
Masyarakat Adat Tikas Telake Bente Tualan di Kalimantan Timur Menghadapi Ancaman Perubahan Iklim
26 Agustus 2025 Berita Isnah AyundaOleh Isnah Ayunda
Bertahun-tahun Masyarakat Adat Tikas Telake Bente Tualan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur hidup harmonis dan membaur dengan alam di bantaran Sungai Telake. Namun, harmonisasi kehidupan yang sudah turun temurun dijalani sejak lama oleh Masyarakat Adat ini terancam terusik oleh dampak perubahan iklim yang disebabkan kerusakan lingkungan.
Sungai Telake dengan lebar 70–100 meter, sejak dulu menjadi urat nadi kehidupan Masyarakat Adat Tikas Telake Bente Tualan. Kini, keadaannya tidak lagi bersahabat. Sungai yang dulunya jernih—sumber penghidupan untuk mencari ikan, siput, sekaligus jalur utama mengangkut hasil bumi seperti rotan dan padi ke Balikpapan—kini kondisinya memprihatinkan.
Tora, perempuan adat dari komunitas Tikas Telake Bente Tualan mengenang betapa jernihnya Sungai Telake di masa lalu.
“Dulu sungai Telake sangat jernih, apalagi jika masuk musim panas. Bahkan, saat tidak musim panas pun airnya tetap jernih. Tapi sekarang, sungainya keruh, mungkin karena di hulu sudah rusak,” ucapnya.
Perubahan tak hanya terjadi pada sungai, tetapi juga pada pola iklim secara keseluruhan. Dan, hal ini berdampak pada kemampuan Masyarakat Adat dalam membaca musim.
Kepala Masyarakat Adat Tikas Telake Bente Tualan, Abdul Gayo menjelaskan nenek moyang mereka dahulu menggunakan tanda-tanda alam, seperti konstelasi bintang untuk menentukan musim tanam dan persiapan menghadapi cuaca.
“Dari bintang tolu bisa melihat musim penghujan, sementara bintang tujuh menandai musim panas,” jelasnya.
Namun, Ia menambahkan tanda-tanda alam yang dahulu menjadi petunjuk musim pun kini tidak bisa lagi diandalkan.
“Pohon durian yang biasanya berbuah pada musim kemarau, kini sering gagal berbuah akibat musim yang tidak menentu,” imbuhnya.
Banjir Besar
Ketidakpastian musim ini berimbas langsung pada frekuensi dan intensitas bencana. Banjir yang dahulu bisa diprediksi, kini datang secara tiba-tiba.
Abdul Gayo menceritakan banjir besar terakhir melanda perkampungan Masyarakat Adat Tikas Telake Bente Tualan pada tahun 2023.
“Saat itu ketinggian air mencapai kurang lebih satu meter dari pinggir sungai, dan banyak rumah yang tergenang, sekitar 40 rumah terdampak,” ungkapnya.
Menurut perhitungannya, luas wilayah terdampak banjir saat itu mencapai tiga ratus hektare. Kini, banjir rutin terjadi dua kali setahun, memaksa warga mengungsi atau membuat panggung darurat di dalam rumah.
Penyeimbang Ekosistem Telah Hilang
Dampak lain yang tak kalah parah adalah hancurnya hutan akibat alih fungsi lahan oleh perusahaan.
Juliana, perempuan adat dari komunitas Tikas mengungkap kelestarian hutan yang menjadi penyeimbang ekosistem telah hilang.
“Kebun-kebun sekarang banyak diserang monyet, ini terjadi karena monyet-monyet tersebut sudah tidak punya lagi tempat mencari makan. Hutan habis digusur perusahaan,” keluhnya.
Juliana menyebutkan ada empat perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar wilayah adat mereka. Keempat perusahaan tersebut antara lain PT GMK, PT Toyu Lestari, dan PT Malindo. “Luas sekali kebun sawit perusahaan itu,” sebutnya.
Juliana mengatakan ancaman yang dialami komunitas Masyarakat Adat Tikas Telake Bente Tualan ini adalah gambaran nyata bahwa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas industri telah mengikis sumber penghidupan dan juga kearifan budaya lokal yang telah diwariskan turun-temurun.
“Ini ancaman serius bagi Masyarakat Adat Tikas Telake Bente Tualan, harus segera diantisipasi,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur