
Menjaga Corak Agraris Warisan Budaya di Ujung Timur Jawa
26 Agustus 2025 Berita Dinda Anggun LestariOleh Dinda Anggun Lestari
Tanah Blambangan yang kini dikenal sebagai Kabupaten Banyuwangi memiliki penduduk asli orang Osing. Kelompok etnik Osing ini memiliki corak kebudayaan agraris. Kondisi ekologinya menjadi penopang utama berkembangnya tradisi persawahan.
Banyuwangi cukup subur dan kaya akan sumber airnya hingga mampu menjaga kemakmuran petani, terutama di komunitas Masyarakat Adat Osing Andong yang terletak di Kecamatan Glagah. Sebagian besar wilayahnya persawahan dan kebun.
Wilayah adat Andong dikelilingi dua sungai yaitu sungai Sobo dan sungai Watu-Watu. Kemudian, ada sebuah bendungan atau DAM di sungai Sobo, namanya DAM Kedung Lumpang.
DAM ini memecah sungai Sobo menjadi anak sungai bernama sungai Jajangan. Sungai Jajangan salah satu yang dimanfaatkan komunitas Masyarakat Adat Osing Andong untuk irigasi persawahan sampai ke daerah hilir.
Di tengah pemukiman, ada sungai besar mengalir. Sungai ini diberi nama sungai Andong, yang keseharian banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan memasak, mencuci, mandi oleh Masyarakat Adat Osing Andong.
Ketua Adat Osing Andong, Sumantri menuturkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, debit air sungai Andong mengalami penyusutan. Belum tahu sebabnya tapi pemanfaatan air sungai Andong untuk kepentingan produksi yang menjadikannya komoditas bernilai tinggi, menjadi pemicu berkurangnya debit air. Selain itu, kurangnya daerah resapan, hilangnya tanaman penyangga air di bantaran sungai serta kurangnya penjagaan sumber mata air di daerah hulu turut menjadi sebab penyusutan debit air sungai.
Sumantri menyatakan saat ini petani kesulitan untuk bercocok tanam akibat periode musim yang sulit diprediksi. Ditengah ketidakpastian musim ini, sebutnya, tak sedikit petani yang beralih menanam padi menjadi talas, cabai, dan jagung, untuk menghindari hama seperti tikus, wereng, dan rantab.
Angin muson Timur menyebabkan musim kemarau dari bulan April-Oktober, sedangkan angin muson Barat menyebabkan musim hujan dari bulan Oktober-April. Diantara pertengahan musim itu petani menyesuaikan masa bercocok tanam.
Dahulu, kata Sumantri, para petani memperhatikan kalender musim untuk menyesuaikan tanam padi. Umumnya, proses penanaman padi sampai masa panen memerlukan waktu 6 (enam) bulan.
Menanam Mengikuti Musim
Supani, salah seorang petani perempuan dari komunitas Masyarakat Adat Osing Andong menuturkan petani sekarang menanam mengikuti musim.
“Bengen 6 (enam) bulan iku nandur sak ngurite. Miluni mongso wayah panas yo panas udan yo udan,” ungkapnya dalam bahasa daerah, yang artinya : Dahulu, 6 bulan itu masa tanam sampai panen, mengikuti waktu musim kemarau ya kemarau, hujan ya hujan.
Saat ini, kata Supani, musim sulit diprediksi sehingga berdampak terhadap kebutuhan air. Hal ini memberikan pengaruh terhadap para petani untuk bercocok tanam.
Supani mengatakan di sebagian wilayah Banyuwangi, penanaman padi tidak dilakukan serentak dalam 1 (satu) komplek wilayah agrarisnya, terkhusus untuk wilayah yang memiliki ketersediaan air melimpah,
Menurutnya, hal ini bukan menjadi masalah berat karena bisa menggunakan penjadwalan sistem buka tutup air di saluran irigasi. Lain halnya di wilayah yang sulit air, mereka lebih tajam memperhatikan musim. Misalnya, saat musim hujan petani dapat menampung air hujan untuk kebutuhan penyiraman lahan sawah. Jika musim sulit diprediksi, hal ini tentu menyulitkan para petani dalam pola penanamannya.
Kebutuhan air, kesesuaian musim, dan meningkatnya hama menjadi tolak ukur keberhasilan petani dalam proses penanaman padi. Pun daerah yang kaya akan sumber air, bukan berarti tidak menjadi masalah di kemudian hari. Paradigma mitigasi risiko menegaskan secara imperatif bahwa tindakan preventif jauh lebih efektif dibandingkan langkah represif.
“Petani memiliki andil besar dalam konteks pengetahuannya untuk merespon proses perubahan iklim,” ujarnya.
Pemandangan lanskap sawah terasering di Komunitas Masyarakat Adat Osing Andong. Dokumentasi AMAN
Strategi Pelestarian Sistem Pertanian Warisan Leluhur
Tantangan agraris Masyarakat Adat Osing tidak berhenti pada persoalan air. Tanah yang mereka kelola juga berhadapan dengan ancaman hama yang semakin sulit dikendalikan. Contohnya, dalam dekade terakhir tikus menjadi masalah serius yang berdampak langsung pada hasil panen.
“Wong tani saiki sesean dirusak tikus. Pari kang melecuti gemet dipangan tikus. Tikus diobati engko ngerusak kang ono ning sekitar, tapi kadung hing diobati yo soyo ngentekaken ning pari,” kata Saptani, yang artinya : Petani sekarang merugi karena diserang tikus. Padi yang baru berbuah langsung habis dimakan tikus. Jika diobati dengan pestisida dikhawatirkan merusak lingkungan sekitar, tetapi jika tidak diobati, padi bisa habis seluruhnya.
Petani perempuan asal komunitas Masyarakat Adat Osing Andong yang ditemui dikediamannya pada 18 Juli 2025 ini menambahkan pada sisi lain, penyebab tikus semakin banyak adalah ketidakseimbangan rantai makanan di sawah. Musang dan garangan yang menjadi predator tikus semakin jarang ditemui, diperkirakan jumlahnya semakin sedikit.
Saptani menyebut sistem pertanian Masyarakat Adat Osing sangat memperhatikan jangka waktu proses penanaman. Mereka memiliki estimasi waktu, bukan tanpa sebab, melainkan alam juga perlu beristirahat.
“Jumlah 1 (satu) kali panen memiliki waktu 6 (enam) bulan. Sehingga rata-rata 1 (satu) tahun terhitung 2 (dua) kali panen. Dengan perhitungan proses tandur: tanam padi sampai panen, memerlukan waktu 4 bulan. 2 (dua) bulan tersisa digunakan untuk mengistirahatkan lahan,” terangnya.
Saptani menjelaskan hal ini dilakukan agar lahan kembali pulih. Air perlahan dibuka untuk persiapan membajak sawah. Pasca panen, 2(dua) bulan itulah terjadi siklus keseimbangan antara alam dan makhluk hidup. Tikus bisa memakan padi sisa-sisa hasil panen, sehingga mereka memiliki siklus waktu untuk menyesuaikan pola makan di sawah.
Lain halnya dengan pertanian saat ini. Tanam padi yang lebih mengedepankan pola konsumtif juga berpengaruh pada siklus lingkungan. Misalkan, proses tanam sampai panen padi memerlukan waktu 4 bulan. Selang beberapa hari proses pembajakan pun langsung dilakukan tanpa menunggu masa istirahat selama 2 (dua) bulan.
Peralihan tanah pasca panen menjadi tanah yang siap dibajak kembali belum juga maksimal. Ini juga salah satu pemicu alasan tikus merusak padi tanpa mengenal waktu. Siklus pola makan mereka tidak lagi teratur. Masa istirahat lahan yang seharusnya juga digunakan oleh tikus mengisi perut, tak lagi ada. Wajar jika ia memangsa, mencari bahan makanan dan merusak tumbuh-tumbuhan disekitarnya tanpa mengenal waktu. Sementara, populasi mereka makin lama makin meningkat seiring predator pemangsanya menjadi langka.
Maka, perlu adanya refleksi strategi agraris untuk mengembalikan kondisi keseimbangan alam.
“Sistem pertanian warisan leluhur Masyarakat Adat Osing yang mengedepankan nilai ekologi: memperhatikan musim, estimasi waktu, ketersediaan air, dan tidak ketergantungan obat kimia adalah jawaban menjaga komoditas pangan,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat Osing, Banyuwangi, Jawa Timur