi kepada masyarakat luas, terutama generasi muda, bahwa identitas adat bukan sesuatu yang usang tapi sesuatu yang harus terus dirawat,” ucapnya penuh keyakinan.
Ratusan komunitas Masyarakat Adat dari seluruh penjuru tanah air hadir dan tampil di acara pawai budaya dengan kekhasan masing-masing. Komunitas Masyarakat Adat Dayak tampil gagah dengan mandau berhias di tangan dan bulu enggang yang menjulang di kepala. Komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas mengenakan pakaian adat yang biasa digunakan dalam upacara-upacara sakral.
Dari Timur Indonesia, perwakilan dari Papua tampil penuh wibawa, mengenakan koteka, rok rumbai, yokal, sali, dan baju kurung berwarna cerah. Tidak hanya komunitas besar yang tampil mencolok, komunitas-komunitas kecil dari pesisir, hutan, hingga pulau-pulau kecil juga ikut serta membawa identitas mereka yang seringkali terpinggirkan dalam narasi besar kebudayaan nasional.
Namun dibalik semua kemegahan itu, ada kisah panjang perjuangan yang dibawa oleh setiap langkah peserta.
Feby, salah seorang Perempuan Adat Malomoi dari Sorong, tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Ia mengaku senang bisa ikut dalam pawai budaya ini. Menurutnya, pawai budaya ini sangat berkesan.
“Pawai budaya ini sungguh berkesan, seperti berada di kampung halaman sendiri,” tuturnya dengan nada haru.
Antusiasme Masyarakat Adat di Kedang Ipil menyaksikan pawai budaya ini juga tak kalah tinggi. Mereka menyambut rombongan pawai dengan hangat. Banyak yang berdiri di pinggir jalan, merekam dengan ponsel, mengabadikan momen yang mungkin tak akan terulang dalam waktu dekat. Beberapa warga bahkan ikut berjalan hingga ke titik akhir.
“Ini luar biasa. Saya baru tahu ada begitu banyak ragam adat di Indonesia, dan semuanya masih hidup, masih bertahan,” ujar Yunan, warga Desa Ketapang yang ikut menyaksikan pawai budaya sejak awal.
Pawai budaya rakernas AMAN. Dokumentasi AMAN
Prosesi Adat Penyambutan
Setibanya rombongan pawai di lokasi akhir, acara dilanjutkan dengan sebuah prosesi adat penyambutan khas Kutai Adat Lawas yang disebut Sumping Layang. Ritual ini memiliki makna mendalam. Sumping berarti rumbai-rumbai, sedangkan Layang berarti terbang. Gabungan keduanya melambangkan semangat dan doa agar tamu-tamu yang datang membawa berkah, dan semangat mereka bisa terbang tinggi menjangkau harapan masa depan.
Iringan musik tradisional mengantar langkah para tetua adat menyambut peserta pawai dengan upacara Sumping Layang. Di tengah prosesi, para peserta diusap pipinya dengan bedak basah. Ini bukan sekadar simbol, tetapi lambang penerimaan, penghormatan, dan perlindungan secara spiritual. Tarian-tarian adat menyusul, menambah khidmat suasana yang sakral namun penuh kegembiraan.
“Ritual adat itu mendoakan semoga Masyarakat Adat akan lebih baik ke depan, lebih damai, lebih aman, dan bisa terhindar dari segala macam ancaman,” jelas Friska.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Tengah, ikut Rakernas