Cerita Tentang Tumbang Malahoi (Satu)
07 March 2016Tanah yang Kami Banggakan
Senin pagi di tanggal 9 November 2015, handphone saya berdering. Ketua PW BPAN menelpon. �Ada apa, Bang?� Bang Kesiadi menjawab sapa saya dengan pula pertanyaan: �Di mana posisi, De? Apa masih sibuk?� Bang Kesiadi biasa memanggil saya yang lebih muda dengan panggilan �De� (adik). �Ini di tempat kerja, Bang. Kalau tidak sibuk, memang ada apa?� Bang Kesiadi pun bertanya lagi apakah saya bisa ikut pelatihan pendokumentasian di Bogor selama satu minggu. Saat itu, saya bingung untuk menjawab. Jadi saya bilang saja kalau saya pikir-pikir dulu. �Mungkin hari Rabu saya kasih jawaban,� balas saya santai tak hendak memastikan janji. Lantas pada Rabu sore, saya datang ke kantor PW AMAN untuk mengabarkan kalau saya siap untuk berangkat mengikuti pelatihan di Bogor. Walau sebenarnya, saya masih ragu karena itu akan menjadi pertama kalinya bagi saya ikut pelatihan di luar kota. Bang Kesiadi memberitahu bahwa ada tugas untuk membuat tulisan tentang komunitas di Bogor. Saya mulai bingung lagi mau menulis tentang komunitas apa, sedangkan saya dari kecil tinggal di kota dan sudah lama meninggalkan kampung.� Bang Kesiadi memberi saran bagaimana kalau saya membawa tulisan dari komunitas Tumbang Bahanei saja. Saya sendiri tidak terlalu tahu tentang kampung tersebut. Maka karena sudah tidak ada pilihan lain, saya bilang saya setuju. Senin berikutnya di tanggal 16 November 2015 saat pagi masih gelap, saya berangkat dari rumah menuju Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya. Dengan keyakinan di hati, saya bulatkan tekad ikut pelatihan di Bogor dengan harapan kelak dapat belajar banyak hal dari ilmu yang akan disampaikan dan pengalaman baru yang akan didapatkan dengan bertemu pemuda-pemudi BPAN se-Nusantara. Sampai di bandara, saya langsung check-in. Perjalanan pun dimulai untuk sejenak meninggalkan kampung halaman. Sekitar 1 jam 45 menit saya berada di udara dan melihat birunya langit dengan awan putih yang menggumpal. Mengantarkan saya untuk kemudian tiba di Jakarta, lalu Bogor. Keesokan paginya, pelatihan dimulai. Pada hari pertama, kami disuguhkan materi tentang bagaimana caranya melakukan pendokumentasian terhadap masyarakat adat. Selama satu minggu, setiap hari saya dan kawan-kawan BPAN lainnya menyerap berbagai materi dan ilmu tentang pendokumentasian. Usai pelatihan, 15 orang dari kami akan ditugaskan untuk live in di komunitas-komunitas adat yang sudah ditentukan dan sembilan orang lainnya akan kembali ke komunitas masing-masing untuk hal yang sama. Saya terpilih untuk mendapat tugas pulang ke kampung sendiri untuk menggali profil leluhur. Saya akan mendokumentasikan profil dari Masyarakat Adat Tumbang Malahoi. Sabtu pagi pada tanggal 12 Desember 2015, saya bersama seorang kawan pemuda adat dari Kapuas, bernama Aditya, berangkat menuju Tumbang Malahoi. Pagi itu kami menggunakan sepeda motor dari Palangkaraya ke Tumbang Malahoi selama empat jam perjalanan. Kami sempat mampir sejenak di Tangkiling untuk sarapan. Saat kami masuk Kampung Takaras, saya terkejut melihat banyak areal hutan yang terbakar dan sebagian sudah ditanami sawit. Lalu begitu memasuki Kabupaten Gunung Mas, kami berhenti untuk istirahat sebentar sambil menikmati segarnya udara pagi dengan alunan musik alam yang tercipta dari perpaduan aliran sungai yang mengalir dan kicau burung yang sahut menyahut. Sesekali, ada juga teriakan orangutan yang saling memanggil. Saya termenung sejenak. Sekian tahun lamanya saya tidak pernah pulang ke kampung, kini betapa takjubnya saya mendengar suara dari alam sekitar seperti nyanyian "Alam Raya Sekolahku" yang selalu kami nyanyikan di saat pelatihan alam di sekolahku. Kami lantas melanjutkan perjalanan usai mengumpulkan energi dengan bersantai sejenak. Sepanjang perjalanan, saya kembali memperhatikan kiri-kanan jalan yang didominasi oleh pemandangan berupa hamparan kebun sawit saja. Hutan telah banyak ditebang dan dibakar. Sungguh sedih melihat hal itu. Terbersit di pikiran saya dengan hutan yang semakin sedikit, bagaimana nanti warisan untuk generasi yang akan datang. Sekitar pukul 10 pagi, sampailah kami di Kampung Tumbang Talaken. Lagi-lagi kami pun disambut dengan pemandangan kebun sawit yang begitu luas dan entah berapa hektar. Di depan jalan masuk perusahaan, terpasang kokoh nama perusahaan kebun sawit tersebut. Saya sangat terkejut saat melihat pemandangan itu. Saya mulai mengingat tahun 2007, lokasi itu masih hutan yang indah dan hijau, namun kini berubah menjadi hamparan kebun sawit yang begitu luas sejauh mata memandang. Tetapi begitu kami melewati Tumbang Talaken, pemandangan berganti kembali menjadi hutan dengan rindang yang hijau. Udara segar menghapus rasa lelah kami. Sekitar pukul 12.00 siang, kami tiba di Desa Tajah Antang. Di situ-lah kami berhenti untuk beristirahat di tempat keluarga ibu saya. Hari mulai sore. Saya bertanya kepada adik sepupu saya di mana tempat untuk mandi. �Kalau di kampung, mandinya di sungai,� jawabnya.![perahu_sungai](http://bpan.aman.or.id/wp-content/uploads/2016/03/IMG_4852-300x200.jpg)
-Murni D. Liun Rangka-
� � � Sumber : cerita-tentang-tumbang-malahoi-satu