Oleh Haerudin Alexander

Komunitas Masyarakat Adat Benuaq Ohokng Sangokng di kampung Mancong (Mancukng), Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, punya cerita sendiri tentang  rumah adat mereka. Hingga kini, bangunan tradisional yang dikenal dengan nama Lou’ Mancukng ini masih eksis, bahkan telah menjadi cagar budaya. Tak ayal, jika keberadaan rumah adat yang ada di kampung Mancong jadi tujuan utama wisatawan lokal dan mancanegara.

Lou’ dalam Komunitas Masyarakat Adat Benuaq merupakan tempat tinggal bersama yang dihuni oleh beberapa keluarga bahkan satu kampung.

Lou’ Mancukng didirikan pada tahun 1920. Bangunan tradisional ini terdiri dari dua tingkat yaitu Lou’ Iwaaq (bawah) dan Lou’ Mboo (atas). Dua bangunan ini memilki tipe yang berbeda: Lou’ Mboo mengutamakan tipe bangunan yang lebih tradisional khas Benuaq sedangkan Lou’ Iwaaq mengusung gaya bangunan yang mengadopsi bangunan keraton kayu dari Kesultanan Kutai.

Dalam perjalanan waktu, Lou’ Mboo tidak bertahan lama dibanding bangunan yang ada dibawahnya. Akhirnya, bangunan roboh sehingga banyak dari keluarga yang tinggal di  bangunan tersebut pindah ke tempat lain. Bahkan, mereka mendirikan kampung yang dikenal dengan nama Kampung Muara Tae.  Sekarang, kampung Muara Tae dan kampung Mancong (dari kata Mancukng) merupakan satu komunitas Masyarakat Adat yang sama yaitu Benuaq Ohokng Sangokng.

Sejarah Berdirinya Lou’ Mancukng

Pemimpin Suku Benuaq dari Komunitas Masyarakat Adat Benuaq Ohokng Sangokng ,  Temenggung Baang atau yang akrab dipanggil Kakah Biru mulai membangun rumah adat Lou’ di pinggir sungai Ohong (Ohokng) pada bulan September 1920.

Lou’ Mancukng dibangun berukuran panjang 62 meter, lebar 12 meter. Rumah adat bertingkat dua ini miliki dua belas petak kamar atas dan dua belas petak kamar bawah. Total ada 24 kamar.

Bangunan Lou’ Mancukng ini menimbulkan kontrovesi. Pihak Kerajaan Kutai pada waktu itu dipimpin Sultan Aji Muahammad Alimuddin merasa keberatan dengan bentuk bangunan karena menyerupai atau meniru keraton kayu tempat tinggal Sultan. Menurut pihak kerajaan, pembangunan rumah adat Lou’ Mancukng ini tidak pernah meminta izin dahulu kepada kerajaan. Akibatnya, Pemimpin Suku Benuaq, Temenggung Baang pada waktu itu dikenakan sanksi hukuman tiga bulan penjara oleh Kerajaan Kutai, Tenggarong. Praktis, proses pembangunan Lou’ Mancukng terhenti. Namun sejak pimpinan Komunitas Masyarakat Adat Benuaq Ohokng Sangokng diganti oleh Rampak, proses pembangunan Lou’ Mancukng kembali berlanjut.

Pada masa kepemimpinan Kesultanan Aji Muhammad Parekesit (Sultan ke -19), Lou’ Mancukng akhirnya rampung  seratus persen.  Sultan Kutai bersama seorang asisten Residen Belanda bernama Swager dari Samarinda meresmikan Lou’ Mancukng pada 2 April 1923.

Dipindah

Bangunan Lou’ Mancukng ini sangat kuat karena banyak bagian yang terbuat dari kayu ulin. Sementara, bagian bangunan yang tidak terbuat dari kayu ulin rapuh. Sehingga, pada tahun 1987 bangunan ini dipugar dan diresmikan oleh Menteri Agama Munawir Sjaozali pada 5 April 1987.

Bangunan Lou’ Mancukng Moo didirikan meniru Keraton Kerajaan Kutai.  Ini bukan tanpa alasan.

Petrus Asuy, salah seorang tokoh adat  Ohokng  Sangokng, menerangkan saat Kerajaan Kutai Kartanegara berjaya pada abad ke 18 Masehi, Masyarakat Adat Benuaq Ohokng Sanggokng yang saat itu masih dipimpin Kakah Uguy (Tumenggung Wana) dipindah ke Kota Tenggarong secara mendadak oleh Sultan Kutai Kartanegara.

Alasannya, sebut Petrus, karena Masyarakat Adat Benuaq Ohokng Sanggokng melakukan ritual adat Arakng Dodo. Ritual adat ini terlarang karena memungkinkan untuk moksa atau menghilang ke alam gaib. Sebab, Komunitas Masyarakat Adat Ohokng Sangokng pada waktu itu tidak tahan akan tindakan semena-mena dari Kerajaan Kutai.

Petrus menjelaskan dalam proses  pemindahan ini,  Masyarakat Adat Lou Sanggokng banyak meninggalkan harta benda bergerak seperti padi, gong, antang, guci, tombak, melawetn, piring, par, kucing, anjing, babi, ayam, kerbau dan lain-lain.

Kemudian, ada juga harta yang tidak bergerak seperti lamin sangokng, ladang, hutan, lembo, tanyut madu.

Petrus mengatakan ketika melakukan suaka kepada pihak Kerajaan Kutai, Komunitas Masyarakat Adat Benuaq Ohokng Sangokng memiliki tugas utama untuk mencari kayu ulih. Kayu-kayu ini digunakan untuk mendirikan bangunan keraton Kesultanan Kutai di Sungai Tenggarong dan sekitarnya.

Setelah menjalani suaka hampir 40 tahun  di wilayah Tenggarong dan sekitarnya,  sebut Petrus, Tumenggung Wana dan warganya mendapatkan persetujuan dari Kerajaan Kutai Kartanegara untuk kembali ke Lamin Sangokng. Saat kembali ke Lamin Sangokng, Kakah Uguy (Tumenggung Wana) bersama warganya menemukan semua harta benda mereka  sudah tidak ada.

Mereka tidak putus asa. Mereka tetap bersemangat untuk tinggal di Lamin Sangokng. Ditempat ini, Kakah Nuncukng, Kakah Uguy bersama warga lainnya membangun Lou Manggeris yang bersifat sementara di tepi Sungai Ohokng. Setelah itu, mereka membangun Lou Mancukng Mo yang terletak di tepi Sungai Ohokng atau Muara Mancukng.

Namun, tak berapa lama Lou Mancukng Mo hancur. Sejumlah tokoh adat seperti Kakah Nyampay, Kakah Joa, Kakah Gadoh, Kakah Mantitn mempelopori untuk membangun Lou Mancunkng Bawah (Iwaaq). Sementara, Kakah Jahit, Kakah Malau dan warganya membangun Lou di dekat Lou Mancukng Mo. Tapi setelah Lou yang dibangun oleh Kakah Jahit dan Kakah Malau hancur, Masyarakat Adat Lou Mancukng Mo pindah dan berladang menyusuri Sungai Nayan kembali ke daerah Lamin Sangokng. Mereka berladang secara berkelompok dan bergotong royong.

“Lou Mancukng Bawah (Iwaaq ) inilah yang sekarang dikenal dengan sebutan Lou’ Mancukng. Dalam bahasa popular orang pahuq (orang luar) disebut Lamin Mancong,” sebut Petrus.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur