Oleh : Dirga Yandri Tandi

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggandeng sejumlah perguruan tinggi dari berbagai daerah untuk melakukan penelitian Indigenous-Led Research On Loss and Demage For Climate Change atau Penelitian Masyarakat Adat Tentang Kehilangan dan Kerusakan Akibat Dampak Perubahan Iklim di  enam wilayah adat.

Penelitian yang diinisiasi AMAN bersama Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) ini akan melibatkan Masyarakat Adat sebagai pemimpin dalam pengumpulan dan analisis data perubahan iklim.  Penelitian  akan merumuskan rancangan riset untuk mendokumentasikan kehilangan dan kerusakan (loss and damage) akibat perubahan iklim yang terjadi di wilayah adat.

Beberapa perguruan tinggi terlibat dalam penelitian ini. Nantinya, perguruan tinggi tersebut akan bekerjsama dengan pengurus AMAN di daerah seperti AMAN Toraya bekerjasama dengan Universitas Kristen Indonesia Toraja, AMAN Papua bersama Universitas Papua dan Universitas Cendrawasih, AMAN Maluku bersama Universitas Pattimura, AMAN Banten Kidul bersama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, AMAN Kampar bersama Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi' mengatakan selama ini, Masyarakat Adat sering kali menjadi objek penelitian, bukan subjek yang menentukan arah riset. Melalui inisiatif penelitian ini, kita mengubah paradigma: Masyarakat Adat memimpin, merancang, dan melaksanakan penelitian. Sebuah dekolonisasi metodologi dalam konteks Indigenous-Led yang menempatkan Masyarakat Adat sebagai pemilik cerita, penggerak riset, dan penjaga pengetahuan

Decolonizing Methodologies mengingatkan dan memberi kita panduan terhadap Indigenous-led Research, dimana Masyarakat Adat sebagai subjek peneliti dan sumber kekayaan pengetahuan lokal,” kata Rukka dalam sambutannya saat membuka lokakarya bertajuk Indigenous-Led Research on Loss and Damage for Climate Change di rumah AMAN Bogor selama dua hari mulai 13-14 Agustus 2025. 

Lokakarya yang dihadiri sejumlah Pengurus Besar AMAN ini membahas pendekatan metodologis dengan merujuk pada teori Decolonizing Methodologies dari Linda Tuhiwai Smith, yang menekankan perlunya penelitian yang membebaskan dari cara pandang kolonial. Penekanan diberikan pada kolaborasi dengan perguruan tinggi lokal di dekat wilayah adat, sehingga riset lebih relevan dan berpihak pada kepentingan komunitas.

Banyak penelitian yang tidak mempertimbangkan Masyarakat Adat. Perspektifnya juga tidak berdasarkan Masyarakat Adat karena hanya murni dilakukan oleh kampus secara sintifik, dimana Masyarakat Adat hanya dianggap sebagai objek penelitian.

Untuk itu, kata Rukka, Masyarakat Adat harus melakukan penelitian yang dipimpin organisasi Masyarakat Adat, dilakukan bersama-sama kampus dan kampung.

"Cara-cara melakukan penelitian itu harus diuprage, Masyarakat Adat bukan hanya objek tetapi subjek penelitian," terangnya. 

Suasana lokakarya Penelitian Masyarakat Adat di Rumah AMAN Bogor. Dokumentasi AMAN

Penelitian Berfokus Pada Dampak Perubahan Iklim

Hikmawan Pasalo selaku Manager Program Indigenous-Led Research on Loss and Damage for Climate Change (ILR-L&DfCC)  AMAN menjelaskan program penelitian ini berfokus pada upaya mengungkap dampak perubahan iklim - baik yang bersifat alami maupun akibat aktivitas manusia – terhadap wilayah adat. Mulai dari terjadinya degradasi lingkungan, hilangnya sumber penghidupan, hingga rusaknya tatanan sosial-budaya. Hikmawan menuturkan pendekatan Indigenous-led dengan semangat dekolonisasi metodologi ingin memastikan bahwa riset berupaya memotret realitas kerentanan yang di alami langsung Masyarakat Adat.  Dikatakannya, penelitian ini juga tidak hanya ingin mengungkap kerugian Masyarakat Adat akibat perubahan iklim, tetapi juga ingin memulihkan martabat pengetahuan lokal.

"Penelitian ini berupaya mendokumentasikan bagaimana Masyarakat Adat mengalami, memahami, dan merespons kerugian tersebut berdasarkan cara hidup dan pengetahuan kolektif mereka yang telah lama menjaga keseimbangan ekosistem," jelasnya.

Hikmawan menerangkan setiap wilayah adat nantinya akan menyusun desain penelitiannya secara kontekstual-berdasarkan pengalaman kerentanan lokal, struktur nilai budaya, serta system pengetahuan yang hidup dan berkembang dalam komunitas Masyarakat Adat.

"Lokakarya ini bukan hanya menjadi awal proses teknis riset, tetapi juga menjadi bagian dari proses transfer pengetahuan, dan konsolidasi pendekatan riset yang berakar pada pengalaman dan kepentingan Masyarakat Adat," imbuhnya.

Prinsip Free, Prior and Informed Consent

Direktur Perluasan Politik Masyarakat Adat AMAN Abdi Akbar, yang hadir dalam lokakarya ini menekankan kode etik penelitian. Ia menyoroti penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) untuk memastikan setiap proses dilakukan secara adil dan menghormati hak Masyarakat Adat.

“Riset ini nantinya harus dimulai dengan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Dalam pelaksanaannya di lapangan, melibatkan struktur adat, perempuan, dan pemuda sebagai bagian integral dari komunitas,” ujarnya.

Abdi juga menyoal penggunaan bahasa ibu Masyarakat Adat sangat krusial di masing-masing wilayah agar informasi yang diperoleh lebih lengkap, akurat, dan tidak kehilangan makna ketika diterjemahkan ke dalam bahasa akademis.

“Dengan cara itu, penelitian ini diharapkan benar-benar berpihak pada Masyarakat Adat dan mencerminkan realitas mereka secara autentik,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Toraya, Sulawesi Selatan

Writer : Dirga Yandri Tandi | Toraya, Sulawesi Selatan
Tag : AMAN Gandeng Perguruan Tinggi Meneliti Perubahan Iklim